Tanya Dilema

Suatu pagi, di tengah-tengah pekerjaan, tiba-tiba ponselku berbunyi. Ada pesan di Facebook Messenger dari seorang temanku.

Seperti Nemo

Ada satu film yang bagiku aneh banget, yaitu Finding Nemo. Inti ceritanya kan ada seekor ayah ikan yang mencari anaknya. Yang aneh itu ternyata ikan ini bisa ngomong. Padahal kalopun ikan bisa ngomong, kan ikan ini ada di dalam air. Coba kita aja yang ngomong di dalam air, kedengeran nggak sama temen kita yang ada di deket kita.

Pakai Bahasa Indonesia

Dari sejak blog pertamaku aku selalu pengen mempertahankan ke-Indonesiaanku, khususnya dalam penggunaan bahasa Indonesia di setiap tulisan blogku. Bukan karena aku nggak bisa bahasa Mandarin, Jepang, Korea, atau India, bukan! Tapi sebenarnya emang nggak bisa sih, tapi bukan itu maksudnya.

Hobi

Hobiku adalah membaca. Aku mendapatkannya dari sebuah majalah anak-anak. Jadi gini awal ceritanya, waktu itu ibuku mengirimkan foto dan dataku ke sebuah rubrik koresponden di majalah anak-anak itu. Dan di bagian hobinya, ibuku menuliskan kalo hobiku adalah membaca.

Power Bank

Di jaman gadget seperti sekarang ini, keberadaan smartphone menjadi bagian kehidupan bagi beberapa orang. Tapi di balik kecanggihan dan segala kelebihannya, ada salah satu sisi di mana smartphone justru lebih boros dalam pemakaian daya baterainya.

Selasa, 31 Desember 2013

Generalisasi

Suatu ketika, saat seorang cewek dikecewakan oleh seorang cowok, dia kemudian berkata, ‘Semua cowok itu sama saja, suka bikin sakit hati’. Betapa kalimat ini sangat-sangat berbau generalisasi. Bagaimana tidak, hanya karena seorang cowok di antara jutaan atau bahkan miliaran yang lain membuatnya kecewa dan sakit hati, dia sudah berani membuat kesimpulan dan vonis bahwa ‘semua cowok itu sama saja, suka bikin sakit hati’. Mungkin juga berlaku sebaliknya.

Hanya karena SEORANG, bukan DUA ORANG, bukan TIGA ORANG, bahkan bukan SEPULUH ORANG! Begitulah generalisasi, di mana mengesampingkan bagaimana yang lain, hanya karena sejumlah kecil ketidakwajaran, sejumlah besar kewajaran tidak terlihat. Mungkin kita sering melihat di berita, di mana ada sekelompok orang di sebuah daerah bersikap kasar atau kurang ramah. Tapi bukan berarti semua orang di daerah tersebut juga seperti itu. Atau karena sebuah peristiwa tidak mengenakkan di suatu tempat. Itu tidak menandakan bahwa tempat tersebut selalu membuat tidak enak.

Karena generalisasi itu tidak adil bagi sebagian orang, hanya karena sebagian yang lain. Mungkin seperti itulah mengapa ada orang-orang yang sangat percaya kepada hal-hal yang berbau takhayul. Padahal takhayul itu terjadi hanya karena suatu hal yang menimpa seseorang atau beberapa orang yang kurang beruntung, maka masyarakat menganggapnya sebagai sebuah tanda atau hal yang harus dihindari dan dijauhi.

Hanya karena seseorang yang menyakitinya, seseorang bisa menganggap orang-orang yang lain juga seperti itu. Lalu bagaimana dengan orang-orang yang tidak begitu? Kita tidak bisa menganggap bahwa orang-orang dari daerah ini begini, atau orang-orang yang bersekolah di tempat ini begitu, atau orang-orang yang lahir di bulan ini begini, atau pula orang-orang dengan ciri-ciri khusus itu begitu. Itu hanyalah generalisasi! Hal yang tidak adil bagi mereka yang tidak seperti anggapannya. Kalo seorang cewek tadi menganggap semua cowok selalu bikin sakit hati, bagaimanakah dengan bapaknya? Apakah dia melihat bahwa bapaknya juga seperti itu? Atau kalo seorang cowok bilang bahwa semua cewek itu suka bikin kesal, apakah dia melihat bagaimana baiknya ibunya?

Yang pasti memang generalisasi itu sifat yang sering melekat dalam kehidupan kita sehari-hari. Kita sering tidak sadar dengan melekatkan sebuah kondisi tertentu pada lingkungan atau hal tertentu yang bersifat mirip atau sama. Tentu saja setiap individu dari kita tidak bisa dibanding-bandingkan satu sama lainnya, tapi tetap saja setiap kita tidak bisa disama-samakan dengan masing-masing yang lain.

Senin, 30 Desember 2013

Parkir Bis

Parkir bis adalah sebuah taktik sepakbola ultra defensif yang beberapa orang juga menyebutnya sebagai sepakbola negatif, di mana sebuah tim yang hampir seluruh pemainnya menjaga wilayah pertahanannya dengan ketat, mencoba menutup semua celah pertahanan dengan menumpuk pemain di jantung pertahanan, serta sesekali mencoba mencari peluang dan kesempatan untuk memanfaatkan kelengahan tim lawan dan membuat skema serangan balik. Taktik ini biasanya dipakai untuk menghadapi tim-tim dengan kualitas serangan yang sangat rapi dan kuat, di mana serangan tanpa henti-hentinya dilakukan dan terus mengalirkan bola ke daerah pertahanan lawan.

Sering karena ketatnya pertahanan lawan, tim penyerang menjadi frustasi dan malah membuat kesalahan sendiri. Di Piala Dunia Perancis 1998, penyisihan grup antara Belanda vs Belgia, waktu itu Belgia dengan menggunakan taktik ini. Meskipun Belanda terus menerus mengurung dan membombardir pertahanan Belgia, pertandingan harus diakhiri tanpa gol. Bahkan penyerang Belanda, Patrick Kluivert, juga harus dikartu merah.

Banyak pihak dan penggemar sepakbola membenci taktik ini, karena mengurangi kenikmatan menyaksikan sepakbola. Banyak orang yang lebih suka dengan pertandingan yang saling serang dan bermain terbuka, sehingga memunculkan banyak peluang dari kedua tim dan juga menghasilkan banyak gol. Tidak sedikit pula yang mengkritik taktik ini sebagai taktik yang harusnya tidak ada dalam permainan sepakbola. Namun, bila disadari, sebenarnya tidak semua hal dalam taktik parkir bis adalah hal-hal yang negatif.

Taktik ini sendiri sebenarnya adalah sebuah respon dari sepakbola menyerang. Dalam hal menghadapi sebuah tim dengan kombinasi serangan yang sangat kaya dan variatif, diperlukan juga serangan yang juga gencar untuk mengimbanginya. Namun bila keadaan tim kurang maksimal untuk itu, sehingga seringkali serangan justru kandas sebelum benar-benar selesai dibangun, maka teknik parkir bis ini masih diperlukan.

Taktik parkir bis juga merupakan salah satu dari sekian banyak taktik di permainan sepakbola. Pro dan kontra akan pemakaian dan keberadaannya tentu saja sangat subyektif, sama seperti taktik-taktik yang lain, tergantung dari bagaimana lawan yang dihadapi. Mengabaikan tentang kebosanan saat menyaksikan taktik ini dipakai dalam sebuah pertandingan, tentu saja ada aspek-aspek lain yang juga masih sangat menarik untuk diperhatikan, seperti bagaimana efektifnya serangan balik cepat yang dipakai sebagai balasan saat lawan kehilangan penguasaan bola.

Minggu, 29 Desember 2013

Transformasi Tulisan Tanganku

Kelas 3 adalah tahun terkelamku selama masa sekolah di SD. Banyak faktor yang mengiringi hal tersebut, mulai dari pergantian sistem pembelajaran dari tingkat dasar kelas 1 dan 2 ke tingkat menengah di kelas 3 dan 4, peralihan media menulis dari buku halus ke buku biasa, sampai kepada mulai dipakainya pulpen sebagai pengganti pensil untuk menulis. Beberapa hal tersebut juga ditambah kesiapan mentalku yang saat itu berumur 7 tahun.

Salah satu transformasi yang paling mencolok adalah bentuk tulisanku yang jadi nggak karuan lagi bentuknya. Terbiasa menulis latin di buku halus dengan menggunakan pensil yang relatif sangat mudah dihapus, kemudian memakai pulpen untuk menulis di buku yang garis-garisnya lebih lebar, membuat tulisan latinku tak lagi teratur. Bahkan seakan-akan kerapian tulisan itu nggak pernah nampak di buku apapun.

Di kelas 4 aku mulai mencoba kembali merapikan tulisanku (tanpa bantuan behel). Dan tanpa sengaja, aku menemukan bentuk model tulisan yang menurutku cukup cocok sebagai tulisan tangan khasku. Tapi bentuknya jadi sangat aneh dan berbeda dengan tulisan sebelumnya. Masih dengan dasar tulisan latin tegak bersambung, tapi tidak semua tulisan menyambung. Ada beberapa yang entah kenapa tidak aku sambungkan dengan huruf sebelumnya ataupun berikutnya. Dan yang beda lagi adalah ukuran tulisannya, jadi lebih kecil-kecil.

Beberapa tahun terakhir di SD, kembali ada perubahan di tulisanku. Kembali diulangnya pelajaran menggunakan buku halus di kelas 6 membuat tulisan latinku lebih ‘kental’ dengan sambung-menyambung dan lengkung-melengkung. Menulis seolah menjadi seperti mengukir atau membuat gambar lengkungan, terutama di setiap sambungan antar huruf. Model tulisan seperti ini yang bertahan sampai aku menyelesaikan pendidikan di SD.

Masuk ke SMP kembali dihadapkan dengan transformasi tulisan. Karena di SMP tidak diwajibkan menggunakan huruf tegak bersambung, aku mengubah model tulisan menjadi huruf tegak tanpa sambungan. Agak sulit sih menyesuaikan, mengingat udah selama 6 tahun menggunakan model huruf latin bersambung. Lama kelamaan setelah terbiasa bentuk tulisanku semakin bagus dan luwes, beda dengan kekakuan di awal penggunaannya. Tapi kalo diperhatikan, masih ada yang sama dengan tulisanku di SD, yaitu ukurannya kecil-kecil. Bahkan di akhir sekolah di SMP sempat aku memakai satu baris buku menjadi dua baris tulisan, terutama untuk buku-buku yang berukuran besar, yang barisnya lebih lebar daripada buku biasa.

Masalah ukuran huruf ternyata sedikit ‘bermasalah’ di kelas 1 SMK. Seorang guru Bahasa Inggris di kelas 1 ini mengkritik kekecilan tulisan tanganku sejak pelajaran pertama. Jadilah, setiap kali pelajaran beliau, aku ‘dipaksa’ harus membesarkan ukuran hurufku. Tapi tentu saja, hanya di pelajaran beliau aku memakai tulisan yang agak besar, di pelajaran yang lain kembali lagi ke selera asal. Ciri khas tulisan sejak kelas 3 SMP, yaitu huruf yang menggantung di baris buku, juga masih aku pakai di SMK.

Dan kemungkinan sejak masa di SMK ini, sampai sekarang model bentuk tulisan tanganku tidak berubah. Kalaupun sekarang ada yang berubah tidak kelihatan jauh bedanya dengan tulisanku semasa SMK. Bentuk tulisan yang kecil, terlihat tegak dan terkesan tergores di akhir huruf, serta beberapa lengkungan kecil dan juga kurang rapi kalau menulis secara tergesa-gesa.

