Rabu, 25 Desember 2013

Si Anak Bawang

Karena badanku yang kecil dan sifat cengengku selama sekolah di Sekolah Dasar aku berperan sebagai ‘anak bawang’. Lalu apa tugas anak bawang itu? Pada dasarnya tidak ada, kecuali berperan sebagai pelengkap kalo ada kelompok yang kekurangan anggota, atau dipasang di depan kiper saat main sepakbola, atau pula sebagai sasaran tembak dalam permainan kasti, atau menjadi sasaran intimidasi lainnya. Dan karena nggak ada keberanian untuk melawan atau memberontak, maka peran itu terus dijalani sampai lulus SD.

Kalo sekarang lagi ingat masa-masa ‘kelam’ itu jadi merasa nggak enak sendiri. Bagaimana nggak, kalo dulu karena badanku yang kecil terus jadi bulan-bulanan teman-temanku, tapi sekarang bahkan aku sendiri berbadan lebih besar daripada kebanyakan teman-temanku itu. Tapi masa lalu ya biarlah berlalu, nggak perlu diingat-ingat lagi. Yang penting bagaimana sekarang hidup yang dijalani ini.

Tapi kalo diperhatikan, memang di setiap fase sekolah atau apapun selalu ada yang ‘diberi’ peran ‘anak bawang’, sebagai pelengkap penderitaan. Dijadikan bulan-bulanan, sasaran empuk kemarahan dan kekesalan, atau kalo pada saat diperlukan bisa jadi pelengkap kalo kekurangan anggota kelompok seperti aku tadi. Sengaja atau tidak sengaja, hampir dipastikan ada. Si ‘anak bawang’ nggak akan keliatan menonjol dibandingkan teman-teman lainnya.

Lalu apa sih perlunya? Sebenarnya masing-masing pihak ada keuntungan yang bisa didapatkan. Bagi seorang ‘anak bawang’, terutama saat diperlukan, mereka akan merasa mendapatkan sebuah ‘peran penting’ dalam suatu permainan. Dalam masa itu si ‘anak bawang’ juga bisa merasa bahwa dia sudah diterima dalam sebuah kelompok tertentu. Sedangkan bagi kelompok yang berlawanan, tentu saja ‘anak bawang’ adalah keuntungan untuk maksud-maksud seperti di atas tadi.

Dalam kasus yang aku alami sendiri, ternyata aku nggak selamanya jadi ‘anak bawang’. Karena beberapa perlakuan yang nggak mengenakkan bisa menjadi pembelajaran bagiku untuk lebih kuat lagi. Suatu contoh, ketika suatu saat menjadi sasaran empuk tembakan bola kasti, aku kemudian bisa belajar bagaimana cara menghindari tembakan bola kasti dengan baik. Mengamati arah datangnya bola, belajar gerakan yang aman untuk menghindari bola, atau bahkan berusaha membalikkan keadaan. Dan untuk yang ini aku bisa dibilang cukup berhasil.

Satu hal lagi, status ‘anak bawang’ juga nggak selalu merendahkan diri sendiri. Bisa menjadi sarana penyatuan sosial (asal nggak kelewatan), terutama (sekali lagi dalam kasusku) jika si ‘anak bawang’ adalah seseorang yang bersifat pendiam, tertutup, kaku, dan penakut, yang sudah pasti kesulitan mendobrak tembok kesetaraan sosial. Tentu saja tergantung pada bagaimana si ‘anak bawang’ itu menyikapinya, dan bagaimana kelompok memperlakukannya.

0 komentar:

Posting Komentar

Silakan berkomentar, mumpung gratis lo...!!!

Daftar Blog Saya