Tanya Dilema

Suatu pagi, di tengah-tengah pekerjaan, tiba-tiba ponselku berbunyi. Ada pesan di Facebook Messenger dari seorang temanku.

Seperti Nemo

Ada satu film yang bagiku aneh banget, yaitu Finding Nemo. Inti ceritanya kan ada seekor ayah ikan yang mencari anaknya. Yang aneh itu ternyata ikan ini bisa ngomong. Padahal kalopun ikan bisa ngomong, kan ikan ini ada di dalam air. Coba kita aja yang ngomong di dalam air, kedengeran nggak sama temen kita yang ada di deket kita.

Pakai Bahasa Indonesia

Dari sejak blog pertamaku aku selalu pengen mempertahankan ke-Indonesiaanku, khususnya dalam penggunaan bahasa Indonesia di setiap tulisan blogku. Bukan karena aku nggak bisa bahasa Mandarin, Jepang, Korea, atau India, bukan! Tapi sebenarnya emang nggak bisa sih, tapi bukan itu maksudnya.

Hobi

Hobiku adalah membaca. Aku mendapatkannya dari sebuah majalah anak-anak. Jadi gini awal ceritanya, waktu itu ibuku mengirimkan foto dan dataku ke sebuah rubrik koresponden di majalah anak-anak itu. Dan di bagian hobinya, ibuku menuliskan kalo hobiku adalah membaca.

Power Bank

Di jaman gadget seperti sekarang ini, keberadaan smartphone menjadi bagian kehidupan bagi beberapa orang. Tapi di balik kecanggihan dan segala kelebihannya, ada salah satu sisi di mana smartphone justru lebih boros dalam pemakaian daya baterainya.

Selasa, 23 Desember 2014

Penyaji dan Pendengarnya

Entah kenapa, sebuah ceramah yang disampaikan oleh seseorang berdasarkan tulisan orang lain itu bagiku kesannya seperti ‘roh’ dari tulisan ini nggak tersampaikan. Misalnya gini, khotbah Jumat sederhananya. Seorang khotib yang kalo dia menyampaikan khotbahnya dengan membaca sebuah artikel hikmah hasil karya orang lain yang dimuat di majalah, yang menurutnya menarik, belum tentu bisa dibuat menarik dengan menyajikannya kepada jamaah sholat Jumat. Bisa aja penyajian itu jadi berkesan membosankan, entah karena khotibnya terlalu sibuk membaca sehingga kandungan maknanya tidak sampai kepada jamaah, atau karena bahasa artikelnya terlalu tinggi sehingga tidak bisa dimengerti oleh jamaah.

Mungkin ada juga yang membuat artikel itu menjadi sangat menarik untuk dibaca. Tapi yang perlu diperhatikan adalah, dengan materi yang dibaca dan disajikan kepada orang lain, apakah penyajinya punya pemahaman yang sama dengan pembuat materi itu? Kalo iya, apakah penyajinya menguasai materi itu? Kalo iya, apakah bahasa materinya bisa diterima oleh para pendengarnya? Kalo iya, apakah transfer pola pikir penulisnya bisa sampai kepada pendengarnya melalui penyaji materi tadi? Kalo iya, ya udah….

Intinya adalah, dari sebuah materi yang disampaikan, dalam bentuk apapun istilahnya, setidaknya ada sebuah atau lebih makna dan pemahaman yang bisa dibawa pulang oleh pendengarnya. Jadi menghadiri sebuah kajian misalnya, tidak jadi sebuah hal yang percuma karena ada oleh-oleh berupa ilmu dan pemahaman baru yang diambil dari materi tersebut. Jangan sampai karena asal menyampaikan materi dari literatur tertentu, penyaji gagal memberikan pola pikir yang sama saat dia membaca sebelumnya.

Karena mungkin sering banget kita menghadiri sebuah acara yang inti penyajiannya nggak nyampai ke kita. Alih-alih untuk dibawa pulang sebagai pokok ide, jangan-jangan pas perjalanan pulang aja itu materi udah lupa gimana. Ini sebenarnya nggak jauh beda dengan kita ngomong ke penyajinya “Pak, gimana kalo daripada Bapak capek baca tulisan itu, mending kita pinjam buat difotokopi?”, karena perasaan kalo mendengarkan orang membaca itu jadi membosankan. Yang baca asyik-asyik aja, yang denger nggak ngerti blas, dan parahnya pendengarnya menghadapi situasi yang mana kondisi seperti itu nggak bisa dihindari dan ditinggalkan.

Apalagi kalo informasi dari penyajian tersebut nggak dicatat, hanya didengarkan. Terlebih lagi, kalo niat nyatet misalnya, kita bingung bagian mana yang bisa dicatet, karena mungkin materinya nggak berinti dan nggak nyampai maksud dan tujuannya.

Senin, 22 Desember 2014

Persepsi

Misalnya suatu ketika kita dapat luka, tempatnya di pojokan lutut a.k.a dengkul. Sebenarnya bingung juga, ini lutut pojokannya di mana ya, tapi ya biarlah, wong ini juga permisalan aja. Terus karena tempat lukanya ini strategis, mudah tersenggol apa aja, kita jadi punya pemikiran “Ini luka udah dihati-hati biar nggak kena senggol tapi kok tetep kena aja. Emang ya yang dihati-hati itu malah lebih sering kenanya…”.

Atau suatu ketika kita kena sariawan, tempatnya juga strategis, pastinya di mulut sih. Terus suatu saat sariawannya kegigit sendiri pas lagi makan. Sambil meringis, kita akan berpikir, “Kenapa ya sariawan itu malah sering tergigit sendiri?”.

Dari kedua contoh ini sebenarnya hanya persepsi kita aja kenapa kok bisa gitu. Sekarang misalnya dibalik, lutut kita nggak kenapa-kenapa, nggak ada lukanya, pernah nggak kita merhatiin berapa kali lutut kita ini tersenggol dalam sehari? Atau saat mulut kita semanis madu, tanpa ada sariawan, pernah nggak ngerasa berapa kali mulut kena gigi kita dalam waktu makan? Nggak kan? Itu karena kita nggak ngerasain sakitnya dan nggak menganggap bahwa itu adalah hal yang berbahaya.

Kalo ada luka kaya tadi, kesenggol dikit aja kan rasanya sakit gitu. Itulah yang bikin kita ngerasa semua hal yang kita jaga bener-bener pasti ada ujiannya. Yang nggak kita jaga, kaya lutut yang nggak terluka tadi, mau disenggol apa aja (asal nggak disenggol kendaraan di jalan) juga woles aja, nggak apa-apa terutama kalo kesenggolnya pelan aja nggak keras-keras. Kalo ada luka, misalnya kesenggol pelan aja kena bantal, udah bisa bikin kita nyumpahin agar bantal itu menjadi bantal untuk selamanya.

Minggu, 21 Desember 2014

Pola Film

Sebenarnya hal yang dibahas dan ditampilkan di sebuah film itu adalah “MASALAH”. Kita bisa liat kan, di film itu, entah itu berupa sinema elektronik (sinetron) atau sinema layar lebar, polanya adalah ditampilkan masalah, kemudian tokoh utamanya mengatasi masalah, masalah selesai, dan tokoh utamanya menang, akhirnya bahagia. Ada sih beberapa film yang berakhir dengan tokoh utamanya nggak bahagia, tapi seenggaknya filmnya selesai, tamat, nggak nyambung-nyambung lagi, itu bisa jadi kebahagiaan bagi para penontonnya.

Tapi sekarang coba kita perhatikan, ada sinetron-sinetron berseri yang panjangnya bahkan bisa sampai seribu episode, padahal kalo sinetron itu ditayangkan setiap hari tanpa henti, dengan durasi sekitar satu jam, maka selama sekitar tiga tahunan sinetron itu tayang, bahkan belum tamat juga. Ini kan bisa bikin pertanyaan, sebenarnya seberat apa sih masalah yang dihadapi tokoh utama di sinetron itu? Kok ada ya masalah yang dihadapi sampai tiga tahun belum selesai-selesai. Padahal kita liat orang-orang Indonesia sekarang ini. Hujan gerimis sehari aja udah galaunya bukan main. Giliran besoknya panas banget ngeluhnya minta ampun. Yang kaya gini udah jelas nggak masuk kriteria pola sinetron tadi.

Dan lagi, tiga tahun sinetron nggak tamat-tamat. Kalo dengan pola tadi, tokoh utamanya bahagia di akhir cerita, ini berarti selama tiga tahun tokoh utama ini nggak bahagia, ada aja masalahnya. Ini jangan-jangan tar berakhirnya cerita gara-gara tokoh jahatnya bosan bikin masalah, terus dia mikir ‘Ah, udahan aja lah masalahnya, udah tiga tahun nih, bosan jahat terus!’. Kalo tokoh jahatnya kaya gini ini sebenarnya cerita selanjutnya udah bisa ketebak, bukannya tamat, malah tokoh jahat lainnya muncul lagi. Dia kemudian meneruskan “tradisi jahat tiga tahunan” yang dari tokoh jahat sebelumnya.