Sabtu, 28 Desember 2013

Gagal Paham

Ada seorang ibu dan anaknya lagi duduk-duduk di tepi trotoar sambil makan jajanan. Saat si anak sudah menghabiskan makanannya, dia bertanya kepada ibunya di mana dia harus membuang bungkus jajanannya tadi. Ibunya memberitahu untuk membuang saja di bawahnya begitu saja. Si anak itu pun menurut. Dan selanjutnya, mungkin si anak tidak perlu bertanya lagi di mana harus membuang sampahnya.

Ada pula anak yang makan jajanan di dalam mobil yang sedang melaju di jalan. Saat selesai makan, dia pun bertanya kepada orangtuanya di mana tempat membuang sampahnya. Orangtuanya memberitahu untuk membuang ke luar lewat jendela mobil begitu saja. Dan mungkin, selanjutnya si anak tidak perlu bertanya lagi ke mana dia harus membuang sampah berikutnya.

Sebuah kebiasaan (yang mungkin juga disadari oleh orang Indonesia sendiri) bahwa orang Indonesia sering buang sampah sembarangan. Tapi sebenarnya itu salah! Karena orang Indonesia selalu membuang sampah di tempatnya, hanya saja bagi kebanyakan orang Indonesia semua tempat itu adalah tempat sampah, jadi sampah boleh dibuang di mana-mana.

Gagal paham bukan merupakan penyakit, tapi bisa menular dan bisa menurun. Kita lihat saja sekarang, ada seseorang yang merokok di depan tanda ‘Dilarang Merokok’. Jika ada satu orang saja bersama dia, kemudian ikut merokok karena berpikir bahwa berarti merokok di situ tidak apa-apa, maka orang pertama tadi telah menularkan kegagalpahamannya. Atau ada seseorang yang tidak mau berhenti di perlintasan lampu lalu lintas, maka orang di belakangnya bisa ‘tertular’ dan ikut tidak berhenti.

Perilaku yang semacam ini seakan mengesampingkan fungsi akal dan panca indera, berganti dengan kepuasan pribadi semata. Tanda ‘Dilarang Merokok’, atau lampu merah, atau rambu-rambu lalu lintas, tentu dipasang bukan untuk diabaikan, tapi sebagai instruksi yang harus ditaati. Tapi seolah orang-orang tadi tidak mau mengindahkan instruksi-instruksi tadi, seakan-akan mereka merokok bukan melalui mulut, tapi melalui mata.

Gagal paham yang seperti ini terlalu lazim di kehidupan kita pada saat ini. Padahal kita bisa menghindari kegagalpahaman ini. Kita juga masih sangat berkesempatan mencetak dan menurunkan generasi penerus yang bebas dari gagal paham tersebut. Tentunya bergantung pula dari bagaimana kita memperbaiki kualitas hidup pribadi dalam kehidupan kita ini. Jangan sampai kepuasan pribadi menutup akal dan hati kita dari kebenaran dan malah menjerumuskan kita ke arah kufur nikmat. Sehingga generasi kita selanjutnya bisa mencontoh dari kita bagaimana menjalani kebiasaan yang sehat dan bebas dari hal-hal yang bisa mengotori kualitas perilaku (setidaknya) garis keturunan kita nantinya.

Setidaknya kita memulai dari diri kita sendiri, dan setidaknya ada sesuatu yang bisa kita ubah dari kehidupan singkat kita ini. Sehingga bisa jadi suatu saat, seperti halnya gagal paham tadi, perubahan kebiasaan tersebut bisa menular kepada orang lain. Sebisa mungkin menjelang tidur kita bertekad bahwa besok kita harus mengalahkan seseorang. Besok kita harus lebih baik dari seseorang. Siapakah orang itu? Yaitu diri kita sendiri pada hari ini.

Jumat, 27 Desember 2013

Cap Plastik

Pagi ini, membuka sebuah kemasan plastik yang berisikan surat, yang dikirim melalui perusahaan ekspedisi terkemuka di Indonesia. Plastik yang kemudian aku sobek begitu saja, demi mendapatkan isi kemasannya. Padahal, kalo diperhatikan, perusahaan ini mau menyisihkan anggaran pengeluaran operasionalnya untuk membeli plastik dan menyablonnya sebagai identitas, untuk kemudian disobek dan dibuang oleh penerimanya. Kenapa sih harus, perusahaan ini melakukan seperti itu?

Suatu ketika, setelah berbelanja di sebuah minimarket, aku mendapati barang-barang belanjaan dibungkus dengan kresek, yang di luarnya tertera nama dan identitas lain minimarket tersebut. Padahal, saat kemudian tiba di rumah, kresek tersebut entah mau aku pakai lagi atau aku buang begitu saja. Lantas kenapa juga minimarket tersebut mau repot-repot menyediakan kresek, disablonkan pula?

Tentu saja fungsi utama dari plastik dan kresek itu tadi adalah untuk membungkus barang-barang kita, sebagai pengaman dari panas dan hujan, sebagai tanda bahwa perusahaan ini atau minimarket itu adalah sebuah tempat dan instansi yang bisa diandalkan. Seringnya nggak hanya plastik saja, bisa jadi kardus, karton, atau kemasan lainnya. Tapi setimpalkah bila kemudian pembungkus tadi kemudian dibuang begitu saja?

Brand image, adalah salah satu tujuannya. Kita jadi tau bahwa sebuah perusahaan ekspedisi ini mau mencetak plastik pembungkus yang kemudian hanya untuk dibuang, untuk memberikan kesan bahwa untuk bungkus saja mereka nggak asal-asalan. Kalo mau, bisa saja mereka memakai plastik polos asal-asalan aja untuk bungkusnya. Tapi dengan sedikit tambahan cetakan tadi, para pengguna dan penerimanya bisa mendapat kesan ‘Oh, perusahaan anu, pembungkusnya nggak asal, bagus dan ada cap merknya’.

Aku sendiri pernah membeli sesuatu di sebuah minimarket, yang kemudian untuk bungkus barang yang telah aku beli minimarket tersebut memakai plastik kresek polos. Kalo dilihat sepintas aja, jadi terlintas pikiran bahwa minimarket seperti ini bagusnya, tapi masak bungkusnya polosan aja sih. Salah satu fungsi cetakan itu juga bisa jadi meningkatkan gengsi perusahaannya.

Apalagi banyak kalangan masyarakat kita yang masih gengsi-gengsian dalam berbagai hal. Belanja misalnya, ada kelas-kelas tertentu dari masing-masing tempat. Kalo udah belanja di tempat yang sangat berkelas, dengan pulang menenteng kresek bertuliskan tempat belanja tadi, bisa terkesan orangnya jadi ikut berkelas. Padahal itu cuma kresek lo, yang ditulisi identitas tempatnya, begitu aja udah bisa menaikkan pamor nggak hanya tempatnya, tapi juga konsumennya.

Brand image, mungkin itu juga yang membuat sebuah perusahaan kacang kulit menjadi sponsor salah satu klub sepakbola terbesar di dunia, Real Madrid. Padahal kalo dipikir, wong perusahaan kacang kulit aja lo, di Indonesia ini banyak. Tapi dengan menjadi sponsor klub yang namanya udah tersohor dan mendunia, itu adalah sebuah nilai plus tersendiri bagi penjualan dan pemasaran produknya, mengesampingkan bahwa produk yang serupa banyak diproduksi di negara ini.

Kembali ke masalah ‘akhirnya jadi apa pembungkus tadi’, aku jarang membuang kresek dari apapun dan manapun terutama yang masih bagus. Kalau suatu saat memerlukan bungkus, ‘koleksi’ kresek tadi bisa bermanfaat. Tapi dari hasil pengumpulan tadi setelah terkumpul, ternyata banyak dari kresek bekas tadi yang belum atau tidak digunakan. Dan akhirnya ke mana arahnya, beberapa kembali lagi berakhir di tempat sampah, belum sempat digunakan ulang.

Kemasan plastik bungkus surat tadi, masih teronggok di tempat sampah di ruangan kantorku ini. Sebuah barang yang telah melewati proses panjang setelah sempat sangat berguna dalam kehidupan keseharian manusia, dan kemudian berakhir di sini. Bisa jadi kita manusia juga seperti itu, kehidupan selama di dunia, mungkin berguna bagi kehidupan kita sendiri maupun orang-orang di sekitar kita, yang suatu saat berakhir di sebuah lubang seukurannya sendiri. Begitulah kehidupan dunia yang sedang kita jalani ini.

Kamis, 26 Desember 2013

Silakan Mengeluh Jika...

Mengeluh adalah salah satu luapan ketidakpuasan atas nikmat yang telah kita dapatkan. Akan tetapi bisakah kita memilih nikmat manakah yang PANTAS kita keluhkan, bila dibandingkan dengan kenyataan bahwa kita bebas menggunakan oksigen kapan pun kita sukai?

Apakah keadaan yang kita keluhkan PANTAS dibandingkan dengan kenyataan bahwa kita bebas dibiarkan hidup tanpa kita pernah merasa harus membayar ‘hutang’ tersebut?

Kalaupun kita anggap itu adalah sesuatu yang pantas, maka silakan mengeluh. Tapi logikanya, berarti kita nggak mengakui nikmat lain yang kita tidak merasa perlu untuk dikeluhkan, dan dengan demikian kita tidak dirasa pantas untuk mendapatkan nikmat-nikmat tersebut.

Demikiankah? Wa Allohu a’lam bi ash showab.

Selamat mengeluh bagi yang merasa pantas melaksanakannya.

Rabu, 25 Desember 2013

Si Anak Bawang

Karena badanku yang kecil dan sifat cengengku selama sekolah di Sekolah Dasar aku berperan sebagai ‘anak bawang’. Lalu apa tugas anak bawang itu? Pada dasarnya tidak ada, kecuali berperan sebagai pelengkap kalo ada kelompok yang kekurangan anggota, atau dipasang di depan kiper saat main sepakbola, atau pula sebagai sasaran tembak dalam permainan kasti, atau menjadi sasaran intimidasi lainnya. Dan karena nggak ada keberanian untuk melawan atau memberontak, maka peran itu terus dijalani sampai lulus SD.

Kalo sekarang lagi ingat masa-masa ‘kelam’ itu jadi merasa nggak enak sendiri. Bagaimana nggak, kalo dulu karena badanku yang kecil terus jadi bulan-bulanan teman-temanku, tapi sekarang bahkan aku sendiri berbadan lebih besar daripada kebanyakan teman-temanku itu. Tapi masa lalu ya biarlah berlalu, nggak perlu diingat-ingat lagi. Yang penting bagaimana sekarang hidup yang dijalani ini.

Tapi kalo diperhatikan, memang di setiap fase sekolah atau apapun selalu ada yang ‘diberi’ peran ‘anak bawang’, sebagai pelengkap penderitaan. Dijadikan bulan-bulanan, sasaran empuk kemarahan dan kekesalan, atau kalo pada saat diperlukan bisa jadi pelengkap kalo kekurangan anggota kelompok seperti aku tadi. Sengaja atau tidak sengaja, hampir dipastikan ada. Si ‘anak bawang’ nggak akan keliatan menonjol dibandingkan teman-teman lainnya.

Lalu apa sih perlunya? Sebenarnya masing-masing pihak ada keuntungan yang bisa didapatkan. Bagi seorang ‘anak bawang’, terutama saat diperlukan, mereka akan merasa mendapatkan sebuah ‘peran penting’ dalam suatu permainan. Dalam masa itu si ‘anak bawang’ juga bisa merasa bahwa dia sudah diterima dalam sebuah kelompok tertentu. Sedangkan bagi kelompok yang berlawanan, tentu saja ‘anak bawang’ adalah keuntungan untuk maksud-maksud seperti di atas tadi.

