Tanya Dilema

Suatu pagi, di tengah-tengah pekerjaan, tiba-tiba ponselku berbunyi. Ada pesan di Facebook Messenger dari seorang temanku.

Seperti Nemo

Ada satu film yang bagiku aneh banget, yaitu Finding Nemo. Inti ceritanya kan ada seekor ayah ikan yang mencari anaknya. Yang aneh itu ternyata ikan ini bisa ngomong. Padahal kalopun ikan bisa ngomong, kan ikan ini ada di dalam air. Coba kita aja yang ngomong di dalam air, kedengeran nggak sama temen kita yang ada di deket kita.

Pakai Bahasa Indonesia

Dari sejak blog pertamaku aku selalu pengen mempertahankan ke-Indonesiaanku, khususnya dalam penggunaan bahasa Indonesia di setiap tulisan blogku. Bukan karena aku nggak bisa bahasa Mandarin, Jepang, Korea, atau India, bukan! Tapi sebenarnya emang nggak bisa sih, tapi bukan itu maksudnya.

Hobi

Hobiku adalah membaca. Aku mendapatkannya dari sebuah majalah anak-anak. Jadi gini awal ceritanya, waktu itu ibuku mengirimkan foto dan dataku ke sebuah rubrik koresponden di majalah anak-anak itu. Dan di bagian hobinya, ibuku menuliskan kalo hobiku adalah membaca.

Power Bank

Di jaman gadget seperti sekarang ini, keberadaan smartphone menjadi bagian kehidupan bagi beberapa orang. Tapi di balik kecanggihan dan segala kelebihannya, ada salah satu sisi di mana smartphone justru lebih boros dalam pemakaian daya baterainya.

Jumat, 26 Agustus 2011

Pelangi


Kadangkala, hujan memberikan manusia bonus tambahan pemandangan indah yang luar biasa. Itu adalah pelangi. Pelangi akan muncul jelas jika langit setelah hujan cerah tanpa awan yang bisa menutupinya. Kombinasi 7 warnanya terlihat berbentuk parabolik jika dilihat dari bumi.

Nah, orang Jawa menyebut pelangi dengan 2 jenisnya, yaitu Tejo dan Kluwung. Tejo adalah pelangi yang muncul di pagi hari, terletak di sebelah barat, dan hal ini sangat jarang dijumpai. Karena itulah, dalam kepercayaan Jawa, munculnya Tejo melambangkan keberuntungan bagi yang melihatnya, seperti munculnya pulung dengan lambang sebaliknya. Yah, orang Jawa jaman dulu emang kreatif membuat kepercayaan.

Kalo Kluwung, muncul di sore hari, ada di sebelah timur. Pelangi yang ini sering sekali kita dapati kemunculannya.

Sebab terbentuknya pelangi pasti bagi mereka yang pernah makan bangku sekolahan (gragas banget!) udah pada tahu. Bonus hujan ini, juga seperti keajaiban alam yang lain, seringkali mengilhami suatu karya seni, entah itu buku, film, lagu, atau lukisan.

La yang patut kita renungi adalah bagaimana pelangi itu tidak terbentuk secara kebetulan. Ada kekuatan besar yang menciptakannya. Kekuatan itu sudah tercantum dalam lagu Pelangi, dialah Allah.

Sayangnya, kadang kita terlena dengan perenungan ilmiah dan meninggalkan perenungan spiritual.

Repost dari blog sendiri

Going to the Bank


Going to the bank is my almost daily trip, although it isn’t my hobby. Sometime in one I can visit 5 banks, from morning till afternoon. So I know how the characteristic of each bank. Generally, bank is very interesting if it isn’t in crowded condition. But if it doesn’t, it can be unpleasant time. During this time, I think there are 3 banks that will make me tired in the order. One of them get the order by sit, I often fall asleep while I am waiting for order. Two of them I can’t sleep, even for sleepy, because I get the order by stand.