Nggak, gini lo sebenernya, apa sih manfaat dari kita, para pemirsa ini, dengan menonton sinetron yang sampai seribu episode itu? Kita lo malah terlarut dalam cerita, sehingga jangan-jangan kita terlalu menghayati peran dalam sinetron itu. Iya kalo perannya yang jadi si baik, yang ditindas selama tiga tahun woles-woles aja. Coba kalo perannya ternyata jadi si jahat, tiap hari bikin masalah nggak abis-abis, bahkan sampai tiga tahun belum selesai. Mau jadi apa hidupnya?

Kalo dulu ada kontroversi tentang tayangan-tayangan kartun kaya Pokemon atau Spongebob Squarepants karena membahayakan yang nonton, harusnya juga ada dong larangan menayangkan sinetron yang panjang-panjang episodenya. Harusnya aturan panjangnya dibatasi, misalnya kalo yang tayang setiap hari kalo bisa tiga bulan udah selesai dan yang tayang seminggu sekali enam bulan udah tamat. Kalo gitu kan abis tamat ada yang lain ngantri tayang, toh yang main kan kebanyakan ya pemainnya itu-itu aja.

Kaya FTV itu sebenarnya bagus, tapi alurnya mudah ketebak. Polanya itu nggak jauh-jauh dari ketemu, berantem, naksir, terus jadian. Pemainnya juga sebenarnya itu-itu terus. Tapi bagusnya nggak ada FTV yang nyampe tayang seribu episode. Ini kalo FTV sampai seribu episode, kasian yang mau naksir ini, mungkin episode ketemunya bisa satu episode selesai, tar berantemnya 950 episode berikutnya, 48 episode berikutnya diisi dengan acara taksir-taksiran, terus episode terakhirnya jadian, tamat!

Sabtu, 20 Desember 2014

Mr. Bean

Pasti semua udah pada tau kan serial “Mr. Bean” yang disiarin di tivi itu, bahkan mungkin sering nonton. Mr. Bean adalah serial komedi televisi dari Inggris yang dibintangi oleh Rowan Atkinson. Program ini diproduksi oleh Tiger Television, yang kemudian berganti nama menjadi Tiger Aspect (perusahaan di mana Atkinson menanam sahamnya), untuk Thames Television dan awalnya hanya disiarkan di ITV. Di Britania Raya, acara ini sering disiarkan oleh PBS selama beberapa tahun dan sekarang telah tersedia dalam bentuk DVD.

Dalam serial ini Atkinson berperan menjadi seorang lelaki lucu, egois, dan banyak akal yang sering menghadapi situasi konyol karena ulah dan perbuatannya. Dalam kesehariannya, Mr. Bean mengendarai sebuah Mini Cooper (pada episode awal berwarna jingga keluaran tahun 1969, tetapi lama kelamaan berganti menjadi keluaran 1977 dengan warna hijau jeruk nipis dan kap mesin berwarna hitam).

Adegan pembuka acara ini (digunakan mulai dari episode kedua dan seterusnya) menggambarkan Mr. Bean jatuh dari langit dalam sinaran cahaya. Banyak teori mengenai arti dari adegan ini, mulai dari kemungkinan Mr. Bean adalah alien, malaikat yang dikirim ke dunia, atau manusia yang telah mengalami penculikan oleh alien (abduction) yang kemudian mengalami berbagai kejadian aneh. Tetapi para produser serial ini berpendapat bahwa adegan tersebut bermaksud menunjukkan bahwa Mr. Bean adalah manusia biasa yang tiba-tiba menjadi pusat perhatian (tetapi serial animasinya memberikan artian yang lebih jelas). Apapun arti dari adegan itu, yang jelas Mr. Bean adalah karakter yang tampak sendirian di dunia, kekanakan, dan kadang terlihat tidak memahami aspek-aspek dasar yang bekerja di dunia.

Dia seolah punya dunia sendiri yang berbeda dengan orang lain, bahkan orang-orang di sekelilingnya. Dia punya boneka beruang yang seolah “hidup” dan bisa diajak ngomong. Atau dia begitu terlihat emosional saat melihat mobil yang mirip dengan mobilnya sendiri. Nggak bisa dipungkiri bahwa tingkah lakunya yang terkesan konyol itu bisa mengundang tawa buat penontonnya. Terutama yang paling diingat adalah ekspresi-ekspresi lucunya di berbagai situasi. Tapi kalo dipikir-pikir lagi, sebenarnya ada beberapa hal yang bisa kita ambil hikmahnya dari film ini. Terutama adalah bahwa acara ini mempertunjukkan bagaimana Mr. Bean berusaha melakukan kegiatan sederhana, seperti pergi berenang, mendekorasi apartemennya, atau mengerjakan ujian.

Tapi di balik hal-hal yang dilakukan secara sederhana ini, Mr. Bean itu selalu punya tujuan. Misalkan pada saat mengerjakan ujian, dia punya tujuan untuk bisa lulus ujian tersebut. Yang bikin konyol tentu aja gimana dia mencapai tujuan tersebut. Kelucuan biasanya muncul ketika ia menerapkan solusinya sendiri terhadap berbagai masalah tanpa menghiraukan orang lain. Banyak saat di mana Mr. Bean akhirnya dapat mencapai tujuannya tersebut, tapi sering juga usahanya berakhir dengan kekonyolan.

Sebenarnya sayang ya dengan tayangan Mr. Bean yang ada di tivi sekarang ini. Dulu serial Mr. Bean selalu punya jam tayang sendiri di jam-jam hiburan utama. Sekarang, entah karena para pemirsa tivi udah terlalu hapal dengan tiap-tiap episodenya atau gimana, seolah-olah kesannya kalo Mr. Bean tayang di tivi itu hanya sebagai pelengkap. Mungkin karena stasiun tivi udah kehabisan acara buat ditayangin, terus ditayangin aja Mr. Bean di waktu itu.

Referensi Ide

Kamis, 18 Desember 2014

Di Balik Nina Bobo

Sebenarnya bingung dengan lagu ini, Nina Bobo. Yang jadi kebingungan adalah kenapa harus Nina aja yang bobo, gimana dengan yang lain? Karena penasaran kan aku jadi browsing cari-cari tau gimana sejarah lagu ini. Eh malah yang ketemu cerita-cerita mistis di balik itu. Tapi di sini aku nggak akan ngebahas cerita mistisnya sih, soalnya kalo orang bilang itu kurang ilmiah. Mengesampingkan cerita-cerita horor tentang lagu Nina Bobo ini, ada beberapa hal yang bisa kita analisa dari lagu ini.

Pembahasan yang pertama, ada yang hapal lirik lagu Nina Bobo? Menurut Wikipedia setidaknya ada dua versi lirik lagu Nina Bobo ini. Versi pertamanya adalah:
Nina bobo oh nina bobo
kalau tidak bobo digigit nyamuk.
Marilah bobo oh nona manis,
kalau tidak bobo digigit nyamuk.


Sedangkan versi keduanya adalah:
Nina bobo oh nina bobo
kalau tidak bobo digigit nyamuk.
Bobolah bobo adikku sayang,
kalau tidak bobo digigit nyamuk.


Ada lagi versi bahasa Belandanya, yaitu:
Slaap meisje, oh slaap, meisje (tidurlah gadis, o tidur, gadis)
als je niet gaat slapen, zul je door een mug gestoken worden. (jika kamu tidak segera tidur, kamu akan disengat seekor nyamuk)
Laten we gaan slapen, oh lief meisje, (tidurlah tidur, o gadis manis)
als je niet gaat slapen, zul je door een mug gestoken worden. (jika kamu tidak segera tidur, kamu akan disengat nyamuk)

Pembahasan yang kedua adalah ini sebenarnya lagu anak-anak, fungsinya biasanya dipakai sebagai lagu pengantar tidur anak-anak. Tapi tau nggak, bahwa sebenarnya lagu ini nggak pantas diajarkan buat anak-anak? Biasanya kita dilarang mengajarkan ancaman buat anak-anak biar mereka nggak menganggap hal itu adalah menakutkan atau patut dihindari ke depannya. Tapi lagu ini malah mengajarkan ancaman. Coba liat di salah satu baitnya, ‘Kalau tidak bobo digigit nyamuk’, ini kan ancaman! Jadi si anak ini harus milih salah satu, segera bobo atau rela digigit nyamuk. Dan anak yang baik pasti milih yang pertama.

Pembahasan yang ketiga masih ada hubungannya sama tulisanku yang sebelumnya, soal fitnah kepada nyamuk. Ingat, nyamuk itu menghisap, bukan menggigit!

