Tanya Dilema

Suatu pagi, di tengah-tengah pekerjaan, tiba-tiba ponselku berbunyi. Ada pesan di Facebook Messenger dari seorang temanku.

Seperti Nemo

Ada satu film yang bagiku aneh banget, yaitu Finding Nemo. Inti ceritanya kan ada seekor ayah ikan yang mencari anaknya. Yang aneh itu ternyata ikan ini bisa ngomong. Padahal kalopun ikan bisa ngomong, kan ikan ini ada di dalam air. Coba kita aja yang ngomong di dalam air, kedengeran nggak sama temen kita yang ada di deket kita.

Pakai Bahasa Indonesia

Dari sejak blog pertamaku aku selalu pengen mempertahankan ke-Indonesiaanku, khususnya dalam penggunaan bahasa Indonesia di setiap tulisan blogku. Bukan karena aku nggak bisa bahasa Mandarin, Jepang, Korea, atau India, bukan! Tapi sebenarnya emang nggak bisa sih, tapi bukan itu maksudnya.

Hobi

Hobiku adalah membaca. Aku mendapatkannya dari sebuah majalah anak-anak. Jadi gini awal ceritanya, waktu itu ibuku mengirimkan foto dan dataku ke sebuah rubrik koresponden di majalah anak-anak itu. Dan di bagian hobinya, ibuku menuliskan kalo hobiku adalah membaca.

Power Bank

Di jaman gadget seperti sekarang ini, keberadaan smartphone menjadi bagian kehidupan bagi beberapa orang. Tapi di balik kecanggihan dan segala kelebihannya, ada salah satu sisi di mana smartphone justru lebih boros dalam pemakaian daya baterainya.

Jumat, 28 November 2014

Kecampuran [Bagian 2]

Musik kita adalah musik yang sering ‘kedatangan’ dengan musik-musik dari luar. Nggak hanya musik berbahasa Inggris dari daerah barat sana, tapi juga musik-musik khas dari negara-negara Asia. Kita kelewatan musik-musik dari India saat lagi ngetrennya film-film Bollywood, kedatangan musik dari Mandarin saat drama-drama seri Mandarin beredar di TV-TV kita, ketamuan musik dari Jepang berturutan dengan anime-anime menjamur di Indonesia, dan kemudian kecanduan musik dari Korea saat drama-drama Korea juga tampil di sini.

Ini membawa kebiasaan baru bagi kita orang Indonesia ini. Yaitu kelatahan belajar bahasa asing. Datangnya lagu-lagu dari mancanegara ini sebenarnya bagus, bagian bagusnya terutama adalah saat kita nggak ngerti apa yang dinyanyikan karena bahasanya beda. Mungkin kalo kita ngerti, bisa jadi lirik-liriknya nggak jauh beda sama lagu-lagu Indonesia sekarang ini. Tapi orang Indonesia banyak yang nggak mau sekedar bisa joged dengan musiknya, liriknya juga harus tau biar bisa ikutan nyanyi. Nggak sekedar tau, tapi juga ngerti.

Makanya kemudian bermunculan komunitas-komunitas pecinta grup atau penyanyi itu. Dari situ bisa dibentuk kelompok belajar yang mempelajari musik dan lirik serta terutamanya bahasa dari grup itu. Lama kelamaan, bahasa itu digunakan dalam kegiatan sehari-harinya. Bukan hanya dengan komunitas dan kelompoknya, tapi juga di luar kegiatan itu. Orang-orang jadi terlihat keren karena bisa ngomong bahasa yang nggak dimengerti orang lain. Nggak hanya itu, lembaga-lembaga kursus bahasa pun jadi bermunculan juga.

Tapi jadi ironis jika bahasa itu digunakan buat ngobrol sama orang yang nggak ngerti sama sekali dengan bahasa itu. Kasian kan kalo ada orang ngajak ngobrol orang lain terus terlontar bahasa-bahasa asing, yang orang lain itu nggak ngerti sama sekali. Ini jadi percuma aja kan?! Makanya pemakaian bahasa asing seperti ini juga digunakan dalam waktu dan tempat yang sesuai aja. Kan orang awam banyak yang nggak bisa bedain antara bahasa Mandarin, Jepang, dan Korea. Biasanya mereka anggap ketiga bahasa itu adalah bahasa China. Orang-orangnya juga gitu.

Sebenarnya inti tulisan ini adalah boleh-boleh aja kita mempelajari bahasa-bahasa selain bahasa kita, malah kalo bisa gitu. Tapi jangan sampai kita kehilangan bahasa kita sendiri, malah cenderung merusaknya dengan mencampuradukkan penggunaannya dalam kehidupan sehari-hari. Ironis sekali lagi kalo ada orang Jawa lebih fasih berbahasa Jepang daripada bahasa kromo inggil Jawa. Atau lebih hapal hurup kanji daripada aksoro Jowo.