Dalam kasus yang aku alami sendiri, ternyata aku nggak selamanya jadi ‘anak bawang’. Karena beberapa perlakuan yang nggak mengenakkan bisa menjadi pembelajaran bagiku untuk lebih kuat lagi. Suatu contoh, ketika suatu saat menjadi sasaran empuk tembakan bola kasti, aku kemudian bisa belajar bagaimana cara menghindari tembakan bola kasti dengan baik. Mengamati arah datangnya bola, belajar gerakan yang aman untuk menghindari bola, atau bahkan berusaha membalikkan keadaan. Dan untuk yang ini aku bisa dibilang cukup berhasil.

Satu hal lagi, status ‘anak bawang’ juga nggak selalu merendahkan diri sendiri. Bisa menjadi sarana penyatuan sosial (asal nggak kelewatan), terutama (sekali lagi dalam kasusku) jika si ‘anak bawang’ adalah seseorang yang bersifat pendiam, tertutup, kaku, dan penakut, yang sudah pasti kesulitan mendobrak tembok kesetaraan sosial. Tentu saja tergantung pada bagaimana si ‘anak bawang’ itu menyikapinya, dan bagaimana kelompok memperlakukannya.

Selasa, 24 Desember 2013

Idealisme Jalanan (bagian 2)

Suatu hari, di sebuah persimpangan jalan. Sedang berhenti karena lampu lalu lintas menyala merah. Tiba-tiba dari samping ada orang yang dengan tanpa merasa bersalah terus berjalan tanpa berhenti. Nggak seberapa lama kemudian lampu udah menyala hijau, dan nggak sampai 500 meter kemudian aku udah mendahului orang yang menerobos lampu lalu lintas tadi.

Kalo begitu apa istimewanya menerobos lampu lalu lintas kalo ternyata nggak bikin lebih cepat daripada orang-orang yang berhenti? Nggak beda jauh dengan kendaraan-kendaraan lain yang lebih memilih berhenti. Padahal berhenti di lampu merah itu juga nggak lama lo, nggak sampe satu jam lamanya. Jadi merasa kasihan orang yang nggak berhenti tadi karena nggak bisa membedakan warna, lebih merasa kasihan kepada guru-guru sekolahnya yang mengajarkan berbagai jenis warna yang berbeda, lebih merasa kasihan lagi kepada orangtuanya yang membiayai sekolahnya agar bisa menjadi orang yang berguna.

Apalagi kalo lampu merahnya ada penghitung waktu mundurnya. Yang jadi patokan bukan lagi warna lampunya, tapi angkanya. Kalo udah mau angka 1 muncul aja udah pada keburu ngegas aja, padahal lampunya juga belum ganti warnanya.

Eits, tapi ini bukan karena masalah buta warna atau nggak bisa membedakan warna. Ini masalah moral individual, dan masih ada hubungannya dengan idealisme di jalanan. Urusannya bukan lagi dengan guru sekolah atau orangtua, tapi lebih kepada Sang Maha Pencipta, yang menganugerahi manusia untuk bisa berpikir dan membedakan antara yang baik dan yang buruk.

Sering pula yang patuh dan taat peraturan menjadi korban. Pelakunya tidak lain siapa lagi kalo bukan para pelanggar peraturan, si pelahap maut. Udah berhenti di lampu merah, eh malah yang lain nerobos dan nyerempet pula. Bisa jadi mereka berpikir kalo semua orang akan melanggar peraturan seperti mereka, apalagi kalo mereka bawa kendaraan yang gede-gede, yang setiap orang di jalanan harus minggir buat memberi mereka jalan. Karena itulah sering terjadi pemikiran masal, yaitu seseorang yang memikirkan sesuatu dan tanpa sadar orang-orang yang lain juga punya pemikiran yang sama.

Watak, sifat, sikap, dan perilaku memang sering menjadi pembawaan masing-masing individu. Tapi kalo hal-hal tersebut bisa diubah ke arah yang lebih baik dan tidak membahayakan orang lain, harusnya diubah juga. Dan nggak setiap orang yang tidak mau berubah, akan ada orang-orang yang tidak mau terus menerus ‘terperangkap’ dalam ketidakpatuhan tersebut.

Senin, 23 Desember 2013

Idealisme Jalanan

Kalo saja semua pengguna jalan mempunyai idealisme untuk mematuhi semua peraturan dan tanda-tanda lalu lintas, mungkin berada di jalanan adalah tempat yang cukup menyenangkan. Tapi seringnya tidak demikian, masih banyak mendapati bahwa pengguna jalan seenaknya saja menggunakan jalan tanpa memperhatikan peraturan ataupun rambu lalu lintas. Pengguna-pengguna yang seperti ini bisa jadi pembuat celaka terselubung, karena bisa jadi karena ulah mereka akan membahayakan pengguna jalan yang lain.

Idealisme yang dimaksud tentu saja idealisme untuk mematuhi apapun peraturan, apapun tanda, dan apapun kondisinya. Nggak peduli kita sedang buru-buru atau santai, nggak peduli kita sedang mendapat kesempatan atau mendapat kesempitan, kalo udah dengan niat dan kemauan untuk selalu taat berlalu lintas maka kita akan segan untuk melanggarnya. Karena sulitnya mendapatkan idealisme seperti ini, kita telah mendapati jalanan adalah salah satu tempat yang paling berbahaya di dunia ini.

Dan sepertinya rambu-rambu akan terus tetap diremehkan, tulisan-tulisan akan terus tetap tidak dibaca, dan warna-warna lampu akan terus tetap tidak terlihat, tanpa ada kesadaran. Nggak usah nunggu kesadaran semua orang, cukup dimulai dari diri sendiri aja, kalopun nggak ada yang kemudian ngikutin ya nggak apa-apa, yang penting kita udah terhindar dari melakukan hal-hal yang selain membahayakan diri sendiri juga membahayakan bagi orang lain. Dan tentu pasti kita harus ingat tentang prinsip bahwa semua yang diciptakan dan dikaruniakan Allah kepada kita harus digunakan dengan sebaik-baiknya dan akan diminta pertanggungjawabannya kelak.

Memang, meskipun nggak semua orang suka dengan mematuhi peraturan dan memiliki idealisme di jalanan, namun bukan berarti bisa seenaknya saja berkendara di jalanan. Jalan adalah fasilitas umum, yang karena itulah menghargai orang lain yang juga sama-sama sedang menggunakan jalan adalah sesuatu yang perlu dijaga. Karena sering kalo di jalan hampir semua orang berprinsip sama bahwa selain diri sendiri, orang lain selalu salah. Apalagi orang yang idealis juga sering dianggap sebagai orang yang lugu, culun, norak, kampungan, dan anggapan-anggapan negatif yang lain. Padahal sebenarnya orang yang idealis itu adalah orang yang mempunyai karakter dan prinsip hidup yang harus dipegang.

Tanpa idealisme di jalan maka seseorang akan terus melakukan kompromi dengan peraturan dan keadaan yang ada, entah karena alasan terburu-buru atau nggak akan ada yang menegur saat melanggar peraturan. Dan yang demikian ini akan terus dan terus berlanjut sampai ke generasi berikutnya tanpa disadari. Dan kalo kita sendiri nggak berusaha memutusnya, maka generasi kita sendiri, yang berada di bawah kita sendiri, para keturunan anak cucu kita, akan terus berada dalam lingkaran ketidakpatuhan. Bukan murni sepenuhnya karena salah mereka, tapi bisa jadi karena kita sendiri enggan merubah diri sendiri.

Minggu, 22 Desember 2013

Tendensi Plagiarisme

Pada masa sedang menjamurnya motor-motor buatan China di Indonesia, ada sebuah uneg-uneg kecil yang ada dalam pikiranku. Industri motor, bukankah menjadi sebuah industri yang bisa dimasukkan ke dalam industri berskala besar, dilihat dari harganya saja, nggak ada motor baru yang semurah-murahnya di bawah harga lima juta rupiah. Apalagi teknologi motor yang sangat hebat dan sangat membantu mendukung transportasi. Tapi mengapa ya, motor-motor China tersebut menjiplak habis desain-desain motor yang sudah ada (kebanyakan dari motor Jepang), bukankah sayang banget kalo industri berskala besar tapi produknya sama dengan industri lain dalam bidang yang sama?

Aspirasiku tadi sedikit terjawab dengan sebuah wawancara yang aku baca di sebuah tabloid motor, kata seorang staf marketingnya desain yang sama tersebut dimaksudkan agar motor-motor China yang tergolong baru di Indonesia ini bisa masuk dengan mudah ke pangsa pasar Indonesia, karena desainnya udah dikenal secara luas melalui motor-motor Jepang yang udah mapan. Nah, dari sini ternyata uneg-unegku nggak berhenti. Sekali lagi muncul pemikiran, apakah harus mengorbankan desain yang jiplakan tersebut untuk menjual sebuah produk? Mengapa bukan sistem pemasarannya yang dimodif dengan desain-desain baru?

Sekali lagi pemikirannya adalah betapa sayangnya industri berskala besar dengan modal yang tentunya besar pula, hanya menjiplak model desain yang udah ada, tanpa ada inovasi luar dalamnya. Apalagi dengan kualitas produk yang masih sangat diragukan, masyarakat juga masih sangat ragu dengan ketahanlamaan motor-motor tersebut. Kalo dilihat secara sekilas saja, bisa kita lihat kalo motor tersebut emang sekilas mirip dengan motor-motor Jepang. Apalagi stripping dan varian motornya juga meniru motor yang udah ada, hanya sedikit ‘diplesetkan’ biar tetap kelihatan sama. Soal harga yang lebih murah juga seolah menguatkan jargon ‘harga membawa rupa’.

Beberapa tahun ini, Indonesia juga diramaikan dengan ‘meledaknya’ pasar telepon seluler China yang lagi-lagi menawarkan harga yang lebih murah. Dan lagi-lagi pula, desainnya mencontek merk-merk ponsel yang udah lebih dulu mapan. Sedangkan dalamannya, apapun desainnya namun software yang dipakai hampir sama. Maka nggak heran kalo meskipun merk dan desain bisa beda, tapi program tampilan dan pemrosesnya bisa sama. Dan untuk yang ini aku juga udah punya jawaban yang sama dengan motor tadi, desain ponsel merk China dibuat sama dengan ponsel yang udah ada agar lebih mudah menarik konsumen.

Nggak bisa dipungkiri kalo ponsel sebenarnya kalo dipikir-pikir adalah sebuah teknologi hebat, di mana nggak hanya suara yang bisa dikirim, bahkan gambar (baik berhenti maupun bergerak), dokumen, dan macam-macamnya bisa dikirim ke manapun asal yang dikirimi juga punya ponsel dengan spesifikasi yang cocok. Dan hebatnya lagi teknologi secanggih itu bahkan bisa didapatkan dengan harga yang tidak lebih dari lima ratus ribuan. Tapi soal kualitas, pastinya konsumen sendiri yang lebih pantas menilai.

Dari kedua contoh produk di atas unsur menjiplak atau plagiat terlibat di sini. Plagiarisme atau sering disebut plagiat adalah penjiplakan atau pengambilan karangan, pendapat, dan sebagainya dari orang lain dan menjadikannya seolah karangan dan pendapat sendiri. Plagiat dapat dianggap sebagai tindak pidana karena mencuri hak cipta orang lain. Di dunia pendidikan, pelaku plagiarisme dapat mendapat hukuman berat seperti dikeluarkan dari sekolah/universitas. Pelaku plagiat disebut sebagai plagiator. Apakah produsen ponsel atau motor tadi udah mendapatkan ijin dari kreator awalnya, itu yang aku nggak paham. Yang pasti adalah bahwa kedua benda yang ada serupa tapi nggak sama.