Pembahasan keempatnya masih ada hubungannya sama pembahasan yang ketiga, masih soal nyamuk. Yang kita tau itu nyamuk nggak akan milih-milih mangsanya, entah itu dia nggak tidur atau sudah tidur, tetep aja dia hajar. Kalo di lagu ini dibilang ‘Kalau tidak bobo digigit nyamuk’, atau harusnya ‘Kalau tidak bobo dihisap nyamuk’, udah tidur pun nggak jaminan itu nyamuk nggak menyedot darah kita.

Pembahasan terakhirnya ada hubungannya sama cerita mistisnya. Dari hasil browsing aku menemukan setidaknya ada tiga cerita di balik nama Nina ini, dua di antaranya yang berhubungan dengan mistisnya. Yang satu namanya Helenina Mustika Van Rodjnik, yang satu lagi namanya Nina Van Mijk. Persamaan dari kedua nama ini adalah keduanya sama-sama keturunan Belanda dan sama-sama dipanggil Nina. Mitosnya kalo ada yang nyanyiin Nina Bobo buat anaknya sebelum tidur di malam hari, maka arwah Nina (nggak tau Nina yang mana) akan menjaga anak itu biar tidur nyenyak sampai pagi.

Dari sini timbul pertanyaan, sebenarnya ada berapa stok arwah Nina yang tersedia? Misalnya gini, di sebuah gang ada 20 anak kecil, 10 di antaranya pas mau tidur dinyanyiin lagu Nina Bobo. Jadi seenggaknya harus ada 10 orang (atau apa?) arwah Nina yang harus menjaga anak-anak di dalam gang ini satu per satu. Ini masih di satu gang, gimana satu kelurahan? Kalopun cerita kedua anak Belanda itu benar-benar ada, mungkin bisa dibagi tugasnya masing-masing ya. Tapi tetep aja, harus punya banyak stok buat ngejagain semua anak di Indonesia ini yang ditidurkan pake lagu Nina Bobo.

Oya, ada satu versi lagi asal mula judul Nina Bobo yang aku dapat, dan sebenarnya aku lebih cenderung ke versi ini. Karena selain sumbernya lebih valid, ini juga lebih ilmiah. Nina Bobo adalah sebuah lagu pengantar tidur dari Indonesia yang bercitrakan irama keroncong. Lagu ini juga dikenal di luar Indonesia, misalnya di Negeri Belanda. Lagu ini dipopulerkan oleh Anneke Grönloh dan Wieteke van Dort. Dalam Bahasa Indonesia, kata-kata yang digunakan untuk menidurkan dalam lagu ini adalah nina-bobo(k) atau nina bobo. Kata kerja seperti “meninabobokkan”, yang juga berasal dari lagu ini, memiliki arti “menyanyikan lagu untuk menidurkan”. Penggunaan kata tersebut spesifik hanya di Indonesia. Sementara itu, dalam Bahasa Melayu, “meninabobokkan” diterjemahkan menjadi dodoi.

Kata “nina” seringkali dikira merupakan nama sebuah gadis. Kata tersebut sebenarnya berasal dari bahasa Portugis menina, yang meskipun juga memiliki arti gadis tetapi bukanlah sebuah nama. Namun, lagu ini dinyanyikan baik untuk anak pria maupun wanita tanpa membeda-bedakan. Beberapa kata Indonesia diserap dari bahasa Portugis; misalnya juga pada kata Nona. Semenjak abad ke-16, bangsa Belanda dan Portugis menuju ke India Timur dan meninggalkan jejak mereka dalam segi bahasa serta kultur budaya.

Kata “bobok” atau “bobo” berasal dari bahasa China. Kata Indonesia yang baku adalah “tidur”, sementara kata “bobok” lebih jarang digunakan dan umumnya hanya diterapkan pada anak-anak. Berdasarkan pada lirik lagu, seekor nyamuk akan menggigit si anak jika tidak segera tidur. Ada lelucon bahwa binatang lain selain nyamuk, yaitu toegezongene, yang akan menggigit.

Referensi:
1. Nina Bobo
2. Sejarah Mengerikan di Balik Lagu Nina Bobo
3. Asal Usul Lagu Nina Bobo

Rabu, 17 Desember 2014

Cerita Sendiri

Sebagai seseorang yang bikin tulisan di blog, sesekali aku juga punya cita-cita menyusun buku sendiri. Sesekali sih, soalnya dulu udah pernah nulis buku, banyak malah, pas sekolah dulu. Judulnya ‘Buku Tulis Pelajaran Bahasa Indonesia’, ‘Buku Tulis Pelajaran Matematika’, dan beberapa lagi. Pas dijual, eh laku banget lo! Yang beli ya itu, tukang loak, tukang barang bekas, beberapa teman juga. Kalo yang dibawa teman sih bukan beli dia, tapi minjem dan nggak balik.

Tapi seperti halnya tulisan di blog, aku ini termasuk orang yang bisa bikin konsep dan ide awal, tapi sulit mengembangkan dan bikin akhirannya yang pas. Dulu pernah bikin yang buku judulnya ‘Pelajaran Matematika’ tadi, nggak ada akhirannya, soalnya akhirannya waktu itu ujian nasional, nggak sempat ditulis di buku.

Nggak tau kenapa, kalo bikin cerita itu dari awal sampai tengah-tengahnya aku bisa banget. Soalnya kan emang di setiap cerita pas bagian awal sampai tengah itu isinya banyak yang nggak jelas gitu, begitu sampai akhir baru ketauan ini cerita mau dibawa ke mana. Ibaratnya benang, pas awal itu agak kusut, tengahnya kusut banget, dan akhirnya kekusutan itu diurai. Kalo cerita yang aku bikin, berawal dari agak kusut, kusut banget, terus hampir akhir ujung yang bikin kusut itu nggak ketemu dan akhirnya benang kusut ini dibuang. Nggak ada akhir lain selain nggak berlanjut.

Itu terjadi dulu aku kan pernah bikin cerita. Karena penggemar anime dan manga, aku bikin alur cerita kaya anime yang aku tonton atau manga atau aku baca. Awalnya bikin cerita yang alurnya kaya kartun Saint Seiya, eh ternyata filmnya nggak lanjut sampai habis, begitu juga ceritaku. Terus bikin cerita petualangan yang kaya manga apa gitu aku lupa, kan aku nggak langganan itu manga, jadinya ceritanya juga nggak lanjut.

Kalo ada yang pernah baca beberapa tulisan-tulisan di blogku ini dan nemuin akhiran tulisan yang nggantung nggak ada solusinya, ya itulah ciri khasku. Aku nggak bilang itu sebuah kelebihan, tapi sebenernya aku berharap ada yang posting komen buat nyempurnain tulisan itu. Setidaknya ada usul dan saran, atau mungkin kritik lah buat tulisanku itu, biar mungkin kalo bisa dimasukkan ke tulisan sebagai solusi masalah yang aku buat di awal tulisan kan lumayan.

Tapi sekedar info aja, bentar lagi aku mau bikin buku lo! Judulnya sih nggak keren-keren amat, ‘Jurnal Perjalanan Dinas’, isinya laporan perjalanan dinas para karyawan di kantorku. Yang nulis aku sendiri dengan tangan kananku yang bermanfaat ini, pake tulisan tanganku sendiri. Semoga jalan sih, buat bahan pelaporan kegiatan di kantor.

Selasa, 16 Desember 2014

Foto Penulisnya

Mungkin dari sekian ribu pembaca blogku ini ada yang pengen tau, sebenarnya gimana sih kira-kira ekspresiku kalo pas mengutarakan tulisan dalam blogku ini, apakah marah-marah, atau diam aja, belagak lugu-lugu ngeselin gitu, atau ketawa-ketiwi, atau juga senyum-senyum tersedu-sedu? Aku pernah baca sebuah blog, di headernya ada foto penulisnya lagi senyum lebar gitu, jadi setiap kali baca isi tulisannya aku jadi ngebayangin kalo orang ini kalo dia mempresentasikan setiap tulisannya dengan senyum-senyum lebar.

Itulah kenapa aku pasang fotoku juga di blogku ini, nggak di atas sih biar nggak ada kesan apa gitu, yang penting ada. Kalo foto yang sekarang bentuk wajahnya gimana? Tetep sih!

Tapi emang aku nggak terlalu suka nampangin foto diri di tulisan-tulisan blog. Biar nggak ada pikiran gini, “Ih, isi blognya cemen banget, eh ini ada foto yang bikin tulisan ini. Oh, jadi si cendol ini toh yang bikin tulisan? Fotonya senyum-senyum kaya udah paling bener aja… alay lo…!!!”. Itu rasanya kaya seluruh tulisan yang aku tulis tadi nempel di mukaku yang nggak rata ini. Dan semua orang baca tulisanku sambil menilai “Ni hidungnya nggak simetris nih… matanya kurang oke, meskipun alisnya kurang bumbu tapi ekspresinya cukup bagus. Kompor gas!!!”.