Seperti tulisanku sebelumnya, seringkali budaya orang lain terlihat lebih menarik daripada budaya kita sendiri untuk dipraktekkan dalam kehidupan sehari-hari kita. Tapi kita lupa bahwa kita terlahir dengan budaya tersendiri, dan kekhasan kita ini sebenarnya juga pengen ditiru oleh orang lain yang budayanya berbeda.

Kamis, 27 November 2014

Kecampuran [Bagian 1]

Kalo kita berada dalam sebuah budaya yang bukan budaya asli kita, lambat laun kita akan ikut terlarut dalam budaya itu. Entah itu karena kita terlalu terbiasa, atau kita terlalu latah ngikut-ngikut. Tapi seringnya karena kita menganggap budaya orang lain itu begitu menarik untuk diikuti, entah karena alasan biar bisa menyatu dengan budaya itu, atau karena biar terlihat keren dalam lingkungan budaya kita sendiri.

Dulu pernah kejadian pas masa praktek industri di SMK. Beberapa bulan tersebar di berbagai kota, pulang-pulang teman-teman ini berkumpul dengan logat dan bahasa masing-masing. Ini yang membingungkan, mereka kehilangan logat bahasa Jawa halus a la Kediri sebagai bahasa ibu mereka, dan beralih ke logat bahasa Jawa aneh yang bukan asli Kedirinya. Nggak tau kenapa, tapi kalo aku sendiri yang ngalamin aku menganggap bahwa logat yang aku dapati selama praktek ini unik dan kalo ditirukan memperkaya bahasa yang aku pakai. Tapi justru akhirnya logat ‘luar’ itu mengacaukan kebahasaanku sehari-hari, sampai akhirnya lambat laun logat campuran itu hilang dan kembali ke bahasa percakapan asalku.

Ada lagi pengalaman waktu SD dulu. Di SD aku ikut tim drumband. Suatu ketika ada lomba drumband dalam Porseni se Kabupaten Kediri. Dan karena pelatih drumband di SDku juga melatih SD lain yang masih sekecamatan, maka kedua tim ini berlatih bersama di lapangan. Awalnya nggak ada masalah, semua lagu dimainkan sesuai dengan lagu yang kami latih selama ini. Selama latihan, kami bergantian dengan SD satunya untuk tampil di lapangan. Dan selama nonton latihan inilah pikiran kami seolah tercuci. Setelah agak lama, kami berangkat ke lapangan dengan lagu kami, dan pulang dengan lagunya mereka. Dan ternyata mereka pun sama kaya gitu.

Itu kalo kejadian karena sebentar tinggal di lingkungan baru. Kalo kejadiannya tinggalnya lama, bahkan bisa sampai sepanjang hidup, maka budaya yang itu bisa ‘merasuki’ kita. Dan lama-lama budaya asli kita bisa berganti pada budaya baru yang kita tinggali itu. Maka percampuran seperti ini mungkin bisa jadi cara kita membaur dengan budaya baru yang kita datangi, agar kita nggak terasa sebagai orang asing.

Nggak ada yang salah sih, dengan apa yang terjadi. Toh ibaratnya hal-hal baru yang kita temui pada akhirnya akan kita sesuaikan dengan keadaan kita, jadi berbaur dengan kehidupan kita keseharian. Kalo hal baru ini nggak bisa disesuaikan dengan kita, maka bisa jadi kita akan merasakan hal ini selalu menjadi hal yang baru bagi kehidupan kita.

Rabu, 26 November 2014

Hymne Guru

Kemaren tanggal 25 Nopember itu Hari Guru ya? Pantesan pas upacara bendera SMP sebelah rumah itu petugasnya guru-guru semua. Nggak tau juga kapan terakhir para guru ini jadi petugas upacara. Tapi ngomongin soal guru aku nggak bisa lupa pada semua guru-guruku dari mulai TK sampai SMK. Kalopun aku lupa berarti aku nggak ingat. Kemaren juga pas reuni akbar di SMP aku didatangin seorang guru, berjilbab, cantik, dia nyapa aku, ‘Yang lainnya ke mana?’. Ternyata beliau masih ingat aku, akunya yang lupa namanya. Setelah lama ngingat-ngingatnya baru ingat beliau dulu guruku pas kelas satu. Tadi beliau nanya teman-temanku yang lain pada ke mana, apa nggak datang apa gimana gitu.

Pas reuni itu juga ada seorang pembicara yang ngajak semua yang datang berdiri dan menyanyikan Hymne Guru. Sampai ada bapak-bapak di sebelah yang nangis-nangis. Nangisnya kirain karena terharu mengingat guru-guru beliau dulu, tapi ternyata karena beliau nggak hapal lagunya.