Going to bank is tired trips; sometime spend my energy, stamina, time, money, etc. The nearest bank is 7 kilometers from my office. Sometime I bring my MP3 player and listen the music in the trip to get bore away. But sometime it makes me busy on my own, so I never bring it again.

The other way to rush bore away is change the trip route. Sometime I pass the one way, or the other way in the other time. Or I pass one way, and pass the other way in my home trip.

The advantages are I know where the way that I can pass it, where to lead, and I can be alternative way to any purpose. Besides it, I just know where the delicious food shop (and cheap), so if one day I want to eat, I can go to that place directly. And I know where the bank with the good looking tellers, so I can take it to the first order.

Versi Bahasa Indonesia

Perjalanan ke Bank


Pergi ke bank adalah perjalanan yang bisa hampir setiap hari kerja bisa aku lakukan, walaupun itu juga bukan hobiku. Kadang sehari bisa 5 bank yang aku jelajahi isinya, mulai pagi sampai siang. Maka bisa dihapal bagaimana ciri-ciri dari masing-masing bank. Secara umum, bank sangat mengasyikkan kalau nggak antri. Tapi kalo antri, bisa bikin sebel. Selama ini, menurutku ada 3 bank yang ngantrinya bikin capek. Salah satu bank mengantri dengan duduk, sering aku tertidur sambil duduk menanti antrian. Dua yang lain, udah nggak sempat tidur, ngantuk aja nggak sempat, karena ngantrinya dengan berdiri. Nah, perjalanan ke bank adalah perjalanan yang cukup melelahkan, kadang menguras tenaga, stamina, waktu, uang, dll. Dari kantor, bank terdekat berjarak 7 km. Dulu, untuk mengusir rasa bosan di perjalanan, aku bawa MP3 player dan distel pas di perjalanan. Karena ribet, maka MP3nya udah nggak pernah aku bawa lagi. Cara lain yang bisa mengatasi kebosanan adalah mengganti rute perjalanan. Kadang lewat jalan satunya, kadang yang lain. Atau berangkat lewat jalan satunya, trus pulangnya lewat jalan lain, asal jalannya enak aja. Keuntungannya, jadi tau jalan-jalan mana yang bisa dilewati, menuju ke arah mana jalan itu, dan bisa jadi jalan alternatif dengan berbagai tujuan. Selain itu, bisa tau warung mana aja sih yang enak (dan murah), jadinya kalo suatu saat pengen banget makan bisa mampir bentar sampai makanannya habis (enak nih!). Dan pastinya, jadi tau bank mana sih yang tellernya cakep-cakep, sehingga pantas untuk didahulukan. Kiriman Aslinya

Rabu, 24 Agustus 2011

PC Desktop dan Laptop


When I got a chance to buy computer, I was think what I would buy, PC desktop or laptop. I think about price first, because my limited budget. As the kind, desktop can I chose. Beside I can choose my own component, what I need or not, and also the quality, I just buy CPU because I had the monitor and other accessories.

But, as dynamic youth generation, my computerized activities usually don’t sit in front of my computer in my room only. I need a PC that I can use it anywhere, in my office, in my experiments, etc. So that, I was think about laptop. Laptop in 4 million in price was so rare that time. So, I surveyed it, and I chose to Axioo Classmate PC netbook. Celeron 900 mHz processor (as PIII), rather big SODIMM (512 mb), 7” small screen, but it completed by onboard port and 30 gb HD, so I bought it.

My daily activities were helped by my own portable PC. My experiments were success and smooth. Just when I tried to install some software, I was confused with incompatible resolution and specifications. When I installed OS, Windows or Linux, I still worried when it wouldn’t run as ordinary PC. 7” screen just had 800 × 640 resolution maximum, over that the screen would be run in scroll view.

For now, I use Advan netbook with Atom 1600 mHz processor, 160 gb HD, 1 gb SODIMM, 10” wide screen, and my works smoother with my hand suite keyboard.