Nggak tau juga sih, sebenarnya isi blog itu berbanding lurus dengan wajah penulisnya atau nggak, tapi tetep aja kalo lagi baca sebuah tulisan, kita sering nyari-nyari, ada nggak foto penulisnya. Coba liat di koran-koran atau majalah gitu, kan sering tuh pas baca sebuah artikel dan nemuin kalimat apa gitu, kita sekejap mengalihkan perhatian dari teks yang kita baca ke foto penulisnya kalo ada. Kita ngebayangin gimana kalo wajah ini lagi ngomongin tulisannya, kemudian sekejap kemudian kita balik lagi ke teks yang kita baca tadi. Ini bahayanya kalo si penulis tadi nggak pede kita liatin, pas kita baca teks, liat ke foto penulisnya, lalu kita balik lagi ke teks semula, begitu kita liat lagi ke foto eh ternyata nggak ada gambarnya, tinggal tulisan aja ‘Lagi cuci muka’.

Tapi emang bisa dibilang foto penulis itu penting nggak penting sih. Dari foto ini kita bisa tau wajah penulisnya, siapa tau tar ketemu di jalan terus kita sapa atau minta tanda tangan gitu. Nggak pentingnya ya itu tadi, pas tulisannya nggak mutu sama sekali dia malah nyumpah-nyumpahin fotonya. Ya itu sih sebenarnya juga nggak bisa terlalu dianggap penting, saat sebenarnya yang kita cermati adalah hasil-hasil tulisannya.

Senin, 15 Desember 2014

Selamat

Ada seseorang yang punya rumah dua lantai. Rumahnya sedang terbakar, dan dia ada di lantai atas. Dia kemudian berteriak-teriak, “Tolong…!!! Selamatkan aku…!!!”. Ada seorang tetangganya yang dengar, terus bawa tangga kemudian naik ke lantai atas. Begitu dekat dengan orang tadi, sebelum ngobrol atau ngapa-ngapain, dia menjulurkan tangan kanannya untuk menjabat tangan orang tadi, kemudian dia bilang, “Selamat ya, Pak…”. Orang itu kemudian menjabat tangan tetangganya tadi lalu bilang, “Makasih ya, Pak, udah ‘diselamatkan’”.
‘Selamat’, kita mau mendefinisikan apa ya tentang kata ini? Aman-aman aja, baik-baik aja, nggak celaka, atau apapun yang berlawanan dengan hal-hal yang bercenderungan tidak aman. Itu bikin kita memikirkan hal-hal yang baik tentang kata ‘selamat’ ini. Tapi kenapa ada ucapan ‘Selamat Pagi’, ‘Selamat Hari Libur’, atau yang lainnya? Ini sebenarnya mendoakan agar kita selamat, atau paginya yang selamat?

Konsep awalnya emang itu adalah sebuah doa agar kita selamat saat waktu-waktu tertentu. Misalnya ucapan ‘Selamat makan’, ini adalah harapan agar pas makan kita terhindar dari marabahaya. Bisa aja kan pas kita makan, tiba-tiba kita terlibat bahaya, tanpa sengaja kita masuk dalam pertempuran antara kucing kita dengan anjing tetangga gitu. Dan dalam pertempuran ini kita terluka parah, dan akhirnya kita nggak jadi makan.

Atau ucapan ‘Selamat tidur’, ini harapan agar kita menjalani tidur dengan selamat. Jangan sampai kita terlibat bahaya gara-gara tidur, misalnya kita pas tidur dan mimpi, saking menghayatinya peran dalam mimpi kita, kita ngerasa itu kaya kenyataan, kita bangkit dari mimpi, terus jalan-jalan sambil tidur, dan akhirnya tanpa sengaja masuk ke dalam medan pertempuran antara kucing kita dengan anjing tetangga. Dan akhirnya dalam peperangan ini kita terluka parah, dan kita bangun dalam keadaan yang tidak ‘selamat’.

Bagaimana dengan ‘Selamat datang’? Ini ucapan pas kita datang ke suatu tempat, karena kalo nggak selamat kita nggak bakal bisa datang. Kalo ‘Selamat tinggal’? Semoga pas meninggalkan seseorang di suatu tempat dia nggak kenapa-kenapa, dan nggak terlibat dalam pertempuran antara kucing dan anjing lagi.

Ah, apapun definisi kita tentang ‘selamat’ dan ucapan ‘selamat’, semua pasti mengarah pada harapan agar diberikan keselamatan dan terjauh dari ketidakselamatan. Tapi kalo itu adalah sebuah harapan, atau katakanlah itu sebuah doa, kenapa jawabannya harus ‘Makasih ya…’? Itu mungkin karena ucapan-ucapan ini sebenarnya nggak jelas. Kalopun itu doa, doanya itu ditujukan kepada siapa. Itu mungkin ucapan buat kita agar selamat pas makan, tapi yang ngasih selamatnya siapa kan juga nggak disebutkan di situ.

Lain lagi misalkan kalo kita ucapin ‘Ya Allah, semoga Engkau memberikan keselamatan kepada saudaraku ini saat dia makan’, mungkin ini sebuah ucapan yang sebenarnya. Ini sebuah harapan dan doa yang jelas ditujukan kepada siapa untuk keselamatan siapa. Itulah kenapa kita jawabnya bukan ‘terima kasih’ lagi, tapi mengamininya. Dan lebih baiknya kalo juga balas mendoakan orang yang berdoa tadi.

Ada ucapan atau kalimat tertentu yang maksudnya sebenarnya adalah doa dan pengharapan, tapi nggak lengkap penyebutannya. Dan kalo nggak lengkap gini yang dimaksud juga nggak nyampai ke sasaran, malah kesannya nyindir-nyindir gitu. Kan lebih baiknya kalo kita bisa melengkapi ucapan tersebut, jadi kalimat tadi bisa bermakna doa dan kita dapat berkah dari doa tadi, dan moga-moga doanya juga dikabulkan.

Minggu, 14 Desember 2014

Menyampah

Seharusnya kita nggak perlu mempermasalahkan tentang bagaimana sampah itu dibersihkan atau siapa yang akan membersihkan sampah. Nonton berita di tivi, ada sungai di Jakarta yang penuh sampah, tiap hari sampahnya diangkat pake alat berat, tapi kok masih aja ada sampahnya. Belum sampe selesai pengangkatan satu hari, sampah dengan volume yang sama udah datang lagi.

Sekarang coba fokus beralih ke seseorang yang berjalan di pinggir kali. Dia makan roti berkemasan plastik. Rotinya udah habis dan dia nggak bingung lagi mau dibuang ke mana kemasan plastik itu, soalnya ada dua pilihan tempat buang terdekat, kalo nggak di jalan ya di kali. Dan akhirnya tanpa melalui pemikiran dan musyawarah mufakat dia buang ke kali aja. Dalam otak dangkalnya dia berpikir bahwa toh hanya dia aja yang buang sampah ke sungai waktu itu. Dan juga toh hanya sampah plastik kecil tanpa bobot yang dia buang.

Sekarang beralih lagi ke pemikiran yang agak ‘perhitungan’, berapa panjang sungai itu, dan berapa panjang jalan yang ada di pinggir sungai itu untuk dilalui orang. Kemudian ditambah dengan berapa orang yang jalan di pinggir kali itu, dan berapa banyak orang yang makan roti di situ. Kemudian ditambah lagi berapa banyak orang yang memilih ngebuang bekas bungkus roti itu ke kali dibandingkan ke jalan.

Parahnya, semua orang ini berpikiran yang sama, ‘Toh hanya dia aja yang buang sampah ke sungai waktu itu’, dan ‘Toh hanya sampah plastik kecil tanpa bobot yang dia buang’. Dan hasilnya, ya muncul di berita tivi tadi. Misalkan dalam satu jam aja ada 10 orang yang memilih membuang bungkus bekas roti di kali, berarti dalam satu hari ada 240 bungkus roti mengapung di kali. Itu cuma dihitung sampah bekas roti aja. Gimana dengan sampah-sampah yang lain? Tambahan lagi, gimana dengan sampah-sampah yang lain di tempat-tempat yang lain?

Sering banget nemuin orang-orang yang pas buang sembarangan sampai dibarengin dengan pemikiran ‘Toh nanti juga ada yang bersihin’, atau ‘Kalo nggak ada sampah, tar tukang sampah kerja apa?’. Padahal coba kita lihat katanya, ‘tukang sampah’, itu bisa diartikan orang yang kerjanya bikin sampah, ya berarti dia sendiri. Maksudnya gini, kenapa kita harus berangkat dari pemikiran ‘ada yang bersihin’, padahal kita punya peluang besar untuk mencegah itu. Kita bisa mencegah sampah berceceran dengan tidak buang sampah sembarangan. Lagian kan banyak disediakan tempat sampah di berbagai tempat. Pekerjaan menampung sampah sementara sampai ketemu tempat sampah buat buang sampah di situ, itu kan juga bukan pekerjaan yang berat, kecuali kalo sampahnya itu tadi berupa truk bekas gitu.