Mungkin ada sebuah ilustrasi dalam menjiplak atau plagiarisme. Misalkan ada orang yang mempublikasikan tarian ‘Gangnam Style’ lengkap beserta lagu aslinya (mungkin juga beserta aksesorisnya), belum bisa dibilang menjiplak. Tapi kalo ada orang yang mempublikasikan tarian tersebut dengan lagu yang berbeda dan diubah tanpa ada ijin sebelumnya dari yang berwenang, maka bisa dikatakan itu menjiplak. Ada contoh lain pada beberapa tahun yang lalu, saat ada dua musisi rebutan sebuah cuplikan score musik dalam lagu yang masing-masing mereka ciptakan, padahal yang aku tahu score musik yang mereka rebutkan itu sebenarnya juga udah ada sebelum lagu yang mereka ciptakan. Jadi para plagiator rebutan benda plagiatnya.

Di tahun 2005 pertama kalinya aku membeli motor. Karena keterbatasan dana maka motor China yang aku sasar. Dan akhirnya aku membeli sebuah motor (lebih tepatnya buatan Taiwan), yang desainnya sama sekali beda dengan motor-motor yang ada dan punya ciri khas tersendiri. Terus terang aku nggak malu pake motor murah asal bermanfaat, tapi aku sangat enggan memakai motor jiplakan.

Sabtu, 21 Desember 2013

Menutup Jalan

Sedang melewati sebuah jalan kecil, kemudian melihat sebuah tanda pengalihan jalan di sebuah persimpangan. Ternyata di jalan tersebut ada seorang penduduk yang mengadakan hajatan, yang memerlukan penutupan jalan. Padahal sejak kemarin jalan ini juga udah ditutup, emang berapa hari ya hajatannya. Terpaksalah membelokkan motor melewati jalan kecil, daripada putar balik dengan jalan yang lebih jauh lagi. Belokan pertama, jalan makadam dengan jalur aman yang sempit di kiri kanannya. Belokan kedua, jalan berdebu di sepanjang jalan dan nyaris nggak ada jalur aman buat dilewati. Belokan ketiga, jalan yang cukup aman tapi sedang dibangun makadam di ujung jalannya.

Sering banget menemui hal tersebut selama berkendara, terutama di lingkungan jalan yang lebih kecil. Kalo jalan raya sangat jarang yang demi berhajat harus menutup ruas jalan secara keseluruhan. Meskipun pernah ada tetangga rumah yang pejabat desa menutup jalan propinsi buat ngadain hajatan. Kondisi rumah yang kecil dengan pekarangan dan halaman yang sempit memaksa seseorang akhirnya me’luber’kan pestanya ke jalan. Dan pada akhirnya, pengguna jalanlah yang harus mengalah.

Kalo kondisi jalan yang udah dihapal sih nggak masalah. Masalahnya kalo belum pernah tau ada jalan lain yang bisa dilewati bisa-bisa nyasar-nyasar ke daerah-daerah yang malah nggak ada jalan menuju tempat tujuan. Pernah suatu ketika karena ada hajatan di jalan, harus belok ke jalan lain. Kalo jalannya sih udah tau arahnya, tapi karena penasaran pengen tau barangkali ada jalur lain yang lebih pendek, coba belok ke jalan kecil di tengah sawah. Eh nggak taunya jalan tersebut nggak mengarah ke jalan, tapi mengarah ke pabrik batu bata.

Sering juga saat ada orang yang sedang mengadakan hajatan udah memasang tanda di persimpangan jalan menuju rumahnya, tapi karena banyak pengguna jalan nggak peduli dan merasa ‘yakin’ kalo masih bisa dilewati, akhirnya tanda peringatan tersebut nggak digubris. Akhirnya saat tau kalo jalan benar-benar tertutup total, balik lagi deh cari jalan lain. Kalo masih naik motor, sepeda, atau jalan sih enak aja putar balik, kalo naiknya truk jadi bingung cari cara buat memutar.

Nggak tau juga gimana, tapi yang jelas emang hajatan bagi masyarakat bisa jadi nggak lagi sebagai sebuah peringatan atau perayaan semata, tapi juga bisa sebagai lambang tingkat kemakmuran atau kemampuan seseorang. Meskipun kenyataannya ada yang demi mengadakan hajatan seseorang rela menjual harta benda, atau meminjam uang ke sana ke mari, yang penting hajatan berlangsung. Dan menutup jalan tadi adalah salah satu akibatnya, kalo di salah satu jalan hanya ada satu orang yang hajatan sih nggak masalah, tapi kalo udah berjajar setiap rumah ngadain hajatan, yang repot tentu saja pengguna jalan.

Pengguna jalan sendiri juga berpikiran nggak mau tau siapa yang ngadain hajatan, yang diinginkan cuma mendapat kelancaran dalam berkendara, serta kenyamanan melewati jalanan. Bukan sebuah jalan berbatu atau jalan berdebu yang diinginkan. Namun itu semua juga tergantung pada masing-masing pihak bisa memahami dan menghargai satu sama lain.

Jumat, 20 Desember 2013

Buku Manual

Hari Jumat pagi. Agenda hari itu adalah rapat struktural pada jam 9. Tapi mendadak sekitar jam 8 aku mengetahui kalo komputer kasir mengalami masalah. Komputer yang ini emang udah lama bermasalah di motherboardnya dan sebenarnya aku udah siapin motherboard baru buat gantiin, tapi karena setelah aku beli beberapa hari sebelumnya sampai hari itu nggak ada masalah lagi jadi aku tunda pergantiannya.

Jadi mau nggak mau hari itu juga aku harus segera ganti mobo untuk kelancaran pelayanan. Bongkar komponen dari mobo lama yang masih bisa dipakai untuk dipasang di mobo baru. Selesai pasang, kemudian berlanjut ke instalasi kabel. Setelah dirasa cukup kemudian aku pasang mobo ke casing, dan aku coba hidupkan. Hasilnya, CPU hanya menyala tanpa mentransfer data apapun ke monitor. Berarti ada yang belum beres.

Dugaan awalku prosesornya nggak kompatibel sama mobo baru. Tapi aku menyimpulkan sendiri kalo itu bukan penyebab adekuat, karena mobo baru kompatibel dengan proses lama yang Core 2 Duo ini. Memori juga bukan penyebab karena memori baru yang aku beli bersama mobonya udah sangat kompatibel. Dari pemasangan kabel sebelumnya aku tidak menemukan adanya colokan konektor power +12 V yang 4 pin. Semula aku menduga kalo mobo ini nggak pake konektor 4 pin, soalnya aku cari emang nggak ada, jadinya nggak kepikir bahwa itu masalahnya.

Lagi-lagi mobo dilepas dan komponennya dikembalikan ke mobo lama. Komputer bisa nyala dan tampil di monitor. Lepas lagi komponen, balik ke mobo baru, tetap nggak mau nyala. Dalam kondisi kecapekan, kemudian aku memutuskan buat ‘belajar’ dengan membaca buku manualnya. Dari tadi buku manual tergeletak di samping kursi dan cuma aku liat buat nentuin posisi konektor kabel tombol dan lampu. Liat buku dari halaman depan, halaman berikutnya ada gambar penampang mobo. Aku cermati bagian mana yang terlewat. Dan ternyata, dari gambar penampang tersebut aku temukan konektor power +12V 4 pin. Kemudian aku cari di mobonya, ketemu juga, letaknya emang nggak biasa yang sering aku tau, ada di pinggir hampir pojok. Segera aku colokin kabelnya, dicoba, dan berhasillah pergantian mobo hari itu.

Buku manual, sebuah buku yang mungkin ada hampir di setiap barang baru, terutama barang-barang elektronik. Sebuah buku gratis yang sayangnya nggak terlalu sering dibaca. Karena menyertai produknya, tentunya buku ini ‘hanya’ berisi tentang pengetahuan produk tersebut, bukan pengetahuan umum. Tapi tetap saja, buku ini adalah media bantuan buat mengoperasikan produknya.

Hampir sama halnya dengan pernyataan persetujuan yang muncul saat menginstal program-program komputer, buku manual ini hampir selalu terlewatkan. Aku masih ingat dulu pada waktu SMP aku dibelikan sebuah kalkulator scientific yang cukup bagus pada saat itu, aku langsung baca buku manualnya. Tapi ternyata kesan yang aku pahami lebih pada barang tersebut adalah barang yang mudah rusak, sulit perawatannya, dan beberapa hal negatif lain, karena dari halaman awal yang aku baca adalah instruksi peringatan.

Mungkin agak lain dengan buku manual yang menyertai produk telepon seluler. Biasanya karena kita udah mengenal dan terbiasa dengan sebuah merk tertentu yang tiap serinya mempunyai bentuk dan fasilitas yang hampir sama, kita akan melewatkan membaca buku manualnya. Tapi kalo beda merk atau beda fitur dan bentuknya, lebih baik baca buku manualnya dulu sebelum memakai.

Memang bukan sebuah keharusan membaca sebuah buku panduan dari sebuah produk. Tapi tentu saja buku ini bukanlah barang ‘bonus’ yang nggak bermanfaat sama sekali dalam pemakaian produknya. Istilahnya, buku ini adalah ‘ensiklopedia’ pemakaian sebuah produk, jadi ada atau tidak manfaatnya, akan lebih baik kalo disimpan karena bisa jadi suatu saat kita membutuhkannya.

Kamis, 19 Desember 2013

Menjenguk (vs Ketenangan) Orang Sakit

Dari Abu Hurairah radhiyallahu anhu, ia berkata, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya pada hari kiamat Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman, ‘Hai Anak Adam, Aku Sakit, tetapi kamu tidak menjenguk-Ku.’ Dia berkata. ‘Wahai Rabb-ku, bagaimana saya menjenguk-Mu, padahal Engkau adalah Rabb semesta alam?!’ Dia berfirman, ‘Tidak tahukah kamu bahwa hamba-Ku, fulan, sakit, tetapi kamu tidak menjenguknya. Tidak tahukah kamu jika kamu menjenguknya, kamu akan mendapati Aku berada di sisi-Nya.’ (diriwayatkan oleh Muslim, no. 2569)

Hampir semua orang di Indonesia di manapun dia berada kebanyakan masih selalu menjenguk seseorang yang sakit, entah itu keluarga, kerabat, tetangga, teman, bahkan mungkin orang yang nggak kenal sekalipun, entah pula di rumah sakit atau di rumah. Bahkan yang sering terjadi di daerah pedesaan kalo ada yang sakit, mereka datang beramai-ramai rombongan bersama-sama. Si sakit pun, terkadang juga was-was kalo nggak dijenguk, kesannya dia nggak dianggap atau bahasa Jawanya ‘disatru’ oleh orang.

Hukum menjenguk orang sakit sendiri adalah kewajiban bagi orang yang diharapkan berkah (dari Allah datang lewat diri) nya, disunnahkan bagi orang yang memelihara kondisinya, dan mubah bagi mereka, dengan berbagai pertimbangan dasar hukum dari hadits dan penjelasan para ulama’ dalam berbagai kitab.

Di sisi lain, terlepas dari anjuran dan perintah untuk menjenguk orang sakit (bahkan yang sakitnya ringan sekalipun), si sakit juga sangat membutuhkan ketenangan dalam proses pemulihan. Mereka membutuhkan lebih banyak waktu istirahat selama dan setelah sakit tersebut. Kondisi orang sakit tentu saja beda dengan orang sehat. Jangan lupakan pula keluarga atau orang-orang yang merawat si sakit, tentunya mereka juga dalam kondisi yang beda dengan kondisi biasa.

Pastinya orang yang menjenguk si sakit menginginkan interaksi dengan si sakit atau keluarganya. Terkadang juga menjadi sebuah kerepotan tersendiri kalo harus menemani penjenguk (terutama penjenguk yang terlalu lama atau datang dalam waktu yang kurang tepat), karena penjenguk sendiri juga kurang memperhatikan waktu dan kondisinya. Misalnya di rumah sakit, saat penjenguk datang beramai-ramai menjenguk si sakit. Bisa jadi bukannya memberikan ketenangan, malah bisa mengakibatkan keramaian bukan hanya pasien dan keluarganya, tapi juga bagi pasien-pasien lain. Ada aturan di setiap rumah sakit yang membatasi penjenguk, tapi tetap saja banyak yang nggak diperhatikan.