Tapi emang benar, guru itu pahlawan tanpa tanda jasa. Kita liat aja, para murid-muridnya ada yang jadi pembesar-pembesar, jadi presiden, jadi kepala kantor pendidikan, jadi jenderal, tapi gurunya tetap jadi guru. Kalopun naik pamornya ya mungkin jadi gurunya presiden, gurunya jenderal, tapi tetep yang utama jadi guru di sekolah. Pernah dulu guru SD-ku ada yang mengamanatkan, ‘Besok kalau sudah jadi orang gede dan kaya, jangan lupa gurunya lo ya anak-anak, jangan sampai kalau ketemu di jalan gurunya ditabrak pakai mobil pribadi’. Duh, kalo ingat guru ini rasanya jadi terharu dengan amanatnya itu.

Tapi sebenarnya mengajari orang lain nggak harus jadi guru juga. Dan tidak semua guru itu ngajar di sekolahan. Misalnya kita ngajarin anak kecil main kelereng, kita bisa jadi guru kelereng. Atau ngajarin main layangan, kita bisa jadi guru layangan. Dan karena pahala guru akan terus mengalir sebagai ilmu yang bermanfaat, jangan sampai kita ngajarin yang jahat-jahat. Misalnya kita ngajarin orang cara mencopet yang efektif dan efisien, kemudian kita jadi guru copet, pas kita mati nanti bukan pahala yang didapat, tapi dosa yang terus mengalir.

Sedih juga kalo ingat bahwa tidak semua guru itu dihargai dengan cara yang layak. Banyak guru yang sampai harus menuntut keadilan atas nasibnya dan perlakuan terhadapnya. Ada sekolah-sekolah tempat menuntut ilmu yang sampai kena korban penggusuran atau penyitaan. Meskipun sebenarnya menuntut ilmu itu nggak harus di sekolah, tapi yang namanya sekolah itu bisa jadi sarana dan alat untuk menyatukan antara para guru dengan muridnya, antar guru, dan antar murid sendiri. Kesan sekolah, selain tempat mencari ijasah, bisa lebih terhangatkan dengan nuansa yang disebarkan oleh para guru-gurunya pada setiap pelajaran yang disajikannya kepada murid-muridnya.

Mungkin kita sampai sekarang memilih guru-guru dengan nuansa humor sebagai guru favorit kita. Tapi nggak usah malu kalo bilang bahwa guru-guru yang galak adalah guru-guru yang paling kita ingat sampai sekarang. Contohnya aku nggak pernah lupa kalo aku pernah digampar guruku di SMK. Atau pas ulanganku dapat nilai jelek di SMP, SD asal sekolahku sebelumnya yang jadi sasaran guruku. Atau pula diusir dari kelas karena telat datang. Guru-guru yang bikin suasana menegangkan kaya gini emang nggak bisa kita lupakan.

Gimanapun, rasa terima kasih akan terus mengalir dari kita para murid-murid buat para guru-guru kita, di manapun kita berada dan di manapun mereka berada. Kita mungkin nggak ngerasa bahwa saat ini pelajaran-pelajaran mereka berguna untuk kehidupan sehari-hari kita, tapi dari mereka kita tau bahwa ada sesuatu hal yang mungkin sebelumnya sama sekali tidak pernah terlintas dalam pikiran kita.

Selasa, 25 November 2014

Gaya Penulisan

Pernah suatu ketika seorang teman bikin komen di sebuah tulisanku, kira-kira gini, ‘Wah, gaya tulisanmu berubah ya…’. Emang sih, waktu itu gaya tulisanku lagi berubah, lebih terasa nyantai kaya ngobrol sehari-hari gitu. Sebelumnya gaya bahasa di tulisanku kesannya serius banget, saking seriusnya mungkin orang-orang yang mau baca tulisanku itu sampai pake setelan resmi berdasi dan berjas gitu. Sebenarnya waktu itu aku pengen mengembangkan tema ke arah bahasan yang lebih santai dan nggak menegangkan gitu. Selain itu dengan gaya santai gitu ide yang didapat bisa lebih gampang dialirkan ke tulisannya.

Tapi emang tiap penulis itu beda-beda banget masing-masing gaya penulisannya. Ada yang gaya serius, gaya santai, gaya humor, gaya tutor, gaya bebas, gaya punggung, gaya kupu-kupu, dan lain sebagainya. Itu juga bergantung pada masing-masing bagaimana ide bisa dialirkan, termasuk bagaimana cara menyajikan inti dari tulisannya agar lebih mudah dibaca dan dipahami. Dan lagi selain itu juga bagaimana agar para penulisnya bisa menanamkan pola pikirnya kepada pembacanya tanpa terasa.