Kenapa kita nggak mengorbankan sedikit waktu buat menampung sampah sementara, yang bisa berdampak bersihnya lingkungan. Yang buang plastik bekas roti tadi, sementara plastiknya dikantongin dulu sementara sampai ketemu tempat sampah. Atau kalo nggak mau kantongnya kotor bisa antisipasi bawa kantong plastik buat penampungan sementara. Atau kalo nggak mau repot lagi ya nggak usah makan roti dulu sementara sampai ketemu tempat sampah terdekat. Kita sering pengen menjaga kebersihan tapi bingung gimana atau memulai dari mana. Ya kita bisa mulai dari hal remeh temeh kaya tadi, dimulai dari diri kita sendiri, dan sesegera mungkin dilaksanakan, nggak perlu nunggu fungsi sungai dari penuh air menjadi penuh sampah.

Sabtu, 13 Desember 2014

Nasib Resolusi Tahun Baru

Sebuah kegiatan yang sering digembar-gemborkan pada akhir tahun adalah: MEMBUAT RESOLUSI TAHUN DEPAN. Nggak tau ini kegiatan wajib atau bukan, tapi pasti kita sering dapat pertanyaan klise, ‘Apa resolusi kamu tahun depan?’. Dan kemudian kita mau jawab apa ya terserah kita aja. Kalo misalnya ada yang emang bikin, dia kemudian bikin sesi presentasi dan menerangkan resolusinya dari awal sampai akhir, sejak tanggal 1 Januari sampai 31 Desember dengan detail dan menyeluruh, terus di sesi terakhirnya dia bilang, ‘Ada pertanyaan?’. Kalo yang emang nggak bikin, ya woles aja, itu kan nggak harus.

Tapi gini, coba kita perhatikan terutama bagi mereka yang bikin, berapa lama resolusi tahun baru anda akan bertahan untuk dilaksanakan? Atau secara globalnya, berapa persen resolusi yang anda canangkan kemudian tercapai di akhir tahun? Dan akhirnya, seberapa banyak resolusi awal tahun anda yang bisa diingat sampai akhir tahun, atau seenggaknya tengah tahun? Dan mumpung ini akhir tahun menurut perhitungan kalender, pertanyaan bagi yang bikin resolusi tahun lalu, ada nggak yang masih inget resolusi tahun baru anda tahun ini?

Resolusi tahun baru, seringnya berupa deretan daftar apapun yang ingin kita capai atau kita ubah di tahun depan. Alih-alih bikin perubahan sekarang, orang-orang cenderung suka bikin perencanaan perubahan untuk tahun depan. Dan akhirnya entah konsisten atau nggak dengan pencanangan itu, orang-orang cenderung lupa dengan yang namanya resolusi tahun baru, bahkan di minggu kedua tahun baru. Ini kenapa?

Balik lagi kepada kecenderungan bikin perubahan untuk direncanakan tahun depan, dengan ini kita terlalu terbiasa dengan yang namanya menunda. Mau berubah aja nunggu tahun depan. Dan dalam pikiran kita, sering muncul latar belakang bahwa hari esok masih panjang buat bikin perubahan itu di masa depan. Nah, menunda ini bisa terjadi lagi pas tahunnya udah ganti, sedangkan resolusi yang tadi udah waktunya dilaksanakan. Abis itu kita tunda lagi sampai bulan depan, bulan depannya tunda lagi, tunda lagi, berulang-ulang sampai akhirnya kita ketemu akhir tahun lagi.

Ibarat sebuah unit kerja yang bikin program kerja tahun depan dengan target-target tertentu kapan untuk dilaksanakan, resolusi tahun baru itu hampir sama kaya gitu. Resolusi kaya gini bukan buat orang-orang yang suka menunda-nunda bikin perubahan atau orang-orang yang suka berkompromi dengan aturan-aturan tertentu yang mereka buat sendiri. Dan resolusi kaya gini membutuhkan sifat konsisten, konsekuen, komitmen, dan tekad untuk melaksanakan. Tanpa sifat-sifat kaya gini, percuma! Mending nggak usah bikin resolusi, bikin aja prinsip hidup seperti air yang mengalir dari tempat tinggi ke tempat yang rendah. Mau berubah kapan pun, nggak ada target, bisa! Mau nggak berubah, tunggu bulan depan, bisa! Pokoknya nggak terikat resolusi kosongan.

Sebenernya terserah sih sama masing-masing, mau bikin resolusi, mau nggak, ya nggak masalah. Nggak perlu menggembar-gemborkan juga lah mana yang bener mana yang nggak. Yang bikin ya silakan berusaha untuk melaksanakan, yang nggak ya nggak usah ribut. Toh juga nggak ada bedanya antara tahun baru sama tahun lama, kecuali bilangan tanggalnya.

Dan kalo ditanya apa resolusi tahun baruku, aku jawab ‘1024 × 768′.

Jumat, 12 Desember 2014

Di Beranda Facebook

Facebook sekarang ini udah kaya tempat mengumpulkan keluhan-keluhan. Mungkin kalo satu hari aja keluhan yang ada di berandanya dikumpulin bisa jadi buku berpuluh-puluh halaman. Herannya kok nggak habis-habis ya itu keluhan, ada aja yang dikeluhkan. Padahal tiap hari udah mengeluh lo, tapi stoknya kayanya masih banyak yang perlu dikumpulkan di situ.

Selain itu Facebook sering jadi tempat pamer bersosialisasi. Misalnya ada seseorang mau berkomunikasi sama temannya, terus dia buat status buat temennya itu sambil mention gitu. Ini udah kayak telepon atau SMS seperti nggak ada aja. Bikin status gitu, yang nonton banyak, tar dikomen orang nggak dibales karena yang dimaksud bukan dia.

Pernah juga nemuin ada orang bertengkar di Facebook. Ada gitu yang rebutan cowok, ceritanya ada seorang cewek yang suka sama seorang cowok atau gimana, terus si cowok itu ada cewek lain yang ngedeketin. Terus si cewek ini bikin status buat nyindir cewek yang satunya tadi, eh cewek yang satunya ini komen di situ, terus saling berdebat. Ada lagi sepasang suami istri yang lagi marahan, tapi marahannya dari dunia nyata berlanjut ke dunia Facebook. Awalnya istrinya bikin status galau gitu soal masalahnya, terus suaminya komen di situ. Ini masalah keluarga, tapi seisi Facebooknya tau dan baca.

Nah ada lagi yaitu Facebook sebagai tempat berdoa. Ini sebenarnya nggak jelas, apakah maksudnya biar diaminin banyak orang, atau lagi pamer kesengsaraan. Misalkan ada masalah gitu, terus doa biar masalahnya selesai, mungkin orang yang komen bilang ‘aamiin’ apa gimana gitu. Kan doa, apalagi ngaminin itu lebih mustajab kalo diucapkan daripada ditulis. Atau misal ada cewek lagi ada masalah sama pasangannya gitu, terus bikin status galau kemudian ada doanya, kan kita nggak bisa mastiin dari semua kontaknya itu niatnya tulus ngaminin dia mungkin. Jangan-jangan ada salah satu atau beberapa dari kontaknya malah pengen si cewek ini putus sama pasangannya terus biar dia bisa ngedeketin. Kalo yang kaya gini udah jadi modus terselubung.

Banyak pula foto-foto narsis, yang sering aku sebut “1 : 50”, maksudnya satu gaya tapi fotonya ada lima puluh buah. Nggak tau kenapa, mereka ini bikin foto sebanyak lima puluh kali hanya dengan sebuah gaya yang sama. Padahal fotografi itu kan seni cahaya, kalo udah narsis-narsisan kaya gini udah nggak bisa dibilang berseni lagi tuh.

Itu adalah beberapa alasan mengapa bagiku Facebook udah nggak asyik lagi. Bagiku sebenarnya apapun yang mereka bikin di akun Facebook mereka sendiri itu adalah ya privasi mereka, semau mereka. Urusan mereka ya biar mereka urus sendiri, urusanku ya aku urus sendiri. Kalo nggak suka tinggal remove aja udah beres.

Tapi ya liat-liat juga, ada nggak manfaatnya buat kita liat di Beranda. Kalo nggak manfaat ngapain diperlihatkan. Mengekspos masalah pribadi untuk jadi konsumsi publik itu kan nggak jauh beda menjadikan Facebook sebagai infotainment basi yang sering muncul di televisi. Kita mungkin nggak suka diomongin orang lain, tapi kita sendiri yang menggembar-gemborkan masalah kita sendiri di depan umum. Status Facebook mungkin bukan sangat umum seperti televisi yang bisa dilihat semua orang bahkan mereka yang nggak punya televisi. Tapi tetap aja, itu bisa menjadi santapan dan tontonan bagi mereka yang kita undang jadi teman, atau mengundang kita jadi teman.