Kalo si sakit pulang dari rumah sakit, bahkan bisa ditemui semacam ‘panitia penyambutan’ di rumah. Hal ini juga bisa mengurangi ketenangan yang dibutuhkan si sakit untuk istirahat setelah menjalani serangkaian terapi di rumah sakit. Bahkan bisa jadi keluarga si sakit yang harus memperhatikan dan meneruskan perawatan dari rumah sakit menjadi terganggu karena pastinya mereka juga perlu istirahat. Perawatan di rumah juga nggak kalah menyibukkan daripada di rumah sakit.

Lalu bagaimana menyikapi hal-hal seperti itu? Tentu saja ada tuntunan menjenguk orang sakit agar semua pihak mendapatkan hal-hal yang dibutuhkan. Untuk penjenguk terutama, mereka harus memperhatikan adab-adab menjenguk orang sakit, di samping mereka bisa memberikan dorongan moral dan semangat bagi si sakit. Menjenguk orang sakit jangan sampai terlalu lama (kecuali kalo si sakit senang berlama-lama), jangan sampai nggak kenal waktu. Karena sebab meringankan beban penyakit dari si sakit, jangan sampai pula penjenguk meminta si sakit untuk bercerita panjang lebar tentang kronologi sakitnya. Cukup hal-hal yang perlu aja, nggak perlu terlalu detail.

Penjenguk bisa menghibur dan memberi harapan sembuh bagi si sakit, itu adalah salah satu upaya memberikan dorongan semangat sembuh. Jangan sampai menakut-nakuti tentang penyakitnya, apalagi kalo pernah mengetahui orang lain dengan penyakit yang sama mengalami hal-hal yang buruk. Bukannya meringankan penderitaan, malah menambah beban pikiran. Penjenguk juga perlu memahami keluhan si sakit, meskipun mereka nggak paham bagaimana cara menangani keluhan tersebut.

Dan yang terpenting juga adalah penjenguk mendoakan si sakit agar diberikan kekuatan, ketabahan dan kesabaran dalam menghadapi penyakitnya. Tak lupa juga buat keluarga dan orang-orang yang merawatnya agar juga mendapat kekuatan dan ketabahan selama mendampingi si sakit.

Dengan memahami posisi dan kondisi si sakit dan keluarganya, maka penjenguk insya Allah mendapatkan barokah dari kunjungannya. Si sakit dan keluarganya juga mendapatkan doa dari penjenguknya, selain pahala karena memuliakan mereka sebagai tamu-tamunya. Dan yang utama adalah ukhuwah dan silaturahmi tetap berlanjut dengan saling menghormati keadaan satu sama lain, simpati dan empati.

Referensi:
1. Fatwa-Fatwa Kontemporer
2. Tuntunan Menjenguk Orang Sakit

Rabu, 18 Desember 2013

Supermarket

Sore hari. Halaman UFO Department Store di perempatan alun-alun kota Kediri dipenuhi nggak hanya kendaraan yang parkir di sana, tapi juga permainan-permainan anak-anak. Beberapa permainan berbasis motor listrik seperti kincir atau kereta, ada pula permainan berbasis balon besar. Semakin malam, semakin ramai dengan hadirnya anak-anak yang bermain di situ.

Jadi teringat, di masa kecilku dulu ada sebuah tempat yang hampir mirip seperti itu, sebuah arena permainan. Orangtuaku sering mengajakku ke situ. Saat itu aku nggak tau apa nama tempat seperti itu, tapi karena orangtuaku sering menyebutnya ‘Supermarket’, aku jadi ngikut nyebut gitu. Padahal aku nggak tau apa artinya itu supermarket. Apa aja di dalamnya? Mobil-mobilan goyang di tempat, mobil-mobilan baterai yang bisa digunakan keliling, kereta listrik yang memutar melalui rel, serta beberapa permainan ding-dong, itu yang aku ingat.

Suatu ketika aku nggak lagi sering diajak ke situ. Bahkan kemudian aku lupa di mana tepatnya tempat tersebut. Yang aku tau dari orangtuaku bahwa tempat itu nggak lagi digunakan sebagai pusat permainan anak-anak. Perlu beberapa waktu untuk kemudian saat aku mulai bisa main ke mana-mana sendiri, aku menemukan gedung bekas tempat permainan tersebut. Gedung itu dalam keadaan tertutup pagarnya, dan nggak keliatan ada tanda-tanda kehidupan.

Jelas tempat-tempat seperti itu sekarang ini banyak bermunculan di berbagai tempat, terutama di mal dan pusat perbelanjaan. Sampai sekarang kalo ingat mobil-mobil goyang di tempat (mungkin mirip dengan yang terpasang di odong-odong), aku masih ingat bagaimana aku menemukan sebuah lubang kecil tipis yang kemudian aku masuki uang koin di dalamnya, kemudian dengan wajah ceria anak-anak aku tersenyum kepada orangtuaku yang memperhatikan tidak jauh dari situ.

Selasa, 17 Desember 2013

Minesweeper

Sebelumnya Minesweeper adalah salah satu game bawaan Microsoft Windows yang paling tidak aku suka. Tidak sukanya bukan karena gamenya jelek, atau tampilannya standar, tapi karena aku nggak bisa cara mainnya. Game berbentuk kotak-kotak yang kalo diklik muncul angka-angkanya, lama kelamaan diklik muncul bomnya. Pikirku angka-angka itu adalah nilai yang harus dikumpulkan, tapi nyatanya di papan skor tidak menunjukkan nilai total dari angka yang udah terbuka.

Tapi tanpa sengaja aku masuk ke sebuah forum yang ngebahas cara mainnya Minesweeper. Ternyata sebenarnya cara mainnya sederhana, yang penting menghindari mengklik kotak yang berisi ranjau. Tapi strategi mainnya yang cukup menguras analisa. Prinsip dasarnya adalah membuat kotak imajiner berukuran 3 × 3 kotak. Di tengah kotak imajiner tersebut ada sebuah angka yang menunjukkan bahwa dalam kotak imajiner ini ada ranjau sejumlah angka yang ditunjukkan.

Misalnya membuat kotak imajiner yang berpusat di angka 1, berarti dalam kotak imajiner tersebut ada 1 kotak yang berisi ranjau. Nah, untuk mencari 1 kotak tersebut yang perlu kecermatan dan kehati-hatian. Jika kotak yang berisi ranjau ditemukan, maka kotak tersebut ditandai dengan bendera pakai klik kanan.

Setelah dapat tips itu, langsung deh aku coba main. Nggak mau lama-lama lagi membenci Minesweeper, dengan petunjuk tadi aku mulai main dari tingkat Beginner. Eh, ternyata mengasyikkan banget mainnya. Apalagi game ini berhubungan dengan angka-angka, yang perlu analisa lebih lanjut. Setelah berhasil 2 kali menang di tingkat Beginner yang harus menemukan 10 ranjau, coba di tingkat Intermediate yang harus menemukan 40 ranjau. Di sini juga udah berhasil 2 kali menang, jadi naik tingkat lagi ke Expert yang harus menemukan 99 ranjau. Di tingkat ini belum pernah menang sekalipun.

Jadi sebenarnya game bawaan OS Microsoft Windows itu bukan game yang biasa-biasa aja. Minesweeper juga nggak kalah menarik daripada Freecell, Heart, Solitaire, ataupun Pinball. Memainkannya juga melatih kepekaan terhadap angka-angka dan membutuhkan tingkat imajinasi serta analisa yang tinggi pula.

Senin, 16 Desember 2013

Mendidik Anak Agar Tidak Materialistis

Orangtua jaman sekarang memiliki pekerjaan rumah demikian banyak dalam mengasuh dan membesarkan anak-anaknya. Hal yang paling kentara dan dirasa cukup sulit bagi orangtua adalah membesarkan anak tanpa tumbuh menjadi pribadi materialistis. Upaya orangtua harus demikian kuat agar bombardir iklan di televisi, majalah, maupun pengaruh teman sebaya, yang menjadi beberapa faktor atas sifat materialistis, dapat diredam.

Studi yang dilakukan oleh Penn State’s Smeal College of Business, seperti dikutip dalam No More Misbehavin’ yang ditulis oleh Michele Borba, Ed.D, menyimpulkan bahwa anak-anak sekarang lebih materialistis di usia yang lebih muda lagi. Karena itu, menjadi tugas orangtua untuk menanamkan pemahaman kepada anak bahwa karakter moral, kontribusi terhadap lingkungan, dan kualitas hubungan mereka akan jauh lebih bernilai ketimbang materi yang bisa diperoleh.

Dengan kata lain, orangtua perlu meyakinkan anak bahwa identitas mereka tidaklah didasarkan pada apa yang mereka punya, tetapi pada siapa mereka. Orangtua perlu mempelajari sejumlah cara bagaimana cara membesarkan anak tanpa membuat mereka menjadi individu yang materialistis.

Berikut cara-cara yang disarankan.

1. Membatasi tontonan televisi
Ini aturan yang sering disebutkan oleh para ahli. Sebaiknya anak tidak menonton lebih dari dua jam setiap hari. Selain sejumlah program yang dibuat banyak yang masih tidak sesuai dengan usia anak, iklan yang muncul di antara program tersebut kerap menarik perhatian anak dan pada akhirnya membuat mereka menginginkannya. Cara lain yang juga dapat dilakukan adalah dengan mengalihkan perhatian anak saat jeda iklan. Kalaupun tidak, jelaskan kepada anak tentang teknik pemasaran yang biasa digunakan dalam iklan. Atau tonton acara yang tidak ada iklannya.

2. Perhatikan apa yang diperhatikan anak
Bila Anda melihat anak ingin menggunakan celana jins skinny, pakaian dengan merek ternama karena melihatnya di majalah, inilah waktunya untuk menjelaskan kepada mereka agar tidak selalu mengikuti arus. Pada awalnya anak mungkin saja akan kesal, sebal, dan mengatakan Anda tidak paham perasaan mereka. Namun, dengan mengingatkan akan hal tersebut, pada akhirnya anak akan meresapi penjelasan Anda.

3. Katakan “tidak”
Bukan tindakan tepat untuk selalu memberikan apa saja yang diinginkan anak. Lagipula, menurut Michele, Anda tidak selalu mendapatkan apa yang diinginkan dalam hidup ini ‘kan? Mengatakan “tidak” atau menolak membelikan benda-benda yang diinginkan anak bukanlah hal keliru.

4. Hadiah tanpa membeli
Sesekali ada baiknya juga melatih anak untuk tidak membeli hadiah bagi anggota keluarga. Hal itu akan mendorong anak untuk kreatif dalam membuat hadiah tanpa mengeluarkan uang, misalnya membuat kartu, puisi, atau poster yang menggambarkan rasa sayang mereka bagi penerima hadiah.

5. Menjadi panutan
Sebelum terburu-buru menyalahkan iklan di televisi maupun teman sepermainan anak, coba lihat kembali diri sendiri. Apakah Anda gemar mengoleksi barang tertentu yang harganya sangat mahal? Apakah Anda sebagai orangtua suka membeli aneka busana dari perancang atau merek terkemuka?
Kalau jawabannya iya, orangtua perlu membenahi diri. Perlu diingat, anak lebih meniru orangtuanya. Dengan kata lain, kalau orangtua ingin memiliki anak yang tidak materialistis, harus bisa menjadi contoh. Percuma saja orangtua mengajarkan anak untuk tidak selalu membeli barang mewah sementara sang ibu masih asyik membeli sepatu atau tas dengan harga selangit.