Mungkin yang pernah baca novel-novel dan beberapa kisah, bisa dilihat bahwa dengan bahasa deskriptif kita seolah diajak oleh penulisnya untuk membayangkan bahwa apa yang ditulisnya dalam kisah itu benar-benar kita alami dan berada di depan kita begitu nyata. Kita mungkin ada yang belum pernah mengunjungi desanya Ikal dan Laskar Pelangi, tapi dengan membaca buku-bukunya Andrea Hirata kita seolah punya gambaran gimana kehidupan di sana. Atau kita bisa mengalami ketegangan yang sama dengan Robert Langdon saat kita membaca buku-buku Dan Brown. Dan sebagainya dan sebagainya.

Atau saat kita membaca buku-buku humor, kita menemui beberapa fakta yang sebenernya terjadi dalam kehidupan sehari-hari, tapi penulisnya berhasil membuat kejadian yang sebetulnya remeh-temeh menjadi penuh tawa. Atau saat membaca artikel-artikel ilmiah kita bisa bereaksi ‘Oh, benar juga ya…’. Atau jenis-jenis bacaan yang lain, yang sebenarnya kita bisa menulis tanpa terpaku pada sebuah pola gaya penulisan tertentu. Justru dengan bereksplorasi dan bereksperimen dengan gaya penulisan yang lain kita mungkin akan menemukan keasyikan tersendiri, yang dengan semakin mencobanya kita bisa juga dengan mudah mengalirkan ide semudah saat kita memakai gaya kita sebelumnya.

Senin, 24 November 2014

Hujan-Hujan

Musim hujan gini emang enak hujan-hujan, apalagi kalo hujannya lagi turun. Ya iya lah, emang kalo nggak ada hujan gimana hujan-hujannya, pake slang air gitu? Itu sih bukan hujan-hujan, itu main air doang, hujan palsu! Main hujan-hujanan di masa kecilku sih nggak terlalu mengesankan, cuma main di seputaran rumah aja. Kalo nggak di depan rumah, ya di belakang rumah, kalo nggak di kiri atau di kanan rumah. Ya di daerah-daerah situ aja. Maklum sih, depan rumahku kan langsung jalan raya, jadi nggak punya pelataran buat main hujan-hujanan yang representatif.

Tapi pernah punya pengalaman hujan-hujanan yang paling mengesankan, yaitu waktu hujan-hujanan di sekolah. Waktu itu pas SD kan masuk siang, ini pas pelajaran olahraga. Nggak tau lupa gimana awalnya, pelajaran olahraga waktu itu ditiadakan. Mungkin karena hujan juga sehingga pelajaran olahraga nggak bisa diselenggarain. Jadi buat ngisi pelajaran olahraga, yang kebetulan waktu itu juga jadi pelajaran terakhir di hari itu, kita memanfaatkan hujan yang udah turun, daripada kebuang sia-sia hujan turunnya. Pake baju olahraga, semua anak-anak sekelas khususnya yang cowok-cowok main di halaman sekolah. Main lari-larian, guling-guling, dan lain sebagainya asal basah kena air hujan. Itu pengalaman kehujanan yang disengaja yang buatku paling mengesankan.

Pas sekolah SMK sebenernya jarang sih hujan-hujan. Yang ada juga kehujanan pas pulang sekolah. Kan ke sekolah pake sepeda, jadi pas hujan kalo lagi males berteduh ya udah pasti kena hujan-hujan deh. Pernah sampe saking derasnya hujan turun dan aku nekad terus jalan, rasanya kaya tenggelam di kolam renang, megap-megap! Kalo udah gitu langsung aja cari tempat berteduh dan istirahat sejenak.

Kalo kehujanan sih sampai sekarang juga masih sering. Penyebab utamanya sering kalo nggak malas berteduh ya malas pake jas hujan. Kalo malas berteduh itu macem-macem sebabnya, kalo nggak pas berada di tengah sawah yang nggak ada teduh-teduhnya, juga karena tempat berteduh di teras rumah orang udah penuh dengan orang berteduh. Kalo gini kan percuma juga ikut berteduh tapi nggak dapat tempat buat berteduh. Mau berteduh di masjid atau mushola terdekat juga sungkan, soalnya masjid atau musholanya jauh nggak ada yang terdekat.

Kalo yang malas pake jas hujan itu biasanya tujuannya udah deket tapi hujannya udah nggak ketahan. Misalnya jarak rumah tinggal satu kilometer aja tapi hujannya keburu turun. Atau kalo nggak gitu lagi sayang banget sama jas hujan, sayang jas hujannya baru tapi udah kena basah-basahan, kan tar kalo kena air garansinya bisa hilang.