Versi Bahasa Indonesia

PC Desktop dan Laptop


Saat punya kesempatan buat beli komputer, aku menimbang-nimbang beli apa ya enaknya, PC desktop atau laptop. Pertimbangan harga jadi yang utama, soalnya anggaranku yang terbatas. Secara varian, desktop bisa dipilih. Selain bisa pilih komponen sendiri, mana yang perlu dan yang nggak, dan juga kualitas barangnya, aku cukup beli CPU aja karena aku udah punya monitor dan perlengkapan lainnya.

Tapi, sebagai generasi muda yang dinamis (wueh...), kegiatan komputerisasiku pasti nggak hanya di depan komputer di dalam kamar di rumah aja. Aku butuh PC yang bisa dipakai di jalanan (kalo itu bisa diganti dengan motor), buat kerja di kantor, buat eksperimen di kelompok belajar, bisa masak, matang, seiman, dll. Maka aku mempertimbangkan juga laptop dengan berat. Tapi, pastinya jarang ada laptop dengan harga di bawah 4 jutaan.

Maka, setelah survey secara tidak sengaja, aku menujukan (lebih banyak dari meenamkan) fokus pada netbook Axioo Classmate PC. Dengan prosesor Celeron 900 mHz (mungkin lebih setara dengan PIII), tapi memorinya lumayan gede (512 mb), layar kecil 7", tapi port onboardnya cukup lengkap dan hd 30 gb, maka aku jadi beli juga tuh netbook. Lumayan, bisa jadi teman hidupku.

Kegiatan sehari-hari cukup terbantu dengan (akhirnya) punya PC sendiri yang bisa dibawa ke mana-mana. Eksperimen cukup lancar dan sukses. Cuma saat menginstal beberapa software, kadang bingung juga dengan resolusi yang tidak cocok atau speks yang nggak compatible. Demikian juga saat menginstal OS, baik pake Windows atau Linux, agak khawatir nggak bisa jalan seperti di PC biasa. Maklum, layar 7" maksimal bisa pake resolusi 800 x 640, selebihnya layar jadi scroll view.

Untuk sekarang aku pake notebook Advan dengan prosesor Atom 1600 mHz, hd 160 gb, memori 1 gb, layar lega 10", dan pekerjaan jadi lebih lancar lagi dengan keyboard yang cocok buat ukuran tanganku.

Kiriman Aslinya

Selasa, 23 Agustus 2011

Tipe Profesi dan Tipe Pendidik


Lagi memperhatikan dua tipe pekerja nih, tipe profesi dan tipe pendidik. Mungkin banyak juga yang menemukan dua tipe ini di lingkungan kerjanya, mungkin juga tipe-tipe lain, tapi yang dua ini lagi pengen aku bahas.

Tipe profesi, bekerja lebih dengan menggunakan keahlian profesinya, bisa karena ilmu yang didapat secara teoritis, akademis, atau pengalamanis (biar belakang sama ada -is nya ). Tipe ini bekerja dengan gaya yang berbeda dengan yang lain (mungkin semua juga gitu), karena bekerja berdasarkan pengalaman, beridealis, punya prinsip, dan tidak selalu berpegang pada aturan baku, namun tetap bekerja sesuai jalurnya.

Yang tipe pendidik, bekerja lebih dengan teoritis, dan kelebihannya adalah mampu memberi contoh dan mendidik untuk yang lain, tipe yang cocok banget buat temannya pekerja junior.

Dua tipe ini aku temui juga di tempat kerjaku. Tipe profesi bekerja cukup cepat dan punya gaya, sedangkan tipe pendidik ya seperti yang aku bahas di atas. Pekerja dengan tipe profesi saat sebagai pendidik, dia kadang akan mengalami kesulitan saat mengajari orang lain, karena dia punya cara sendiri yang kadang tidak bisa diuraikan, sehingga membingungkan orang yang diajari. Sedangkan tipe pendidik, lebih sabar, dan karena berdasar pada 'textbook', dia dengan mudah menjelaskan ke orang lain, yang diajari juga bisa lebih mudah menerima, karena kata-katanya kadang hampir sama dengan buku tapi plus penjelasan matang. Kali tipe profesi, dia tidak akan menjelaskan tanpa ada pertanyaan, tapi kalo tipe pendidik, tanpa ditanya pun dia akan menjelaskan apapun.