6. Ajarkan prioritas
Gunakan keputusan berbelanja sebagai peluang untuk mengajarkan perencanaan keuangan, termasuk bagaimana mengontrol keinginan yang tidak perlu. Saat berbelanja untuk keperluan sekolah, misalnya, minta anak untuk membuat daftar barang yang diinginkan lalu buat prioritasnya.

7. Latih kesadaran untuk menyumbang
Tidak harus memaksa anak untuk mau menyumbangkan benda kesayangan mereka. Orangtua bisa menjadi contoh baik dengan menyumbangkan barang sendiri untuk kegiatan amal dan jelaskan alasan Anda melakukan itu. Setelah itu biarkan anak tahu bahwa mereka dapat mendonasikan barang-barangnya juga. Barang tersebut bisa diberikan kepada sepupu yang lebih kecil ataupun kepada anak-anak yang tidak mampu. Hal itu akan membantu anak menyadari bahwa barang hanya objek semata.
Mereka juga belajar untuk melepaskan kesenangan dari barang yang dimiliki agar orang lain dapat merasakan, kesenangan yang sama, seperti yang dialaminya.

Minggu, 15 Desember 2013

Salah Kaprah Kehidupan Berkomputer (bagian 2)


Monitor = komputer 
Sering banget denger teman-teman yang menyebut monitor sebagai komputer. Sebenernya nggak salah-salah banget sih, karena monitor sendiri juga bagian dari komputer. Tapi yang kemudian bikin geli adalah kalo ada orang yang bingung dengan data-datanya pas monitornya diganti. Pernah nemuin masih ada yang mikir kalo monitornya diganti, data-data yang dibuatnya ikut ganti. Padahal apalah peran monitor itu sehingga ‘dituduh’ sebagai penyimpan data.
Yang pasti data-data yang dibuat di komputer tersimpan di media penyimpanan, dan akan berfungsi normal jika dirangkaikan dengan sebuah benda bernama rangkaian CPU. Sedangkan monitor, hanyalah bertugas untuk menampilkan (kecuali komputer yang CPUnya menempel bersama monitornya).

Meninggalkan Proses Cetak
Lagi ngetik, udah selesai, tinggal cetak, setelah diperintah cetak kok nggak muncul di printer. Ternyata printernya ganti walaupun sama tipenya. Ya udah, tinggalkan proses pertama, perintah lagi, cari nama printer yang baru, dan cetaklah. Besoknya ganti printer yang sebelumnya, begitu dicolokin ke CPU lha kok mencetak sendiri. Kemudian dipikir ruangannya angker, atau printernya mbalelo, atau ada yang ngerjain.
Proses mencetak yang tidak sempurna sering masih tersimpan di memori komputer, sehingga suatu saat kalo printer yang dimaksud kembali dipasangkan ke komputer, proses yang tersimpan tadi masih akan mencari driver yang tepat dan meneruskan pekerjaannya. Makanya semua proses mencetak yang tidak digunakan atau tidak jadi lebih baik dibatalkan saja, daripada ‘menuduh’ ada yang angker dengan komputer atau lingkungannya.

Aspect Ratio 

Ingin menyisipkan sebuah foto di sebuah dokumen, MS Word misalnya. Karena resolusi fotonya terlalu besar, sedangkan foto yang diinginkan berukuran 3 × 4, maka ditarik-tariklah sedemikian rupa sehingga berukuran kecil. Tapi ternyata, gambar yang tampil jadi terlalu melebar atau meninggi. Jadinya kembali ditarik-tarik sampai bentuk gambarnya proporsional. Tapi kok ukurannya nggak jadi 3 × 4 ya? Tarik-tarik lagi sampai pusing, akhirnya apa adanya aja yang dipakai.
Kalo mau bagus dan sesuai dengan ukuran aslinya, mestinya ukuran panjang × lebar gambar tersebut juga harus diperhatikan. Aspect ratio yang mengatur dimensinya harus teratur sehingga gambar yang dikecilkan bisa berukuran simetris identik dengan gambar aslinya. Jadi kalo mau ngecilin ukuran gambar, harusnya bukan titik sebelah samping kanan kiri atau titik atas bawah yang ditarik-tarik, tapi titik-titik yang ada di masing-masing pojokan gambar yang diatur. Kalopun diinginkan ukuran tertentu, misalnya 3 × 4 tadi, sedangkan gambar masih terlalu kelebihan di masing-masing sisinya, pake fasilitas cropping.

Hitungan di Excel

 MS Excel adalah sebuah program yang sangat mendukung perhitungan dengan rumus-rumus. Tapi apa jadinya kalo program yang sebenarnya dibuat untuk membantu pekerjaan kita, malah sebaliknya jadi kita yang membantu program. Dengan alasan tidak tahu cara menggunakan rumus di MS Excel, alih-alih kita malah sering ngerjain rumus menggunakan kalkulator daripada mengerjakan langsung di lembar kerja.
Membuat kerjaan di Excel, terus ngitung hasil penjumlahan di kalkulator, kemudian hasil di kalkulator itu tadi baru dimasukkan ke dalam Excel. Terus apa gunanya pake Excel? Kalo sekedar buat tabel, pake MS Word aja juga bisa. Bahkan pake rumus di Word juga bisa. Masak kita biarkan program secanggih Excel ini nganggur, kan nggak efektif dan efisien sama sekali. Sebaliknya kita yang jadi membantu kerjaannya Excel itu dengan mengalihkan kerjaan mereka ke alat lain semacam kalkulator tadi.

Ternyata masih banyak fasilitas di komputer yang belum bisa kita maksimalkan penggunaannya. Sebenernya banyak banget tutorial yang bisa kita dapatkan, entah itu buku (beli di toko buku), e-book (donlot gratisan banyak di internet), ato sumber-sumber gratis (pinjem teman aja bisa). Yang tau pun belum tentu ngerti. Asal jangan sampe punya komputer yang canggih banget tapi nggak bisa menggunakan secara optimal, sehingga banyak fitur yang terbuang percuma. Punya barang yang buat gaya-gayaan aja dengan mengorbankan fungsinya itu hal yang mubadzir, padahal ‘innal mubadzdziriina kaanuu ikhwaanasy syayaatiin’.

Sabtu, 14 Desember 2013

Memutus Ketidakdisiplinan

Mungkin kita sering banget berpikir dan seringkali bilang kalo orang Indonesia itu sulit diatur, tidak tertib, seenaknya sendiri, kurang disiplin, dll. (padahal kita sendiri juga orang Indonesia). Sebenernya kalo dicermati dan diteliti lebih dalam lagi, sifat-sifat buruk tadi tidak begitu saja terjadi dan muncul dari orang-orang negeri kita tercinta ini.

Tentu saja logikanya tidak ada asap kalo tidak ada api, atau asap muncul setelah api muncul, atau apalah. Sifat-sifat seperti ini bukan diturunkan melalui aliran darah orangtua kepada anaknya, atau dari generasi ke generasi secara genetis. Memang diwariskan dari generasi ke generasi, tapi tidak melalui genetika, melainkan melalui perilaku. Contoh sederhananya begini, apapun yang menjadi kebiasaan orangtua di rumah pasti akan diperhatikan oleh anaknya. Karena anaknya tidak memandang kebiasaan itu sebagai baik-buruk, melainkan boleh-tidak, maka apapun yang dilakukan orangtua dianggap boleh bagi anaknya, termasuk kebiasaan buruknya.

Berkali-kali ngalamin yang namanya ngeliat orangtua mencontohkan hal-hal buruk kepada anaknya di kehidupan nyata. Mungkin orangtua nggak nyadar tentang perbuatannya, wong udah biasa, lagian orangtua mereka dulunya juga gitu, tapi coba liat dari segi perspektif anak. Misalnya buang sampah. Saat berkendara, orangtua ngemil sesuatu, atau minum air kemasan. Kemudian bungkus bekasnya dilempar begitu saja di jalan (kalo naik motor), atau buka kaca, buang, tutup kaca, pasang wajah tanpa dosa (kalo naik mobil). Kalo bersama anaknya, pasti anaknya mikir ‘Oh, gitu ya cara buang sampah di jalan’, dan plagiatlah si anak.

Beda lagi kemudian anak udah diberi pendidikan tentang beda antara boleh-tidak dan baik-buruk. Bisa saja kemudian anak ngasih tau, minimal ngingetin orangtuanya. Kalo orangtuanya nggak malu sih, lanjut aja. Tapi dengan sikap nggak malu itu pula yang menumbuhkan sugesti lain bagi sang anak yang pendidikannya udah baik tadi.

Itu hanya contoh, tapi kenyataannya lebih banyak lagi. Kebiasaan buruk itu akan terus berlanjut ke generasi selanjutnya, kemudian ke generasi selanjutnya, kemudian ke generasi selanjutnya lagi, sampai bangsa ini habis generasinya. Kita yang sebagai generasi masa kinilah yang seharusnya memutus lingkaran warisan buruk ini.

Bangsa Indonesia yang tidak tertib, alangkah baiknya tidak terjadi dalam bangsa Indonesia yang ada dalam generasi di bawah kita. Kita mungkin bisa memulai dari diri sendiri, kemudian keluarga, kemudian anak-anak (yang udah punya anak), agar kebiasaan buruk ini tidak menular ke generasi penerus keluarga kita, utamanya agar generasi penerus kita tidak menjadi salah satu dari bangsa Indonesia yang tidak tertib dan sembarangan tadi. Jadi, meskipun masih banyak orang Indonesia dari keluarga lain yang nggak tertib atau berperilaku seenaknya sendiri, setidaknya bani kita terhindar dari kebiasaan buruk.

Biasanya orang-orang yang tidak tertib dan melanggar aturan ini akan menggunakan segala macam alasan untuk membenarkan kelakuannya yang tidak taat tadi. Mungkin kita juga pernah seperti itu. Sekedar sebagai pengingat saja, Bani Israil mengajukan berbagai alasan yang digunakan untuk membenarkan tingkah laku mereka yang sangat sesat dan tidak menghargai bangsa lain, bahkan nabi-nabi mereka sendiri. Apakah kita juga mau kalo disamakan dengan Bani Israil ini?

Jadi saat mau melancarkan berbagai macam alasan pembenaran dan langkah-langkah pembelaan diri, ingatkan diri kita sendiri bahwa kita bukan Bani Israil. Kita adalah orang Indonesia yang tertib dan taat, yang menjaga keluarga dan generasi kita dari ketidaktertiban, yang menghindarkan diri dari kegagalan menjadi orang yang terbaik di dalam kehidupan bermasyarakat. Nggak peduli di rumah, di jalan, di kantor, atau di sekolah, perilaku tertib harus tetap terjaga. Bukannya malah mencari negara lain yang orangnya tertib-tertib, tapi ubah sifat dan perilaku kita sendiri, agar pandangan dan anggapan terhadap orang Indonesia yang tidak tertib, sulit diatur, seenaknya sendiri, kurang disiplin, akan hilang secara berangsur-angsur, karena kita telah melatih generasi selanjutnya untuk keluar dari stereotip itu.

Tentu saran ini bagi yang mau generasi keluarganya menjadi orang-orang yang tertib, bagi yang nggak mau dan pengen meneruskan gaya hidup tidak disiplin dipersilakan saja, toh akibatnya juga bagi mereka sendiri nantinya. Disiplin itu berawal dari diri kita sendiri, nggak bisa nunggu orang lain dulu baru ngikut.