Tapi kalo dibilang jalanan itu bahaya kalo pas hujan, itu nggak sepenuhnya benar juga. Biasanya kalo airnya menggenang kan kesannya jalanan jadi licin. Sebenernya lebih bahaya itu kalo air yang pas menggenang membawa tanah ke aspal, terus pas airnya surut tanahnya nggak ikut turun. Itu bisa lebih licin daripada air hujan yang sebelumnya. Kalo air lebih bersifat bikin jalanan kesat, beda kalo tanah gitu. Pernah kejadian pas lewat sebuah jalan setelah hujannya reda, tiba-tiba motor selip nggak tau kenapa. Pas abis jatuh aku lihat jalanan tempat aku selip itu banyak tanah dan kerikil-kerikil kecil di situ, dan itu yang bikin jalan licin.

Yang terpenting, tetap nikmati aja hujan, apapun dan gimanapun keadaannya kita pas lagi turunnya. Karena hujan nggak turun sepanjang tahun, kita nggak pernah tau kapan lagi bisa dapat menikmati turunnya hujan.

Rabu, 05 November 2014

Nyamuk dan Arwah

Tidur di malam hari pada saat udara gerah itu adalah dilema tersendiri. Di satu sisi udara gerah itu bikin kita males tidur pake selimut, tapi di sisi lain nyamuk-nyamuk pasti datang. Kan nyamuk juga lebih suka menghisap darah orang kalo pas udaranya lagi panas gitu. Kalo udah gitu pasti butuh perangkat tambahan, entah itu obat nyamuk buat ngusir nyamuknya (bukan buat ngobatin nyamuknya), atau kipas angin buat ngusir anginnya (maksudnya udara gerahnya).

Ada kan teka-teki konyol soal nyamuk dan lalat. ‘Eh, kenapa nyamuk badannya lebih kecil daripada lalat?’ ‘Karena nyamuk suka begadang daripada lalat, kan keluarnya pas malam’. Tapi emang sih dulunya nama nyamuk dalam bahasa Inggris itu kan kalo nggak salah asal-usulnya juga berarti ‘lalat kecil’, berasal dari bahasa dari daerah Iberia sana.

Tapi kadang-kadang juga suara mendengung di malam hari itu bikin curiga. Curiganya jangan-jangan yang bikin suara mendengung itu bukan nyamuk, tapi itu hantunya nyamuk yang aku bunuh di malam sebelumnya. Kan sering di film-film gitu kalo ada orang dibunuh maka arwahnya jadi hantu terus membalas dendamnya sendiri kepada yang bunuh dia. Ini sebenarnya diskriminasi, maksudnya peraturan bahwa menjadi hantu itu orang harus mati dulu dan menjadi arwah jadi bikin orang hidup nggak bisa jadi hantu. Ada sih yang jadi hantu, tapi cuma jadi-jadian buat nakutin orang lain.

Dan lagi kalo arwah ini tidak tenang gara-garanya belum bisa membalas dendamnya bisa bikin alam arwah kacau. Bisa jadi arwah ini jadi galau, merusak alam arwah, atau kalo galaunya udah tingkat tinggi dia akan bunuh diri. Ini kalo dia mati bunuh diri, maka arwah ini bisa jadi mengalami mati yang kedua kalinya. Ini kan jadi kacau lagi, kalo arwah yang keduanya kemudian gentayangan mengganggu alam arwah, sedangkan arwah pertamanya masih gentayangan di dunia manusia.

Eh, kok jadi ngomongin arwah orang sih, kan tadi ngebahas nyamuk. Kembali pada fakta bahwa hanya nyamuk betina aja menghisap darah manusia. Ini kira-kira kerjaan nyamuk jantannya kenapa ya, padahal harusnya dia yang mencarikan nafkah bagi keluarganya. Apa mungkin si nyamuk jantan ini nungguin telur-telur nyamuknya sampai mereka jadi jentik-jentik di bak kamar mandi gitu, sambil kalo lagi iseng mereka menghisap darah manusia yang lagi mandi. Ini sebenernya iseng sih, tapi tetep aja jadinya bentol-bentol kulit manusianya.

Tapi gimanapun nyamuk itu adalah salah satu makhluk yang ajaib lo! Dia bisa digolongkan sebagai serangga, tapi seperti beberapa serangga lainnya, dia hidup di dua alam. Sebelum jadi nyamuk kan dia jadi jentik-jentik dulu, dan hidupnya di air. Pas dia berubah jadi nyamuk, dia menjelma jadi makhluk udara, dia harus keluar dari air tanpa kontak dengan air. Ini kan kalo kita mikir, gimana bisa dia yang tinggalnya di air, pas jadi nyamuk dia harus bisa keluar dari air tanpa nyentuh air. Kalo nggak ajaib banget prosesnya, itu adalah anugerah! Anugerah bagi kehidupannya di kemudian hari, sampai akhirnya dia mati pas kita tepuk.