Nah, kalo aku pikir aku punya tipe pendidik, meskipun aku lebih suka mengerjakan dengan tipe profesi. Karena kadang dalam penyampaian sesuatu, aku melakukannya dengan tipe profesi, cepat, tepat sasaran, dan nggak jelas.

Soal itu aku pernah punya pengalaman. Dulu, saat ada karyawan baru, dia mendekati aku terus (jadi risih nih), diliatih terus cara kerjaku. Aku yang merasa nggak ditanyain ya cuek aja sambil terus kerja. Setelah kerjaan selesai, aku agak menjauh sambil memperhatikan, ternyata dia belajar sendiri sambil bingung. Dan kemudian dia mengaku, kalo belajar dari aku dia nggak bisa karena aku terlalu cepat. Yah, namanya juga tipe profesi, harus cepat, tepat sasaran, dan nggak jelas (yang ini jelas nggak jelas), menggunakan pengalaman lebih daripada ilmu akademis buat ngerjakan tugas.

Wallohu a'lam.

Posting Aslinya

My Activity with Movies

In my schools era, most of my classmates like to watch the movies, so we often watch the movies together anywhere, anytime (out of our class time). First time we watch it in one of movie rental. There is a place with complete rent to watch, include player, television, and room. So pleasant that place in that era.

We were six persons that time. The movie that we chose is Legionnaire, fresh brand new movie, starred by Jean Claude van Damme. But in the end, we were disappointed with the ending. It just almost same with Tom Cruise’s The Last Samurai, the big war and all death soldiers, except the hero (illogic story).

But we never stop to try the unknown movies. Next visiting, we watch Jim Carrey’s The Truman Show. This time, we waited until 2 hours to indent the place, because full rooms. But we were satisfied with the story (even though illogic, but it was fair in comedy movie).

When I had my own VCD player (best in that era!), the activities moved to my house and the new members had added. Even my friends’ house so far, they might to ride their bike several kilometers to my house. Watching movies in the house more satisfied because it more expressive and stylish.

Right now, some of my workmates like movies too, so we can tell information and movies each other. Movies collection fulfills my hard disk easily and too hard to throw away. But, I can get the easy things; I can watch it anytime I want. And my movie collections have to get easily from my friends.

Versi Bahasa Indonesia

Kelompok Sufi

Dulu saat masih sekolah, kebanyakan teman di kelasku adalah sufi (suka film), jadinya kami sering ada acara nonton bareng di mana aja, kapan saja (asal bukan pas pelajaran). Pertama kali liat film itu di persewaan. Ada sebuah persewaan VCD, yang lengkap menyewakan player, tivi dan bilik buat nontonnya. Wah, seru banget tuh tempat, jaman segitu udah sangat keren.

Kalo nggak salah kami berenam saat itu. Dan film yang kami pilih adalah Legionnaire, waktu itu masih baru-barunya, dibintangi oleh Jean Claude van Damme. Dan ternyata, kami agak kecewa dengan endingnya. Ending film ini hampir sama dengan The Last Samurai-nya Tom Cruise, di mana si jagoan ikut dalam sebuah perang besar, dan pasukan si jagoan habis mati semua, kecuali si jagoan (yah, nggak logistik banget ceritanya).

Meski demikian, kami nggak kapok mencoba film-film yang kami sendiri belum tau ceritanya. Kunjungan berikutnya kami nonton The Truman Show oleh Jim Carrey. Pas nonton yang kedua ini, kami rela nunggu 2 jam buat antri tempat, karena pas itu biliknya penuh. Tapi kali ini nontonnya puas dengan ceritanya (meski nggak logistik juga, tapi lumrah karena filmnya komedi).

