Jumat, 04 November 2011

Mencari Televisi

Dulu di televisi cukup banyak ditampilkan film serial dari daerah Timur Tengah. Kebanyakan adalah cerita-cerita para tokoh alim ulama yang terkenal sampai sekarang, tapi tidak jarang pula cerita biasa, tapi punya nilai keteladanan yang sangat tinggi. Beberapa yang masih aku ingat adalah cerita raja muslim dari India, Tipu Sultan, yang punya ciri khas dengan warna loreng harimaunya. Kemudian ada pula cerita Ibnu Taimiyyah, masa perjuangan dan kehidupan beliau. Dan yang paling lama dan cukup berkesan adalah serial epik Mahabharata dan Ramayana, tentunya versi India.

Seperti khas film manca, film-film tadi kemudian ditampilkan dengan dubbing. Kecuali Mahabharata yang pada awal-awal episodenya masih pake bahasa aslinya, yang lain sudah menggunakan bahasa Indonesia di awal episodenya, sehingga tidak terlalu sulit bagi para penonton yang malas membaca terjemahan. Padahal sebelum dekade tahun ’90-an, bahkan film-film kartun anak-anak hampir semua memakai bahasa aslinya yang diberi terjemahan di tampilan bawahnya.

Dari beberapa film serinya, tak banyak yang bisa aku mengerti dari jalan cerita film itu, meskipun aku selalu mengikuti dari episode ke episodenya. Selain Mahabharata dan Ramayana, beberapa film lainnya menonjolkan cerita keislaman dan keteladanan para tokohnya. Terlihat jelas bagaimana budaya bangsa Timur Tengah pada jaman dulu tercermin dari tampilan film tersebut. Melihat film Ibnu Taimiyyah membuatku mempunyai gambaran gimana kehidupan orang-orang Arab jaman dulu, yang berlatar setting di negeri Syam. Melihat Tipu Sultan, mencerminkan bagaimana kejayaan kerajaan Islam India saat berjuang melawan penjajah Inggris.

Sedangkan di jaman sekarang, tak banyak lagi stasiun televisi yang ingin menayangkan film-film kolosal seperti itu. Bahkan serial silat yang ngetrend di akhir ’90-an juga udah jarang. Dari film serial manca, televisi lebih memilih menayangkan drama remaja dari Korea daripada kisah teladan para sufi. Bukan hanya akan memberikan teladan yang keliru bagi para remaja, kisah-kisah seperti ini cepat atau lambat akan terhapus dari ingatan para remaja penonton televisi, karena terlalu sering terisi dengan cerita mendayu-dayu seperti sinema elektronik buatan Indonesia pula.

Maka, cobalah untuk mempunyai televisi. Televisi di sini kita ambil dalam arti yang sebenarnya, tele dan vision. Tele berarti jauh, sedang vision berarti pandangan. Sehingga televisi dengan mengambil arti yang sebenarnya adalah memandang jauh, bukan hanya memandang apa yang dilihat di depan mata kita saja, tapi jauh ke depan, melihat apa yang ada terhampar di luar daya pandang terbatas kita, yang belum seluruhnya kita jelajahi. Walaupun tetap saja harus ada batasan tertentu bagaimana cara pandang kita.

Mengambil hikmah dari apa yang kita saksikan tentu saja merupakan suatu keharusan dan kebijakan. Tidak menelan mentah-mentah apa yang disajikan, menyeleksi dan membedakan mana yang baik dan mana yang benar, adalah kewajiban kita dalam memelihara tingkat keimanan dan ketaqwaan kita, di samping sebagai rasa syukur kita kepada Allah yang telah mengkaruniakan kepada kita akal yang sehat.

0 komentar:

Posting Komentar

Silakan berkomentar, mumpung gratis lo...!!!

Daftar Blog Saya