Selama ini nyamuk sering difitnah, karena dia dibilang menggigit manusia. Padahal sebenernya dia itu menghisap, bukan menggigit. Apa kita nggak mikir perasaan nyamuk kalo terus-terusan difitnah, kan tar dia bisa galau, depresi, terus bunuh diri. Tar kalo dia gentayangan gimana, bisa-bisa jentik-jentik nyamuk pada takut keluar malam.

Di balik itu semua, tetap aja menyebalkan kalo pas dihisap darahnya sama nyamuk. Pengen bales menghisap darah dia, tapi bingung caranya. Ya udah didiemin aja kan akhirnya. Jadinya kita yang harus punya stok darah yang banyak.

Selasa, 04 November 2014

Penggemar Tim Sepakbola

Seseorang belum bisa dikatakan penggemar sebuah tim sepakbola jika dia tidak mendukung saat timnya mengalami kekalahan. Bisa aja kan pas tim yang dia gemari kalah berkali-kali terus dia nggak mendukung lagi timnya, itu berarti dia tidak menggemari tim tersebut, tapi dia menggemari kemenangan tim tersebut.

Yang namanya penggemar dia akan mendukung tim tersebut, apapun keadaan timnya. Mau timnya menang, seri, kalah, juara, terdegradasi, atau bangkrut, tetap dia dukung. Ini sebenarnya bukan fanatik ya. Kalo fanatik itu gimanapun timnya akan dia dukung, tapi kemudian muncul pemikiran bahwa timnya itu yang terbaik sekolong jagad ini, jadi tim-tim lain itu jelek dan layak dijelek-jelekkan. Fanatik lain yang lebih absurd  adalah bahwa tidak ada tim lain selain tim yang didukungnya. Ini absurdnya adalah kalo nggak ada tim lain selain timnya, gimana bisa timnya disebut terbaik. Bilang aja kalo timnya itu forever alone deh!

Makanya ada ungkapan bahwa lover adalah hater yang tertunda. Maksudnya adalah kalo kadar cintanya itu udah lebay alias berlebihan terhadap sebuah tim, dan dia membenci tim lain selain timnya, maka dia adalah hater tim lain dan dia ini fanatik sejati. Ada lagi ungkapan hater adalah lover yang tertunda. Maksud yang ini adalah biasanya yang mengetahui kelemahan dan kekurangan kita serta mau mengungkapkannya adalah mereka yang membenci kita. Yang cinta kita biasanya malah menutupi itu dan menonjolkan kelebihan dan kekuatan kita. Malah bisa dibilang hater itu yang lebih memperhatikan kita, sehingga haterlah yang sebenarnya lebih tau detail tentang kita.

Kembali ke masalah tim sepakbola tadi ya, sebenarnya bingung juga ada orang-orang Indonesia yang nekad saling mengolok-olok karena tim yang didukungnya. Sering tuh dijumpai di situs-situs berita olahraga, sepakbola terutama. Kalo ada sebuah tim yang bertanding dan preview-reviewnya dimuat di situ, pasti ada deh pendukung tim itu yang ngasih komen ke situ, itu wajar! Tapi kalo ternyata ada para pendukung tim lain ikut nimbrung di situ, itu ngapain? Terutama kalo si hater ini ngejelek-jelekin tim ini, padahal tim ini lagi main bagus banget. Pasti tujuannya apa lagi kalo bukan mencari detail tim ini, terutama kelemahannya. Tar dia ngungkapin kelemahan tim ini, dengan lebaynya dan ditambah fakta-fakta yang mungkin dibuat-buat, misalnya, tapi malah dari komen ini kita tau kalo ada sesuatu yang perlu diperbaiki dari tim ini.

Tapi gini ya, sebesar-besar cinta dan dukungannya kita, orang Indonesia ini, buat Barcelona, Real Madrid, Manchester United, Chelsea, Manchester City, atau klub-klub sepakbola di Eropa sana, tetap aja kita ini orang Indonesia. Nggak ada bagus-bagusnya kita bangga-banggaan tim kesayangan, sampai bertengkar gara-gara ngunggulin masing-masing tim kegemaran kita ini. Pernah baca di forum ada pendukung dari dua tim yang bertengkar sampai ngajak berantem segala, demi apa? Toh tim yang mereka dukung, di Eropa sana, nggak tau kalo mereka berantem. Lagian kalo mereka tau, nggak ada pengaruhnya buat mereka. Bagi para klub ini, terutama tim dan pemainnya, berjuang di lapangan itu lebih baik dan lebih menghasilkan daripada pendukungnya koar-koar dan berantem nun jauh di sini, di pelosok Asia ini.