Nah, saat aku punya VCD player sendiri (pas jaman itu udah top banget!), jadilah nonton bareng dialihkan ke rumah dan kelompok sufinya jadi banyak anggotanya. Bahkan, teman yang rumahnya jauhpun ikut juga, ngoyo bersepeda ribuan kilo (ga juga sih, hiperbola!). Dan kalo di rumah emang lebih puas karena bisa nonton dengan berbagai ekspresi dan gaya.

Kalo sekarang ini, kebetulan beberapa teman-teman di kantor juga kebanyakan para sufi, jadi bisa tukar informasi dan film tentunya. Koleksi film jadi memenuhi hardisk dengan mudah, dan sayang kalo dibuang. Tapi, kemudahannya bisa dirasakan, kapanpun aku pengen nonton film-film itu aku bisa. Dan pastinya koleksi film bisa didapat dengan mudah dari sumbangan teman-teman yang lain.

Senin, 22 Agustus 2011

Different Function, Different Purpose


I remember to Khusni’s comment, that blogging is hard, never came online together, and we can’t write something. That is it, because weblog site is a place where use to blogging.

Weblog is mini website representative, so account user, or it can be called by administrator, have not to online always. Weblog, or blog, used to be website, inform the information, write the articles, photos upload, videos posting, etc.

If the needed just like Khusni there, so follow to community site. From the function it’s different, community site use to communicate without compose the articles, chatting facility, or any application as you like. So, both of them have different function, so have different purpose too.

In community site, we have to create an account first and have to log in, find friends, or look to the other profile. But in the blog, freely we can enter, blog walking, read, download, etc. in someone blog without log in to provider sites. It is so free, without make a change to the blog.

If the administrators didn’t answer the comments in their posting soon, never force and be angry, because it could be that they haven’t log in, and not all comment will be reply by admin.

So, make the decision first what you want to get in any facility. After that, find the facility that will make the decision real. In the early, I have known blog function, so when I want to be more creative again, I know the purpose and work roll. And so, I got no wrong target because I used the function right.

Original Posted Version Versi Bahasa Indonesia

Minggu, 21 Agustus 2011

Duratmoko Sinatriyo


Once upon a time, suddenly I remember about one book that I was borrowed from my friend, titled ‘Duratmoko Sinatriyo’, a Javanese book, if it translated would be named Knightly Thief.

I forget how the originally story detail, but briefly I remember the core of this book. The story concisely like this:

One day, a thief came to a rich house, far away from his own house. But, when he acted to steal, the sacred guard saw him. Then, both of them fight each other. One chance, the guard almost wound the thief with his weapon. But the thief led his back to the guard and hugged the tree. The guard might not wound the thief for the back, so he asked the thief to turn around to him. But the thief mightn’t, and he asked the condition to postpone the fighting for three weeks, so that he can meet his family for the last time before they were apart. The guard agreed it, and they had the deal to meet again in the same place and same act. Finally both of them got apart and the thief back to his village to meet his family. In the set time, both of them meet again and back to their same position like before. The thief hugged the tree and the guard would wound from the thief’s back. Because the thief wouldn’t turn back, so the guard digs the hole in the tree, till it emerged to the thief’s chest. But finally the guard might not to kill the thief because the thief pay his promise back, whereas he know that he will be killed by the powerful guard. And finally they held the friendship until they back to their each life.

From this story, it actually not just the thief that knightly, but the guard also shows his knightly. The thief back to his fight and head the guard’s execution, although he know that his chance to run away very thin. The guard, he would not to wound the thief from the thief’s back, because his act isn’t show the honorable for him.

The respect between the guard and the thief has ended by the friendship. Does the story exist in this real world? Do knight thief, or thief knight?

Versi Bahasa Indonesia di sini

Freeware and Free Software


So many people still assumed that freeware and free software, but there are the difference between both of them. Software consists of proprietary, shareware, and freeware. So, these three kinds of software can be free software, but they can’t be freeware.

Freeware, or also called by Free Open Source Software (FOSS), is free license and purpose right software. We can freely use, hand around, or install without break the law, just for right purpose. In this case, Linux is open source operating system, where we can use, get and change its source code, pass around, install, without buy the license.