Sebenarnya juga salah kalo ada ungkapan ‘Statusmu adalah apa dan bagaimana dirimu’, karena kalo statusnya ngambil dari lagu, puisi, atau buku, terus bagaimana kita nilai orang itu? Puitis, ekspresif, atau plagiat?

Rabu, 10 Desember 2014

Di Mata Orang

Seekor kupu-kupu tidak pernah mengenal warna dan dan coraknya. Tapi setiap orang yang melihatnya pasti tahu bahwa kupu-kupu itu punya warna dan corak yang indah.

Seorang bayi bergerak dan berperilaku yang bagi mereka wajar. Meskipun mereka tidak bermaksud melucu, tapi setiap orang yang melihat gerakan bayi itu pasti berpikir bahwa bayi itu lucu dan menggemaskan.

Seseorang mungkin tidak menyadari bau yang dipancarkan dari badan mereka, entah itu harum atau nggak enak. Tapi orang-orang di sekitarnya yang bisa mencium bau itu dan mengenalinya sebagai bau dari seseorang itu.

Apa persamaan atau arti dari ketiga analogi itu? Orang lain di luar kita sendiri yang memperhatikan kita, mungkin tanpa kita sadari. Tapi sebenarnya apa yang dilihat orang lain itu belum tentu bahwa itulah diri kita. Itu karena orang melihat kita dari apa yang mereka lihat. Orang melihat kupu itu indah, padahal sebelumnya kupu-kupu itu adalah ulat. Bayi nggak bermaksud melucu tapi yang dilakukannya pasti terlihat lucu. Kita bisa terlihat sombong di mata orang, padahal bisa jadi kita adalah orang yang pendiam atau kaku, yang jarang menyapa orang.

Udah gitu aja.

Selasa, 09 Desember 2014

Remote Televisi

Remote TV berguna untuk memerangi iklan. Kok bisa? Ya liat aja, kalo pas nonton tivi, terus pas iklan, dan ada remote tivi di samping kita, hal terlintas yang ada di pikiran kita selain ke kamar mandi adalah pencet-pencet tombolnya. Dan mulailah otak memerintah ke otot tangan untuk menggerakkan tangan, menjamah remote tivinya dan mata mencari tombol-tombol bertuliskan angka. Satu per satu channel diabsen, kira-kira ada nggak tivi yang lagi nggak nyiarin iklan, nggak nyiarin sinetron basi, nggak nyiarin infotainment, dan yang terpenting stasiun tivinya lagi siaran. Dan saat ketemu ada channel dengan kategori-kategori yang tadi, inilah saat di mana kita menemukan acara alternatif bagi acara utama kita tadi, yang lagi nyiarin iklan.

Selain itu remote tivi berguna untuk memerangi siaran film atau sinetron horor, yang ada muncul setan atau hantunya gitu. Bukan buat ditunjuk-tunjuk ke hantunya, terus mereka kebakar gitu. Tapi prinsipnya sama kaya perang melawan iklan tadi. Begitu hantunya tampil, dan mulai muncul rasa ketakutan, kengerian, atau kejijikan di perasaan pemirsanya, remote tivi adalah benda yang bisa diraih setelah bantal. Dan kegiatan pencet-pencet pun kembali dimulai. Padahal ini sebenarnya termasuk PHP lo! Kan hantunya udah capek-capek dandan buat bikin penontonnya jijik gitu, eh begitu dia muncul kita ganti channelnya. Kalo hantunya sampai tau mungkin lain kali dia udah kapok jadi hantu.

Tapi parahnya kalo kombinasi dari keduanya, kita lagi kena iklan yang ada di film horor. Ya mending nggak usah liat tivi aja!

Kegunaan lain sebagai peralatan perang adalah remote tivi bisa digunakan buat memerangi tikus. Misalkan kita lagi asyik-asyiknya nonton tivi, tiba-tiba muncul tikus masuk ke ruangan nggak ketok-ketok pintu dulu, dan pas banget ada remote tivi sebagai satu-satunya benda yang menemani kita selain kursi yang kita duduki, maka kita akan lebih memilih remote tivi untuk dilempar ke tikus itu daripada kursinya, atau tivinya sendiri. Dan kebanyakan hasilnya bukan tikusnya yang kena, tapi malah remote tivinya yang rusak.

Jaman sekarang ini kayanya hampir semua produk televisi yang dikeluarkan punya remotenya masing-masing ya. Dulu kan nggak semua tivi ada, kalo pas pengen ganti channel atau ganti volume perlu bangkit dulu dari tempat duduk, jalan ke tivi, nyari tombolnya, terus dipencet-pencet. Atau kalo udah males banget, nonton tivi sambil baring-baring, mencet tombolnya bukan lagi pake tangan tapi pake kaki. Sekarang sih, bahkan ada remote tivi berjenis universal, bisa dipake buat semua tivi dengan pengaturan setting tertentu. Tapi karena remote tivi ini udah menjadi barang yang biasa ada, kita jadi lupa bahwa sebenarnya remote tivi ini adalah salah satu barang penemuan yang canggih. Saking biasanya kita akan sebuah remote, sering ditemui kita punya beberapa remote buat satu tivi aja. Nggak kebayang kan dulu awalnya remote tivi nggak kaya sekarang ini, tapi pake kabel yang terhubung sama tivinya. Ini sebenarnya bisa jadi cara meminimalisir hilangnya remote tivi, tapi gimana kalo nontonnya agak jauh dari tivi, kan remotenya nggak bisa dibawa ke mana-mana.

Ini sebenarnya sama dengan kesan kita dengan tivinya sendiri, atau lampu, listrik, dan peralatan canggih lainnya. Karena kita beruntung hidup di jaman di mana peralatan-peralatan canggih udah ditemukan lebih sempurna. Kita ingat bahwa di jaman kerajaan Majapahit belum ada ATM. Di jaman perang Salib orang masih pake gerobak, belum ada kendaraan motor roda tiga. Di jaman perang dunia aja kirim kabar belum bisa SMS-an. Hal-hal yang udah kita temui saat ini, dan kita sering lupa betapa pentingnya penemuan-penemuan ini. Coba kalo listrik nggak pernah ditemukan manusia, gimana bisa ngeblog kita sekarang ini. Tapi kita sering baru sadar bahwa kita punya listrik saat ada pemadaman listrik.

Senin, 08 Desember 2014

Permakluman

“Saya orang Indonesia salah wajarkan?”

Ini adalah retweet dari seseorang yang aku nggak kenal, meskipun wajahnya cantik (dan meskipun nggak ada hubungannya antara ‘nggak kenal’ sama ‘cantik’). Dialog nggak langsung ini berawal dari saat cewek tadi ngebalas twit dari seorang yang aku ikuti di Twitter. Dia pake bahasa Inggris di beberapa bagian kalimatnya. Nah, ada satu bagian yang pemakaiannya bahasa Inggrisnya salah, nggak pas gitu. Karena tampil di timeline-ku, aku retweet aja dengan kalimat yang benar. Eh, nggak taunya dia ngebales! Sebenernya seneng sih ada yang ngebales gitu, apalagi dia cewek. Tapi ternyata balesannya gitu…

Maksudnya bukan sok bisa bahasa Inggris atau sotoy gimana gitu, tapi cuma ngebenerin aja. Sering banget nemuin hal-hal yang kaya gini. Dan tiap kali nemuin, dalam pikiranku muncul dua pilihan, “Aku harus bilang ‘RIP English’, atau ‘Istirahat dalam tenang, Bahasa Indonesia’ ya?”. Untungnya dalam menghadapi pilihan ini nggak harus sampe sholat istikhoroh dulu, lagian nggak terlalu penting banget.

Tapi gini aku jelasin, kita, orang Indonesia, memang bukan penutur asli bahasa Inggris. Bahasa Inggris digolongkan bahasa asing di Indonesia. Lagian Inggris juga nggak lama-lama amat menjajah Indonesia. Tapi kita saat salah dalam penggunaan bahasa Inggris selalu aja berlindung pada fakta bahwa “Saya orang Indonesia, yang wajar bila salah mengucapkan bahasa Inggris”. Kenapa harus beralibi gitu?

Maksudnya kenapa harus beralibi, karena sebenarnya itu bisa dicegah. Iya, salah mengucapkan atau menuliskan bahasa Inggris bisa kita, orang Indonesia ini, cegah, dengan tidak memakainya. Yang kita tau adalah bahasa Indonesia ini udah banyak banget kata-katanya, masak nggak ada satupun kata dari bahasa Indonesia yang bisa menggantikan kata dari bahasa Inggris yang kita pake tapi salah tadi. Misalkan gini, ada yang salah dalam memakai susunan kata dalam kalimat ‘You are is the best!’, ini kan sebenarnya maksudnya mengungkapkan kehebatan seseorang, dalam bahasa Inggris biar keren, nggak tau yang seseorang yang dimaksud hebat tadi tau nggak artinya. Tapi ternyata pas diucapkan salah guna! Kenapa nggak langsung bilang aja ‘Kamu yang terbaik!’, sederhana, tepat guna, dan insya Allah yang dibilang ‘terbaik’ tadi kalo dia orang Indonesia juga pasti ngerti.