Jumat, 13 Desember 2013

Panas Hujan

Buat kita yang selalu mengeluh saat hujan
Bersenang-senanglah kita sekarang
Karena hari sedang panas
Tapi berhentilah meratapi dan menyalahkan hujan
Karena hidup tidak selalu seperti yang kita inginkan
Belajarlah mensyukuri hujan
Kita akan terus mengeluh dan meratap sampai tua
Karena hujan akan ada sepanjang hidup kita

Buat kita yang selalu mengeluh saat panas
Bersyukurlah saat hujan datang
Karena panas terkurangi dengan datangnya hujan
Karena panas mengingatkan kita akan nikmatnya hujan
Karena panas bagian dari kehidupan kita
Kita akan terus mengeluh dan meratap sampai tua
Karena panas akan ada sepanjang hidup kita

Buat kita yang selalu mengeluh di saat panas dan hujan
Seolah arah hidup kita tidak jelas
Dan sekali lagi kita harus ingat
Hidup tidak selalu seperti yang kita inginkan
Kita akan terus mengeluh dan meratap sampai tua
Karena panas dan hujan akan ada sepanjang hidup kita

Tidak perlu memprotes Allah karena adanya panas atau hujan
Bahkan mestinya kita selalu bersyukur
Karena Allah masih membiarkan kita hidup menikmati panas dan hujan

Kamis, 12 Desember 2013

SMS Bom

Karena banyaknya operator seluler yang mengobral bonus Short Message Service (SMS), muncullah kebiasaan dari para penggunanya yaitu SMS sebanyak-banyaknya buat ngabisin bonus. Nggak peduli SMS itu perlu atau penting, yang penting itu ngabisin bonusnya. Memang kalo dapat bonus itu biasanya nggak bisa dipake buat hari berikutnya, jadi hanya untuk sehari udah harus abis. Kalo nggak percuma dapat bonus.

Mungkin dari anggapan ‘percuma dapat bonusnya’ inilah muncul SMS bom ke siapapun, asal bonus semua terpakai. Padahal kalo mau mikir lebih lanjut, harus anggapan ‘percuma’ ini diaplikasikan pada anggapan ‘percuma SMS ke banyak orang tanpa tanpa keperluan’. Tapi ya karena nggak mau mikir lebih lanjut, mikirnya cuma bonus yang harus abis, ya jadilah seperti itu. Sekarang gini aja, ada operator yang membonusi bahkan sampai 10.000 SMS. Apakah kita, secara wajar aja, dalam seharian jumlah kegiatan SMS yang dilakukan bisa nyampe angka 500 aja lah? Kalopun ada, bisakah tembus angka 1000? Kalopun juga ada, emang adakan seseorang dengan benar-benar perlu ber-SMS sampe dapat angka 5000 kali?

Gara-gara berkali-kali ngeliat teman yang sering melakukan SMS bom dan sering pula dapat SMS bom, jadi mikir apakah itu fungsinya SMS. Padahal SMS juga ada etikanya, yang sebenarnya juga nggak jauh beda sama telepon. Kalo SMS belum juga dibales, bukan berarti tidak mau balas SMS atau bagaimana, tapi mungkin karena ada sesuatu hal yang bikin tidak bisa balas SMS dengan cepat. Bukannya malah belum dibalas satu SMS yang pertama, udah diberondong dengan SMS lagi yang menyuruh segera membalas SMSnya, sama aja dengan SMS bom tadi.

Seringnya SMS tidak terlalu memperhatikan etika komunikasi, padahal etika tersebut juga diperlukan walaupun komunikasi tidak berlangsung secara langsung dan bertatap muka. Akibatnya sering terjadi pula salah pemahaman tentang SMS yang diterima, sehingga terjadi salah paham di antara kedua komunikator ini. Juga patut diperhatikan, seperti komunikasi juga, dengan siapa dan apa kita ber-SMS ria. Jangan sampai juga salah sambung (kecuali kalo emang disengaja salah sambung).

SMS memang sebuah teknologi canggih nan murah, sampai-sampai karena kemurahannya diobrallah ribuan SMS gratisan. Bisa jadi sebuah hal yang menguntungkan bagi mereka yang memang membutuhkannya (bisa jadi media promosi gratis melalui SMS gateway), tapi juga suatu hal yang sangat mengganggu bila ada orang lain yang mengirimkan SMS bom kepada kita. Bahkan sering ditemui pengirim SMS bom dengan bangganya bercerita bahwa dia telah menghabiskan bonus SMSnya hari itu. Tapi semoga aja SMS yang digunakan emang benar-benar diperlukan dan dibutuhkan, agar nggak percuma punya bonusannya.

Rabu, 11 Desember 2013

Insepsi

Tak dapat dipungkiri, Inception adalah salah satu film hollywood yang mempunyai ide dan jalan cerita yang sangat keren. Inti dari filmnya sendiri adalah ide dan mimpi, yang dikombinasikan menjadi penanaman ide melalui mimpi. Ada beberapa fakta yang dipaparkan dalam film ini, yang pada saat kita menontonnya, maka kita mungkin bisa jadi berpikir, “Oh ya, rasanya aku sering mengalami seperti itu”.

Secara alurnya, mungkin agak sulit dimengerti, apalagi kalo hanya sekali menontonnya. Kita yang menonton akan mendapati kebingungan mana adegan dalam dunia nyata, ataukah mana adegan dalam dunia mimpi. Tapi seperti film-film yang lain, tidak ada yang tidak mungkin dalam sebuah film, meskipun dengan rekayasa.

Ada beberapa hal yang berkaitan dengan mimpi yang akan kita temukan di dalam film ini, namun sebenarnya selalu kita alami setiap saat kita bermimpi. Yang pertama, kita tidak tau awal mimpi kita, tau-tau kita udah ada di tengah-tengah mimpi, dengan sebuah situasi tertentu. Karena dalam mimpi kita berpikir semuanya adalah nyata, maka kita tidak pernah mengingat-ingat bagaimana awalnya kita masuk ke dalamnya. Begitu juga saat bangun, kita akan mengalami kesulitan mengingat bagaimana mimpi kita barusan.

Yang kedua, di dalam mimpi waktu terasa sangat lama, padahal kita mungkin hanya tidur beberapa menit. Saat bermimpi otak kita bekerja lebih cepat, sehingga kita bisa merasakan kita menjalani kehidupan berhari-hari untuk mimpi kita semalam saja.

Yang ketiga, di dalam mimpi memungkinkan kita bisa bermimpi lagi. Karena kita tidak menyadari mimpi sebagai alam bawah sadar kita, kita bisa mengalami tidur dalam mimpi kita dan kemudian bermimpi lagi tanpa kita sadari juga.

Yang keempat, kita bisa merasakan sakit di dalam mimpi, tapi bisa jadi rasa sakit itu hilang pada saat kita bangun. Mungkin dalam mimpi kita juga sering merasa bahwa kita sedang berlari-lari, tapi entah mengapa seperti ada yang menahan laju kaki kita untuk berlari, padahal dengan sekuat tenaga kita mencoba untuk berlari. Dan tentu saja, kita tidak menyadari bahwa semua ini hanya mimpi yang tidak nyata.

Yang kelima, tentu saja kita tidak menyadari bahwa mimpi kita tidak nyata. Kita menjalani kehidupan seolah-olah kita benar-benar mengalaminya di dunia nyata. Kadang ada saat-saat tertentu kita menyadari bahwa ini hanyalah mimpi, tapi kita lebih sering beranggapan bahwa inilah dunia nyata.

Dan sebenarnya masih banyak lagi yang bisa kita ambil hikmahnya. Beberapa tulisan juga pernah mengulas bahkan yang lebih bagus dan lengkap daripada apa yang aku tulis ini. Malahan ada beberapa ulasan yang mengambil fakta ilmiah dan juga hikmah filosofi yang keren dari film tersebut. Dan di atas semuanya, film ini memang tergolong film yang agak berat namun seru untuk diikuti, meskipun harus berpikir sampai mengerutkan dahi saat mengikuti ceritanya.

Dalam cerita film ini, para tokohnya mengalami 3 tingkatan mimpi. Jika mereka mati dalam mimpi mereka, mereka bisa bangun kembali. Namun untuk tahap terakhir, jika mereka mati, mereka tidur terlalu lelap untuk bangun kembali. Mereka akan memasuki Limbo, sebuah ruang mimpi yang tak terancang berisi material bawah sadar yang mentah dan tak terbatas.

Selasa, 10 Desember 2013

Ngeblog Harus Ikhlas

Seperti halnya dalam kehidupan sehari-hari kita, dalam kegiatan ngeblog kita juga diharuskan untuk selalu ikhlas dan sabar. Berbagai komponen dan dinamika dalam dunia perweblogan menunjukkan bahwa setiap lapis kegiatannya memerlukan keikhlasan tersebut.

Kita pasti menulis dan membuat entri blog. Apapun yang kita tulis baik berupa informasi, pengalaman, pemikiran, cerita, atau apapun semuanya selalu membutuhkan keikhlasan dalam menulis, berbagi, berpendapat, bahkan berimajinasi. Kalo dari awal juga kita ikhlas memulai suatu blog, pasti menulis juga menjadi paket keikhlasan yang mengikutinya.

Setelah tulisan diposting, pasti ada berbagai macam pendapat dari pembacanya, entah itu pro ataupun yang kontra. Perlu diingat bahwa entri blog yang bersifat pribadi itu biasanya bersifat juga disclaimer, dalam artian bahwa isi blog tersebut berasal dari pendapat dan pemikiran pribadi yang tidak mewakili suara suatu kelompok. Nah, karena itulah sering terjadi perbedaan pendapat. Maka kita harus ikhlas menerima perbedaan pendapat, ikhlas disalahkan kalo kita memang salah, ikhlas mengedit kalo dirasa perlu ada yang diperbaiki, atau ikhlas meluruskan pendapat orang lain yang dirasa keliru.

Entri blog tidak selalu dibaca oleh banyak orang. Entri blog kita mungkin hanyalah satu dari sekian banyak buih di lautan dunia internet. Oleh karena itu, bisa jadi entri blog kita tenggelam begitu saja tanpa ada orang lain yang menyadari bahwa kita baru saja membuat sebuah tulisan yang akan mengubah sejarah. Karena itu pula, kita juga harus ikhlas entri blog kita hanya sekedar menjadi hiasan blog pribadi tanpa ada seorang pun yang berkomentar, bahkan berkunjung dan membacanya.

Kalo kemudian setelah beberapa waktu berjalan ternyata blog kita tidak sesuai dengan apa yang kita harapkan, kita juga perlu ikhlas menghapus satu atau beberapa isi blog kita. Seperti yang pernah aku lakukan, aku pernah menghapus seluruh entri sebuah blogku karena isinya tidak sesuai dengan idealisme dan konsep blogku, padahal waktu itu blogku sudah mulai ramai dikunjungi dan menjadi referensi di beberapa blog lain.

Seseorang tidak dikatakan ikhlas saat dia berkata, “Aku mengerjakan semuanya dengan ikhlas”. Kalimat ini yang bisa menjadi batas pembeda antara ikhlas dan tidak ikhlas. Maka dari itu, banyak orang yang tanpa sengaja kehilangan nilai keikhlasannya tanpa pernah mereka sadari. Ramai, sepi, kosong, ataupun isi, dalam blog itu sudah biasa. Itu menjadi salah satu bagian resiko blogging. Seperti pemikiran yang agak menyimpang dari seorang teman, bahwa banyak blog sama dengan banyak penghasilan (karena baginya blog identik dengan penghasilan), tapi kalo diperhatikan masih banyak orang yang berpikir bahwa blog lebih dari sekedar itu. Blog adalah bagian kehidupannya, dan nilai kehidupan juga harus ada dalam kegiatan blognya.

Senin, 09 Desember 2013

Internet

Karena kegiatan ekskul baru dimulai jam 1 siang, sedangkan pelajaran udah selesai sejak jam 10, maka untuk mengisi beberapa jam luang ke depan bersama 2 orang teman aku bersepeda keluar sekolah, keliling-keliling aja. Salah seorang temanku kemudian mengajakku ke sebuah tempat, yang kemudian aku tahu ternyata itu adalah sebuah lembaga pendidikan komputer, yang menyewakan komputer dengan koneksi internet di situ. Jadilah kami bertiga menyewa 2 komputer untuk internetan.