Shareware refferer to trial public software in several time, then if original software wouldn’t bought, validity period will end. And proprietary, we can’t use it without buy it.

Whereas free software is a software that we get it without pay out, it can be borrow or asked to some friend, and the other reason.

In this case, the difference between freeware and free software is. Freeware like Linux OS and the other open source can’t be free if we have to buy to get it. For example, I have Ubuntu 8.04 CD that I buy for Rp10.000, or Ubuntu 8.10 Muslim Edition DVD for Rp15.000, but to purpose right and the license equally to more expensive original Microsoft Windows. The other example, automatically Linux’s Open Office integrated, equally to more expensive Microsoft Office for the license.

If the Windows and Office have got from friends without pay out, so this is free software, except your friend asked pay from you for your borrow.

Originally posted here

Sabtu, 20 Agustus 2011

Perubahan Indikator


Hampir setiap hari berada di jalanan, membuatku bertemu dengan banyak orang dan banyak tipe orang, dengan berbagai sikap di jalan. Ada yang tertib, menjengkelkan, atau sangat menjengkelkan.

Salah satu tempat di mana aku sering menemui orang-orang yang sangat menjengkelkan adalah di perempatan jalan yang ada lampu merahnya. Tentunya setiap orang yang pernah sekolah dasar pasti pernah diajari bahwa lampu merah itu berarti berhenti, kuning berarti berhati-hati, dan hijau berarti jalan. Walau ga sekolah pun tapi tahu aturan, pasti juga tahu arti warna-warna tersebut. Tapi, kenyataannya tidak demikian (terutama tentang lampu merah). Di mana merah tidak harus selalu berhenti, tergantung kondisi.


Yang sering memperlakukan demikian adalah pengendara sepeda. Sepeda, yang notabene tidak ada pajaknya, sering melanggar aturan tersebut. Kalo ada apa-apa di tengahnya, yang muncul adalah alasan sepede itu kendaraan kecil, yang nabrak kendaraan gede, jadi sepedanya ga bersalah. Hal yang sama juga terjadi pada becak.


Lain lagi kalo kendaraan lain yang melakukannya. Kalo udah sepi, ga ada yang lewat, biar masih merah ya jalan aja. Ada alasan apa sih? Buru-buru? Pengen cepet? Kalo pengen cepet kok ya nggak berangkat dari kemaren aja, lebih cepet!


Salah satu yang juga sangat menyebalkan adalah pengendara motor yang di lampu merah tidak menempatkan diri dengan baik. Biasanya kalo ada pohon di tepi jalan, kebetulan lagi panas, berhentinya ya di bawah pohon itu, tidak pada jalur semestinya. Yah, kalo dengan alasan itu, mestinya kalo panas ga usah keluar, di rumah aja, daripada di jalan trus berteduh!


Perempatan (atau pertigaan) lampu merah itu jarang sekali ada 'penunggu'nya walau ada pos dan patung polisinya (padahal polisi yang paling jujur di negeri ini adalah patung polisi dan polisi tidur!). Kecuali kalo perempatan alun-alun dan perempatan strategis lain, pasti rutin dijaga polisi. Jadi, indikator makna warna pada lampu sudah jarang dipakai, yang dipakai adalah indikator ada penjaganya atau tidak.


Ya tidak semua pengendara seperti itu. Tapi tetap aja, kebanyakan seperti itu. Sudah jelas ada tanda 'Belok kiri ikuti isyarat lampu', masih saja nyerobot. Ini yang salah mata atau otaknya ya?


Jadi teringat pengalamanku dulu saat sial menerobos lampu merah. Di pertigaan, biasanya kalo jalan lurus walau lampu lagi merah ya terus aja, jadinya aku terus. Padahal jelas-jelas ada polisi sedang jumeneng di tengah jalan. Ya udah, jadi deh aku dihentikan dan dikasih pengarahan. Aku memang salah, jadi ya aku dengerin aja. Pas mo bayar 'upeti', dia bilang ga usah, tapi aku harus berjanji tidak mengulangi lagi. Jadinya, sekarang kalo pas lewat lampu merah, aku sangat berhati-hati (bukan karena berhati-hati kalo ada yang jaga).