Bahasa, itu nggak hanya sekedar dipake buat keren-kerenan. Para penggemar musik luar negeri sering pake lirik-lirik lagu buat status atau twit misalnya, biar dibilang keren atau gimana, lebih dari itu maksud dari pemakaian bahasa itu! Bahasa sebagai sarana pengantar komunikasi, yang penggunaannya juga harus baik dan benar, agar nggak hanya menghargai asal bahasa itu sendiri, juga agar komunikasi berjalan lancar dan nyaman karena kedua pihak saling mengerti. Dan karena atribut ‘keren’ itu tadi, orang yang nggak ngerti maksud dan kandungan dari kalimat yang salah, cenderung menganggap itu keren dan bisa jadi dia kemudian meneruskan penggunaan kata yang salah tadi ke orang lain. Ini sebenarnya bahayanya, saat pemakaian bahasa dan kata yang salah menyebar dan itu kemudian dianggap sebagai permakluman dan kewajaran saat kita salah memakainya.

Jadi, orang Indonesia, pake bahasa Inggris tapi salah mungkin wajar, tapi jangan sampai kewajaran ini dianggap sebagai hak perlindungan. Kita orang Indonesia mungkin dongkol atau jengkel saat bahasa Indonesia dipakai sembarangan oleh orang asing, atau beberapa di antara kita menganggap itu sebagai kelucuan dan patut ditertawakan. Mungkin sebenarnya orang Inggris juga gitu saat bahasa Inggris salah digunakan, tapi karena kita nggak ngerti bahasa mereka saat mereka protes, mungkin kita di sini menganggap itu kata-kata keren.

Sabtu, 06 Desember 2014

Compact Disc

Harga kepingan DVD kosong sekarang ini udah cukup murah, sekitar lima ribuan udah dapat. Apalagi kalo CD kosongan, bisa lebih murah lagi. Kapasitasnya juga udah dikalahkan sama yang namanya flashdisk, yang muncul belakangan. Apalagi isi flashdisk bisa lebih fleksibel untuk aktivitas tulis-hapus. Tapi nggak tau kenapa bagiku yang namanya CD itu masih aku anggap sebagai barang penting dan ‘mewah’, padahal harganya juga sangat jauh lebih murah daripada flashdisk.

Kalo menurutku ini dikarenakan fungsi dan guna CD sendiri masih sangat efektif untuk beberapa keperluan, misal mau instal OS, program, back-up data, dan sebagainya. Meskipun kapasitasnya terbatas (terutama CD), tapi bisa ngasih keamanan yang lebih. Bandingkan dengan menyimpan file di flashdisk, terutama saat sekarang ini, di mana virus-virus banyak bermunculan. Asal colok flashdisk di mana aja bikin rentan kena virus dari mana aja.

Kalo pake keping CD atau DVD, sesuai dengan sifatnya yang kompak, maka tanpa proses tertentu file apapun nggak bisa asal masuk ke dalam CD dan mengganggu filenya. Belum lagi kalo mau nginstal OS, pake master dari CD itu lebih aman daripada menginstal dari flashdisk, yang bisa aja master instalannya udah kena virus, sehingga kalo nginstal dari situ maka virus yang ada ikutan masuk ke OSnya.

Tapi tentu aja semua ada kelemahannya. Musuh utama CD adalah goresan. Kalo udah kegores, baca data juga tersendat. Berikutnya adalah kotor. Kalo ada kotoran yang nempel di permukaan baca CD, maka drive optik akan ada masalah atau gangguan dalam ketepatan baca datanya. Lalu juga retakan, pecah, dan lain-lain gangguan. Terlepas dari keamanan datanya, keamanan perangkat CDnya sendiri juga perlu diperhatikan.

Kalo punya CD-CD yang penting dan perlu, biasanya aku back-up CD tersebut dalam bentuk file image. Kalo suatu saat pas CD pertamanya rusak dan nggak bisa dipakai lagi, maka tinggal bikin CD baru dari image tadi. Cuma masalahnya adalah image CD ini bisa memenuhi kapasitas harddisk dari komputernya. Tapi tentu saja ini masih bisa diakali dengan misalnya menyimpan filenya di flashdisk atau tempat penyimpanan lain.

Nilai guna dari sebuah barang menjadi sebuah nilai tambah dari harga barang tadi yang sebenarnya sangat murah. Soalnya kegunaan dan fungsi barang ini bisa jadi sangat berharga dan sangat berguna yang bisa diandalkan dalam kegiatan kita, sehingga seringkali sebesar apapun harga barangnya menjadi nggak kerasa karena kepentingan fungsinya.

Kamis, 04 Desember 2014

Sepedanya Rusak

Keingat dulu semasa di SMK alasan telat karena sepeda rusak itu sering nggak diterima guru bengkel sebagai alasan yang masuk akal dan mendapat keringanan atau dispensasi. Para guru berpendapat bahwa harusnya rusaknya sepeda itu bisa diminimalisir dengan pengecekan hari sebelumnya atau pas paginya saat sepeda dipanasi. Tapi ini kan sepeda, gimana manasinnya, kaya motor aja! Padahal kebanyakan pelajaran di bengkel itu mulai jam pertama yang rentan telat karena berbagai sebab.

Sebenarnya argumen guru-guru ini masuk akal juga. Kondisi sepeda bisa dicek sebelum dipakai, sehingga kalo ada yang nggak biasa dari sepeda bisa diantisipasi sebelumnya. Tapi nyatanya kita juga nggak bisa menghindari takdir saat ternyata sepedanya ditakdirkan untuk rusak. Entah karena rantainya putus, atau bannya bocor, atau gimanapun, namanya juga rusak di jalan. Pernah kejadian aku gagal masuk tepat waktu karena sepedaku ditabrak sama mikrolet dan akhirnya rusak. Ini kan juga nggak bisa diantisipasi, misal hari sebelumnya aku ngomong dulu sama sopirnya mikrolet, ‘Bang, besok jangan tabrak ane ya!’, ya mana bisa gitu juga.

Tapi itu jadi sebuah resiko tersendiri menghadapi guru-guru bengkel seperti ini. Karena bisa jadi sebuah keberanian dengan telat kemudian menghadap guru bengkel dan menerima hukuman nggak bisa ngikutin pelajarannya sampai habis jamnya. Ada beberapa teman yang karena nggak mau dihukum, akhirnya mereka nggak masuk jam tadi tapi langsung masuk jam berikutnya. Pemikirannya kan sama aja mau menghadap atau nggak, tetap nggak boleh masuk jam pelajarannya, jadi mending nggak usah menghadap sekalian. Tapi dengan cara seperti ini kan kita jadi nggak tau tar gurunya mau ngasih hukuman atau nggak. Bisa aja kan ternyata pas waktu itu gurunya lagi bahagia, jadi seneng dan males ngasih hukuman ke muridnya, pas kita telat eh langsung disuruh masuk tanpa ada hukuman. Namanya juga kemungkinan, kan sama besarnya dengan kemungkinan sepeda kita rusak di jalan tadi.

Jam-jam pelajaran di bengkel adalah jam-jam penuh kedisiplinan dengan menghadapi guru-guru yang nggak enak diajak guyonan. Makanya pelajaran di bengkel lebih didominasi dengan suasana ketegangan, meskipun nggak selalu. Maklum aja sih sebenarnya, soalnya yang kita hadapi di situ kan mesin-mesin besar dan peralatan-peralatan logam. Salah perhitungan atau kurang disiplin, resikonya lebih besar daripada menghadap guru bengkel karena telat tadi. Dan resiko ini, sebenarnya juga sama besarnya dengan rusaknya sepeda di jalan tadi.

Jumat, 28 November 2014

Kecampuran [Bagian 2]

Musik kita adalah musik yang sering ‘kedatangan’ dengan musik-musik dari luar. Nggak hanya musik berbahasa Inggris dari daerah barat sana, tapi juga musik-musik khas dari negara-negara Asia. Kita kelewatan musik-musik dari India saat lagi ngetrennya film-film Bollywood, kedatangan musik dari Mandarin saat drama-drama seri Mandarin beredar di TV-TV kita, ketamuan musik dari Jepang berturutan dengan anime-anime menjamur di Indonesia, dan kemudian kecanduan musik dari Korea saat drama-drama Korea juga tampil di sini.