Jadi pendukung dan penggemar itu sebenarnya nggak ada salahnya, cuma liat kadarnya juga. Kalo jadi fanatik buta, mikir juga apa sih yang kita dapatkan dari itu. Toh tim yang kita dukung juga nggak ngasih kita apa-apa secara riilnya. Kita mungkin hanyalah satu dari sejuta. Mereka mungkin butuh pendukungnya seperti kita-kita ini, tapi kita tanpa perlu mendukung mereka pun, mereka tetap terkenal di manapun juga.

Senin, 03 November 2014

Sawang Sinawang

Roda belakang motor nggak akan bisa mengejar dan menyalip roda depannya. Kalopun dia bisa, dia bukan lagi disebut roda belakang, tapi menjadi roda depan. Tapi roda belakang itu nggak kalah kerennya kalo dibanding roda depan. Roda depan emang udah takdirnya eksis, letaknya di depan. Tapi rantai motor itu nggak dipasangkan untuk roda depan, tapi roda belakang. Sehingga kalo mesin motor nyala dan berputar, maka yang berputar dan punya tenaga itu roda belakang, roda depan hanya mengikuti aja.

Tapi roda depan itu juga penting, selain menampakkan keeksisannya. Dengan menggunakan roda depan kita berbelok-belok sesuai dengan kondisi jalanan. Dia nggak punya tenaga dari motor, tapi dia mengendalikan arah sehingga roda belakang ngikut dia. Yang lebih penting lagi adalah, untung roda itu bentuknya bulat, kalo kotak bisa bahaya soalnya jalannya jadi nggak lancar.

Sebenarnya itu adalah analogi dari bahwa setiap bagian yang ada dari motor itu punya peran dan fungsi masing-masing. Kalo nggak ada fungsinya, ngapain dipasang di situ. Misalnya biar keren motor dikasih rice cooker gitu, tapi masak mau bikin nasi aja harus punya motor. Kalo dalam kehidupan manusia, masing-masing manusia itu punya peran dan fungsi masing-masing. Dan terutama adalah masing-masing manusia punya pekerjaan masing-masing. Kalo aku bilang nggak ada pekerjaan di dunia ini yang mudah. Semua pekerjaan punya kesulitan dan resiko masing-masing. Nggak bisa supir bilang kalo jadi kernet itu lebih gampang daripada dia. Atau ada pedagang yang bilang kalo jadi preman itu lebih gampang. Jadi preman itu juga nggak gampang lo, harus punya gen dasar sebagai preman. Gen dasarnya preman itu kan kasar, garang, berani, tangguh, dan nggak berbelas kasihan. Jadi orang yang bergen dasar lemah lembut kan nggak pantas jadi preman ya.

Balik lagi ke pekerjaan tadi ya, terkait dengan peran dan fungsi masing-masing tadi, ada pengalamanku waktu kerja di pabrik. Dulu aku pernah kerja di pabrik gula. Tugasku adalah mengirimkan zak dari gudang ke pengemasan. Dari sini mungkin kesannya gampang banget kerjaku ya. Tiap harinya rata-rata kebutuhan zak di pengemasan sekitar sepuluh ribu sampai dua puluh ribuan, kalo produksinya lancar. Dalam sekali angkutan, tergantung dengan kebutuhan permintaan, bisa mengangkut sekitar lima ribu sampai delapan ribuan.

Bentuk zak yang aku kirimkan itu lembaran yang dilipat jadi empat, kemudian dibendel dengan masing-masing bendel berisi dua puluh zak. Sedangkan untuk distribusinya aku pakai gerobak dengan jumlah tenaga tiga orang. Orang kalo ngeliat kami pas lewat ngangkut zak-zak itu pakai gerobak itu mungkin bilang gampang banget zak cuma ditumpuk-tumpuk, diangkut gerobak, terus diarak rame-rame tiga orang. Tapi kalo orang tau, bikin tumpukan zak itu nggak gampang, asal ditumpuk-tumpuk di gerobak gitu. Ada pola-pola agar zak-zak itu nggak ambruk di tengah jalan pas lewat jalan yang sulit. Kalo nggak menurut pola itu, bisa-bisa zak-zak itu nggak kuat karena nggak bisa mengunci satu sama lain agar nggak ambruk. Dan yang tau pola seperti itu ya orang-orang yang setiap hari ngerjain kerjaan itu.

Intinya adalah manusia seperti kita ini lebih sering saling memandang, istilah Jawanya sawang sinawang, melihat orang lain dan merasa orang lain itu lebih gampang kerjaannya daripada kita. Padahal orang yang kita lihat itu tadi juga ngeliat kita dan merasa kita kerjanya gampang. Banyak dari kita sebagai manusia menganggap bahwa apa yang dimiliki orang lain itu lebih berharga daripada apa yang kita miliki. Tapi kita belum tau bahwa sebenarnya apa yang kita miliki itu lebih berharga daripada apapun.