Itulah awal aku mengenal internet, sekitar tahun 1999. Aku lupa situs web apa saja yang aku buka, wong waktu itu mau pake Internet Explorer saja belum bisa. Ada beberapa alamat web yang sering aku dapati di sampul kaset atau buku, tapi bingung cara mengisikan alamat tersebut di bagian mananya. Dan berkat bantuan seorang temanku yang udah lebih dulu kenal internet, akhirnya situs tersebut berhasil aku buka. Kalo tidak salah ingat, waktu itu sejamnya internet di situ bertarif Rp5.000. Padahal koneksi waktu itu amat sangatlah lambat, bisa jadi buka satu halaman web aja bisa sampai beberapa menit baru terbuka.

Sejak itu mulai terbuka wawasanku tentang internet. Jelajah warnet pun mulai dijalankan, nggak hanya sendiri tapi juga kadang rame-rame bersama-sama teman-teman sekolah. Waktu itu pun warnet juga masih jarang banget, dan harganya pun belum ada yang tiga ribuan. Tidak hanya belajar browsing, tapi juga mulai belajar chatting menggunakan mIRC. Waktu itu juga belum terlalu tahu tentang donlot, apalagi senjata andalan penyimpanan waktu itu hanyalah dari disket yang selain terbatas kapasitasnya juga rentan banget kena virus. Paling banter juga teman-teman pada belajar buat e-mail gratisan, yang lebih sering tidak pernah dipakai secara intens, hanya sebagai pelengkap identitas pribadi saja. Cari-cari teman dan kenalan baru pun paling sering dilakukan bersama teman-teman.

Sejak sekolah mulai mengadakan warnet di lingkungan sekolah sendiri, makin terkenallah internet di kalangan para pelajar di sekolahku. Tapi karena terbatasnya jumlah komputer di warnet sekolah, mau main ke situ pun juga harus antri dulu dengan banyak orang. Karena sering merasa kurang puas, maka bersama beberapa teman kami lebih sering berada di warnet luar sekolah daripada sekolah sendiri.

Seiring dengan perkembangan internet, maka koneksi internet pun lebih cepat, sehingga harga pun bisa lebih hemat. Mulai muncul warnet bertarif Rp3.000 per jam, dengan koneksi yang cukup cepat, sehingga kegiatan ngenet pun makin menyenangkan. Bahkan kegiatan internetan sekarang pun juga lebih beragam. Kalo dulu hanya main mIRC, bikin e-mail, main game, sekarang kegiatan internet ria lebih sering diisi dengan bikin blog, bersosial di jejaring sosial, donlot-donlot, atau kegiatan-kegiatan lain. Main di mIRC sih masih, hanya kadang-kadang aja kalo bosan sekedar main kuis atau tebak-tebakan. Mau chatting sekarang juga harus ngati-ati, banyak pengguna yang menggunakan mIRC untuk keperluan yang tidak sehat jasmani dan rohani. Kalo e-mail sih tentu saja masih pake, sedangkan kalo game rasanya sayang banget koneksiku untuk main game online, lagian bisa-bisa waktu banyak tersita hanya untuk main game online.

Juga dengan menjamurnya warnet sekarang ini, bahkan di pelosok-pelosok desa sekalipun, makin banyak pilihan mau ngenet di mana. Mau cari yang koneksi cepat ada, cari yang tempatnya nyaman ada, cari yang fasilitasnya lengkap ada, cari yang komputernya canggih ada, cari yang operatornya keren ada, bahkan cari yang banyak virusnya juga ada. Semua sesuai selera masing-masing, tapi yang pasti lebih baik kalo kita jadikan kegiatan berinternet merupakan kegiatan yang positif dan menyehatkan lahir batin, jangan sampai menjadi ajang jor-joran kemaksiyatan dan hal-hal yang negatif lainnya.

Minggu, 08 Desember 2013

Menulis Buku Harian

Menulis di buku harian adalah sebuah kegiatan menulis tentang diri sendiri, orang lain yang terkait, atau apapun di sebuah buku. Biasanya yang ditulis adalah pengalaman pribadi, kegiatan sehari-hari, perasaan, rencana ke depan, bahkan mungkin juga hutang-hutang yang dimiliki. Gaya penulisan pun bisa macam-macam, gaya bebas lah pokoknya. Maklum biasanya buku harian seperti ini bukan untuk konsumsi publik, hanya untuk dibaca dan ditulis untuk dan oleh diri sendiri. Sebebas apa tulisannya, itu sih terserah penulisnya saja.

Menulis buku harian seolah menceritakan tentang diri sendiri dan keadaan lingkungan sekitar kepada sebuah buku, ataupun bentuk curhat kepada seseorang, hanya saja bentuk seseorang ini adalah sebuah buku. Ada cerita yang jujur apa adanya, tapi ada juga yang tidak semuanya diceritakan.

Masih ada nggak ya yang masih suka nulis di buku harian? Meski terkesan lebay, dulu aku juga pernah menulis buku seperti ini. Isinya ya seperti itu tadi, macem-macem saja. Kadang juga ditempeli foto-foto pribadi yang berhubungan atau yang pengen disimpen. Aku menulis di buku selama sekitar 6 tahun, sejak lulus SD sampai lulus SMK.

Awalnya aku sering melihat sepupu-sepupuku punya sebuah ‘kitab sakti’, yang sangat dilarang keras bagi orang lain untuk membacanya. Kemudian suatu ketika aku dan adekku dibelikan sebuah buku kecil oleh Bapak, yang cocok dipakai sebagai catatan harian. Sebelumnya aku juga punya buku yang lebih kecil lagi untuk mencatat hal-hal yang penting untuk diingat. Sehingga setelah itu, aku dan adekku mulai membuat catatan pribadi tentang segala hal yang ingin ditulis. Meskipun namanya buku harian, tapi nyatanya tidak setiap hari aku menulisnya.

Sampai akhirnya terbuat dua buku. Aku tidak lagi menulis karena sebab yang sebenarnya sepele. Waktu aku berangkat kerja ke Bali, salah satu buku yang lama aku tinggal di rumah. Nggak taunya semua buku-bukuku yang ada di rak dijual ke tukang loak. Pas pulang aku sudah tidak punya lagi buku-buku pelajaran yang ada di rak, dan tentu saja termasuk buku harian yang tadi. Dan akhirnya buku yang baru pun lembaran yang ada tulisannya aku sobek dan aku musnahkan, jadilah mulai hari itu aku tidak lagi menulis di buku harian.

Selain buku harian aku juga suka banget membuat kliping, yang banyak tentang sepakbola, walaupun hanya berisi gambar-gambar dari majalah atau koran yang aku gunting dan tempel di sebuah buku. Kalo kliping aku mulai buat sejak kelas 5 SD, setelah event Piala Dunia 1994. Waktu itu aku lihat kok gambar-gambarnya bagus, sayang banget kalo kemudian dibiarkan begitu saja di koran. Jadinya aku mulai menggunting dan menempelkannya di buku bekas pelajaran yang sudah tidak dipakai lagi. Bahkan beberapa tahun kemudian aku malah sengaja membeli tabloid sepakbola untuk diguntingi gambarnya jadi kliping gambar. Sampai akhirnya jadilah beberapa buah buku kliping, yang beberapa ada juga yang ikut terjual di tukang loak.

Sekarang kegiatan menulis buku harian tergantikan dengan menulis di blog. Kegiatan kliping digantikan dengan menyimpan gambar-gambar di internet. Meskipun dalam jalur yang hampir sama, namun tentunya ada batasannya juga. Tulisan-tulisan yang tidak bisa dibaca setiap saat karena butuh koneksi internet. Lagian tulisannya pun hanya bisa dibaca oleh siapaun yang juga konek ke internet. Salah satu solusinya ya menyimpan halaman blog kemudian mencetak sehingga bisa dibaca kapanpun, siapapun, dan di manapun. Demikian juga dengan klipingnya, bisa disikapi dengan tindakan yang sama. Ada juga program aplikasi komputer untuk membuat catatan harian yang lebih praktis tanpa koneksi internet. Banyak pilihan, tergantung selera masing-masing orang saja.

Sabtu, 07 Desember 2013

Langganan

Berlangganan dengan sebuah toko memang lebih banyak keuntungannya daripada tidaknya. Sang penjual dan pembeli kurang lebih sudah cukup saling mengenal dan memahami satu sama lain, sehingga tidak ada lagi kecanggungan dalam proses bertransaksi. Bahkan pelayanan yang diberikan toko pun lebih terasa memuaskan karena terasa pas dengan keinginan pelanggan. Namun tak sedikit pula pembeli yang ‘merasa’ pelanggan dari sebuah toko. Padahal bisa jadi baru sekali beli ke situ, atau bahkan malah ke situ karena saran seorang teman. Dengan merasa sebagai pelanggan maka bisa jadi pembeli yang seperti ini menginginkan keistimewaan dibanding pembeli yang lain.

Pernah suatu ketika aku disuruh bos untuk membeli sesuatu di sebuah toko. Tak lupa bos berpesan untuk menyebutkan nama kantorku atau nama bosku saat bayar, dengan harapan bisa dapat potongan atau bahkan harga istimewa karena ‘dianggap’ sebagai pelanggan. Dan akhirnya yang terjadi gak ada pengaruhnya sama sekali. Aku sih maklum, karena seberapa sakti sih urusan titip nama dalam transaksi seperti ini. Toko tersebut bisa saja melayani puluhan bahkan ratusan pembeli dalam satu hari, mungkin tidak mungkin menghapal seseorang yang sebelumnya sudah membeli dengan suatu identitas tertentu dan kemudian kembali lagi dengan menganggap diri sebagai pelanggan.

Dalam urusan jual beli aku termasuk ‘pembeli jalan lurus’, yang nggak mau repot menawar, ataupun tidak terlalu banyak bertanya. Ada barang, cocok, uang cukup, beli, bawa pulang, selesai. Tidak bisa berbasa-basi dengan asumsi bahwa penjual mengenalku karena sebelumnya aku pernah atau sering beli di situ. Meskipun lebih akrab itu lebih baik, tapi aku juga nggak mau membebani pikiran si penjual untuk mengingat-ingat kapan dan siapa aku yang baru saja kemarin juga beli ke situ.

Tapi dalam masalah langganan aku juga dihapal oleh beberapa penjual. Contohnya seperti di Adiran Kuliner, langganan beli batagor di situ. Begitu aku datang saja, bukan hanya pemiliknya yang sudah hapal makanan dan minuman apa yang akan aku pesan, yang tukang meracik pun sudah hapal, dan tanpa aku pesan sebelumnya pun makanan dan minuman sudah jadi diantar ke meja. Di sebuah toko peralatan komputer juga seperti itu, karena keseringan ke situ, pernah beli sesuatu tapi nggak ada dan harus pesen dulu, jadi dikenal penjualnya. Dan baiknya, terkadang beli di situ juga dapat diskon tanpa diminta.

Tapi yang jelas, meskipun hapal, akrab, dan ‘melanggan’ ke sebuah tempat, pastinya tidak perlu memaksa pemiliknya untuk memberikan pelayanan ekstra atau istimewa yang berbeda dari yang lain hanya karena sering ke situ. Masalah seperti pelayanan istimewa itu kewajiban pemilik usaha untuk semua konsumennya tanpa terkecuali, kalo perlu bahkan orang-orang dekatnya. Sebaliknya pelayanan istimewa adalah hak bagi semua konsumen tanpa terkecuali, tanpa perlu merasa seperti akulah pelanggan sejati di sini.

Daftar Blog Saya