Sekarang, siapa yang salah? Guru SDnya yang kurang mengajarkan makna warna lampu itu, atau orangnya yang 'bermata tapi tak melihat'? Tentulah guru tidak bisa disalahkan, karena mental berkehidupan tidak didominasi dari pengajaran sekolah. Yang terlihat di sebuah iklan rokok tentang pelanggaran lalu lintas itu memang nyata terjadi, bahkan kalau ada yang jaga sekalipun. Mungkin mental umum kita di negeri inilah yang perlu diperbaiki.

Baca juga di sini

Jumat, 19 Agustus 2011

Anak-Anak

Tergelitik banget sama acara ajang kontes menyanyi anak-anak tapi menyanyikan lagu yang bukan anak-anak. Lagu-lagu yang semestinya untuk orang dewasa (yang bisa berpikir dan membedakan mana yang benar atau mana yang salah), disajikan dan ditampilkan oleh dan untuk anak-anak. Beberapa tahun sebelumnya ada acara yang sejenis, tapi lebih bernuansa “anak-anak” karena mereka mayoritas menyanyikan lagu anak-anak (setidaknya lagu buat anak-anak).

Secara realistis saja, sekarang memang jarang sekali lagu yang khusus buat anak-anak. Jarang ada album buat anak-anak yang beredar (mungkin karena kurang laku kali). Tidak ada lagi generasi penerus Joshua, Tasya, atau yang lebih jauh, Trio Kwek-Kwek. Nama-nama itu sekarang sudah tidak bisa lagi disebut anak-anak.

Di tempat lain, banyaknya sinetron untuk anak-anak (atau remaja), juga disisipi unsur yang sebenarnya bukan porsi mereka, dan cenderung dipaksakan. Sangat tidak pada tempatnya!

Orangtua adalah madrasah awal untuk anak-anak. Kemudian diteruskan oleh guru di sekolah. Sebagian pergaulan anak-anak memang ada di sekolah. Sebagian yang lain ada di lingkungan luar, yang tidak bisa dipastikan keamanannya. Memang tidak ada jaminan jika pendidikan dari awal sudah baik, yang berikutnya akan ikut jadi baik. Bisa saja baik di awal tapi buruk di sisi yang lain.

Akan selalu saya ingat kisah seorang anak, yang dari TK dan SDnya dihabiskan di suatu sekolah Islam yang (menurut saya) terbaik di daerahnya. Anak yang seperti ini seharusnya bisa membawa apa yang didapatnya dari sekolah untuk diamalkan di kehidupannya sehari-hari. Tapi nyatanya, terdengar kabar bahwa di SMP dia dikeluarkan dan juga menghamili pacarnya! Hal yang bisa disimpulkan dari anak ini adalah bahwa lingkungannya membentuk suatu sifat dan sikap yang bertolak belakang dengan apa yang didapatkannya di sekolah Islam tadi. Kebetulan dia memang tinggal dekat dengan lingkungan lokalisasi, di mana para pemabuk, penjudi dan pezina selalu berkeliaran di sana.

Mungkin tidak semua seperti itu, tapi itulah gambaran tentang anak sekarang yang sedang aku lihat. Terlebih lagi, anak-anak lebih suka dengan benda yang disebut televisi, tapi ironisnya jarang ada program televisi yang cocok dengan anak-anak. Kalau belasan tahun yang lalu, di sore hari, saat aktifnya anak-anak melihat televisi, bertaburan acara dan film untuk anak-anak, sekarang televisi bertaburan infotainment (mungkin dengan alasan yang sama seperti di atas, kurang laku dan tidak menaikkan rating).