Minggu, 02 November 2014

Asal Mula Angka 5 di chuin5

Mungkin ada yang belum tahu kenapa blog ini diberi nama chuin5 dan kenapa angka 5 yang dipakai sebagai namanya. Sebenernya dulu udah pernah sih aku bikin penjelasannya, tapi karena terlalu lamanya posting tulisan itu sehingga mungkin ada yang belum tahu. Jadi gini ceritanya, menurutku angka 5 itu adalah angka yang sempurna. Bukti kalo angka 5 adalah angka yang sempurna adalah sampai sekarang nggak ada revisinya. Bisa aja kan misalnya para ahli alfabetikal itu menganggap bahwa angka 5 itu kurang unyu, sehingga perlu diganti bentuknya jadi lebih imut lagi. Atau penyebutan kata ‘lima’ untuk memanggil abjad 5 itu kurang keren dan ketinggalan jaman, sehingga diganti menjadi ‘limbad’. Tapi kan nggak, sekarang kan yang namanya 5 itu bentuknya ya gitu-gitu aja, penyebutannya juga tetap ‘lima’. Jadi angka 5 itu bisa disebut udah sempurna.

Lagian sebenarnya penyebutan ‘lima’ itu juga unik. Coba aja yang lain, disebutnya ‘satu’, ‘dua’, ‘tiga’, gitu. Tapi yang ini, bentuknya 5, nyebutnya ‘lima’. Menurut Fico Fahriza (@ficocacola), jangan-jangan penyebutan ‘lima’ itu ketukar dengan penyebutan ‘empat’. Soalnya ‘empat’ kan jumlah hurufnya ada 5, sedangkan ‘lima’ jumlah hurufnya ada 4.

Sebenarnya alasan di atas itu termasuk alasan yang ngaco, tapi nggak apa-apa lah disebutin di sini, sebagai pembuka tulisan ini. Jadi kenapa aku memilih angka 5 itu karena banyak faktor. Liat aja, jari kita masing-masing tangannya jumlahnya 5, rukun Islam ada 5, dan kalo ada 5 orang ngumpul mereka bisa bikin lanang band atau wadon band (boyband girlband versi Jawa). Ngomongin tentang lanang band (lebih tepatnya disebut vokal grup aja), angka 5 ini juga ada hubungannya. Dulu pas format vokal grup lagi naik daun di sekitaran tahun 90an akhir, ada grup vokal bernama Five dari Inggris. Nah aku ngefans tuh dari pertama kemunculannya sampai sekarang. Jadi, karena Five itu artinya 5 (‘five’, jumlah hurufnya 4, tapi nyebutnya tetep 5), jadinya dipasang angka itu sejak dari blog pertamaku dulu sampai beberapa blog yang sekarang menjadi blog-blog indukku.

Udah gitu aja.

Sabtu, 01 November 2014

Tanya Dilema

Suatu pagi, di tengah-tengah pekerjaan, tiba-tiba ponselku berbunyi. Ada pesan di Facebook Messenger dari seorang temanku.

‘Chuin, nggak kerja ya?’
‘Kerja, ini lagi di kantor.’
‘Kerja kok OL aja?’
‘La ini kan pake HP, kan bisa keliatan OL terus.’


Terus terang, pesan kaya gini ini bisa bikin dilema tersendiri. Gimana nggak, kan dia duluan yang kirim pesan. Kalo nggak aku balas tar aku bisa dibilang sombong. Tapi begitu aku balas aku malah dibilang OL pas kerja. Jangan-jangan kalo tar Facebook Messengerku nggak aktif aku bisa dibilang antisosial juga. Padahal tadi kan awalnya karena temenku kirim pesan. Karena ada pesan jadi aku buka. Karena aku buka jadi aku balas. Dan karena aku balas pesan aku jadi OL. Jadi sebenernya kalo temenku nggak kirim pesan aku kan nggak OL.

Nggak enak emang kalo kita digolong-golongkan pada kriteria yang nggak kita banget, kaya itu tadi. Kalo nggak sombong, ya OL pas kerja, atau kalo nggak kedua-duanya berarti antisosial. Ini seolah-seolah menggeneralisir orang yang dia aja nggak tau dan nggak ngeliat sendiri gimana orangnya. Sama kaya menilai seseorang itu sombong karena dia pendiam. Atau seseorang itu otoriter karena dia administratur.

Sebenernya kalimat dari temanku tadi bersifat kalimat tanya ya, tapi gimanapun kalimat tanyanya, itu bukan kalimat konfirmasi yang punya pilihan jawaban ‘ya’ dan ‘tidak’, tapi lebih bersifat kalimat tanya yang diawali dengan ‘tuduhan’.

Daftar Blog Saya