Sekali lagi, ini adalah pandangan saya. Jadi, kalo punya pandangan lain, silakan berpendapat deh, gimana sebenarnya yang terjadi dan apa yang terbaik untuk anak-anak jaman sekarang.


sumber

Kamis, 18 Agustus 2011

Menulis


Apa ya yang mau aku tulis? Bagiku menulis bukan hanya menuangkan ide, curhat, gagasan dan pemikiran yang ada di pikiran, apalagi kalo menulis di blog. Tulisan yang aku ketik harus tertata rapi, berbahasa sopan sehingga mudah diterima orang lain, ketikan rapi dengan format sesuai dan bahasa dengan EYD, dll. standar bagiku untuk menulis.

Tidak mudah bagiku menentukan tema tulisanku. Aku ga mau hanya sekedar menulis memenuhi lembar blog dengan tulisan yang tidak akurat, tidak bermutu, dan tidak mendasar. Harus ada referensi, entah dari buku, website, atau blog lain kalo itu tentang suatu topik yang umum. Kalo dari pengalaman pribadi, mungkin lebih mudah, tinggal menata tata bahasa dan alurnya. Hilangkan semua hal yang tidak perlu, yang kadang muncul begitu saja di layar.

Munculnya ide yang kadang tidak terdokumentasikan kadang jadi hilang begitu tangan mulai menyentuh keyboard. Fokus menulis terbagi dengan menata lembaran ide di kepala, mana yang jadi permulaan, isi, kemudian penutupnya. Karena di saat munculnya ide terkadang tidak disertai dengan media yang bisa jadi tempat curahan, entah itu kertas, netbook, atau yang lainnya.

Sejak kecil aku suka menulis, entah itu membuat cerita-cerita yang tidak aku lanjutkan akhirannya, atau merangkum pengetahuan dari buku atau media lain. Dan terkadang apa yang aku tonton atau aku baca menjadikan suatu obsesi bagitu sendiri. Dan sejak aktif di blog, aku sering mencari topik sendiri untuk dituangkan dalam blog, tapi terkadang tidak ada ide muncul saat login ke blog. Jadinya ngeblog cuma dijadikan alat komunikasi aja, tanpa kontribusi yang berarti untuk kehidupanku dan orang lain.

Terkadang saat kita (kita? elo aja kali!) membaca media lain muncul ide untuk menyalinnya ke dalam tulisan sendiri. Tapi kadang aku berpikir, di mana letak ide kreatifku sendiri muncul. Tulisan itu milik orang lain, aku hanya menyalin dan menambahi (kadang) dengan apa saja yang perlu.

Punya tulisan sendiri memang menarik. Aku pengen meniru temanku, Adi, yang tulisannya ada di blognya dan beredar di mana-mana. Atau juga si Ali, yang dulu tulisannya pernah dimuat di surat kabar. Ada kepuasan tersendiri saat hasil karya sendiri muncul, dilihat orang lain, dikomentari, dilihat sendiri, baca-baca sendiri, senyum-senyum sendiri, pokoknya ga sendiri-sendiri aja.

Di awal blog aku pernah menulis kalo aku akan membuat sebuah literatur tentang Atlantis, Dzulqornain, atau cerita-cerita sejarah lain yang aku gemari. Tapi nyatanya, setelah aktif tidak ada satupun topik yang berhubungan dengan itu (itu sih karena referensiku hilang termakan virus). Obsesi: pengarang? Ah, aku hanya mengarang obsesiku sendiri.

Salah satu yang suka aku baca adalah suatu cerita hikmah dengan penokohan. Dulu aku sering baca tulisan pamanku, (alm.) Anshari Thoyib, di harian Surya lewat tokoh Mbah Ghofur. Atau mungkin sekarang Bapak Nur Cholis Huda, yang tulisannya rutin dimuat di majalah Matan PWM Jawa Timur.

Tapi pada dasarnya, semua manusia yang melek huruf punya kecenderungan untuk menulis, entah itu beraturan atau tidak.

Udah panjang belum sih tulisanku ini? Aku masih belum menemukan topik untuk ditulis. Di mana ya ada toko topik untuk dibahas?

Sumber

Daftar Blog Saya