Ini membawa kebiasaan baru bagi kita orang Indonesia ini. Yaitu kelatahan belajar bahasa asing. Datangnya lagu-lagu dari mancanegara ini sebenarnya bagus, bagian bagusnya terutama adalah saat kita nggak ngerti apa yang dinyanyikan karena bahasanya beda. Mungkin kalo kita ngerti, bisa jadi lirik-liriknya nggak jauh beda sama lagu-lagu Indonesia sekarang ini. Tapi orang Indonesia banyak yang nggak mau sekedar bisa joged dengan musiknya, liriknya juga harus tau biar bisa ikutan nyanyi. Nggak sekedar tau, tapi juga ngerti.

Makanya kemudian bermunculan komunitas-komunitas pecinta grup atau penyanyi itu. Dari situ bisa dibentuk kelompok belajar yang mempelajari musik dan lirik serta terutamanya bahasa dari grup itu. Lama kelamaan, bahasa itu digunakan dalam kegiatan sehari-harinya. Bukan hanya dengan komunitas dan kelompoknya, tapi juga di luar kegiatan itu. Orang-orang jadi terlihat keren karena bisa ngomong bahasa yang nggak dimengerti orang lain. Nggak hanya itu, lembaga-lembaga kursus bahasa pun jadi bermunculan juga.

Tapi jadi ironis jika bahasa itu digunakan buat ngobrol sama orang yang nggak ngerti sama sekali dengan bahasa itu. Kasian kan kalo ada orang ngajak ngobrol orang lain terus terlontar bahasa-bahasa asing, yang orang lain itu nggak ngerti sama sekali. Ini jadi percuma aja kan?! Makanya pemakaian bahasa asing seperti ini juga digunakan dalam waktu dan tempat yang sesuai aja. Kan orang awam banyak yang nggak bisa bedain antara bahasa Mandarin, Jepang, dan Korea. Biasanya mereka anggap ketiga bahasa itu adalah bahasa China. Orang-orangnya juga gitu.

Sebenarnya inti tulisan ini adalah boleh-boleh aja kita mempelajari bahasa-bahasa selain bahasa kita, malah kalo bisa gitu. Tapi jangan sampai kita kehilangan bahasa kita sendiri, malah cenderung merusaknya dengan mencampuradukkan penggunaannya dalam kehidupan sehari-hari. Ironis sekali lagi kalo ada orang Jawa lebih fasih berbahasa Jepang daripada bahasa kromo inggil Jawa. Atau lebih hapal hurup kanji daripada aksoro Jowo.

Seperti tulisanku sebelumnya, seringkali budaya orang lain terlihat lebih menarik daripada budaya kita sendiri untuk dipraktekkan dalam kehidupan sehari-hari kita. Tapi kita lupa bahwa kita terlahir dengan budaya tersendiri, dan kekhasan kita ini sebenarnya juga pengen ditiru oleh orang lain yang budayanya berbeda.

Kamis, 27 November 2014

Kecampuran [Bagian 1]

Kalo kita berada dalam sebuah budaya yang bukan budaya asli kita, lambat laun kita akan ikut terlarut dalam budaya itu. Entah itu karena kita terlalu terbiasa, atau kita terlalu latah ngikut-ngikut. Tapi seringnya karena kita menganggap budaya orang lain itu begitu menarik untuk diikuti, entah karena alasan biar bisa menyatu dengan budaya itu, atau karena biar terlihat keren dalam lingkungan budaya kita sendiri.

Dulu pernah kejadian pas masa praktek industri di SMK. Beberapa bulan tersebar di berbagai kota, pulang-pulang teman-teman ini berkumpul dengan logat dan bahasa masing-masing. Ini yang membingungkan, mereka kehilangan logat bahasa Jawa halus a la Kediri sebagai bahasa ibu mereka, dan beralih ke logat bahasa Jawa aneh yang bukan asli Kedirinya. Nggak tau kenapa, tapi kalo aku sendiri yang ngalamin aku menganggap bahwa logat yang aku dapati selama praktek ini unik dan kalo ditirukan memperkaya bahasa yang aku pakai. Tapi justru akhirnya logat ‘luar’ itu mengacaukan kebahasaanku sehari-hari, sampai akhirnya lambat laun logat campuran itu hilang dan kembali ke bahasa percakapan asalku.

Ada lagi pengalaman waktu SD dulu. Di SD aku ikut tim drumband. Suatu ketika ada lomba drumband dalam Porseni se Kabupaten Kediri. Dan karena pelatih drumband di SDku juga melatih SD lain yang masih sekecamatan, maka kedua tim ini berlatih bersama di lapangan. Awalnya nggak ada masalah, semua lagu dimainkan sesuai dengan lagu yang kami latih selama ini. Selama latihan, kami bergantian dengan SD satunya untuk tampil di lapangan. Dan selama nonton latihan inilah pikiran kami seolah tercuci. Setelah agak lama, kami berangkat ke lapangan dengan lagu kami, dan pulang dengan lagunya mereka. Dan ternyata mereka pun sama kaya gitu.

Itu kalo kejadian karena sebentar tinggal di lingkungan baru. Kalo kejadiannya tinggalnya lama, bahkan bisa sampai sepanjang hidup, maka budaya yang itu bisa ‘merasuki’ kita. Dan lama-lama budaya asli kita bisa berganti pada budaya baru yang kita tinggali itu. Maka percampuran seperti ini mungkin bisa jadi cara kita membaur dengan budaya baru yang kita datangi, agar kita nggak terasa sebagai orang asing.

Nggak ada yang salah sih, dengan apa yang terjadi. Toh ibaratnya hal-hal baru yang kita temui pada akhirnya akan kita sesuaikan dengan keadaan kita, jadi berbaur dengan kehidupan kita keseharian. Kalo hal baru ini nggak bisa disesuaikan dengan kita, maka bisa jadi kita akan merasakan hal ini selalu menjadi hal yang baru bagi kehidupan kita.

Rabu, 26 November 2014

Hymne Guru

Kemaren tanggal 25 Nopember itu Hari Guru ya? Pantesan pas upacara bendera SMP sebelah rumah itu petugasnya guru-guru semua. Nggak tau juga kapan terakhir para guru ini jadi petugas upacara. Tapi ngomongin soal guru aku nggak bisa lupa pada semua guru-guruku dari mulai TK sampai SMK. Kalopun aku lupa berarti aku nggak ingat. Kemaren juga pas reuni akbar di SMP aku didatangin seorang guru, berjilbab, cantik, dia nyapa aku, ‘Yang lainnya ke mana?’. Ternyata beliau masih ingat aku, akunya yang lupa namanya. Setelah lama ngingat-ngingatnya baru ingat beliau dulu guruku pas kelas satu. Tadi beliau nanya teman-temanku yang lain pada ke mana, apa nggak datang apa gimana gitu.

Pas reuni itu juga ada seorang pembicara yang ngajak semua yang datang berdiri dan menyanyikan Hymne Guru. Sampai ada bapak-bapak di sebelah yang nangis-nangis. Nangisnya kirain karena terharu mengingat guru-guru beliau dulu, tapi ternyata karena beliau nggak hapal lagunya.

Tapi emang benar, guru itu pahlawan tanpa tanda jasa. Kita liat aja, para murid-muridnya ada yang jadi pembesar-pembesar, jadi presiden, jadi kepala kantor pendidikan, jadi jenderal, tapi gurunya tetap jadi guru. Kalopun naik pamornya ya mungkin jadi gurunya presiden, gurunya jenderal, tapi tetep yang utama jadi guru di sekolah. Pernah dulu guru SD-ku ada yang mengamanatkan, ‘Besok kalau sudah jadi orang gede dan kaya, jangan lupa gurunya lo ya anak-anak, jangan sampai kalau ketemu di jalan gurunya ditabrak pakai mobil pribadi’. Duh, kalo ingat guru ini rasanya jadi terharu dengan amanatnya itu.

Tapi sebenarnya mengajari orang lain nggak harus jadi guru juga. Dan tidak semua guru itu ngajar di sekolahan. Misalnya kita ngajarin anak kecil main kelereng, kita bisa jadi guru kelereng. Atau ngajarin main layangan, kita bisa jadi guru layangan. Dan karena pahala guru akan terus mengalir sebagai ilmu yang bermanfaat, jangan sampai kita ngajarin yang jahat-jahat. Misalnya kita ngajarin orang cara mencopet yang efektif dan efisien, kemudian kita jadi guru copet, pas kita mati nanti bukan pahala yang didapat, tapi dosa yang terus mengalir.

Sedih juga kalo ingat bahwa tidak semua guru itu dihargai dengan cara yang layak. Banyak guru yang sampai harus menuntut keadilan atas nasibnya dan perlakuan terhadapnya. Ada sekolah-sekolah tempat menuntut ilmu yang sampai kena korban penggusuran atau penyitaan. Meskipun sebenarnya menuntut ilmu itu nggak harus di sekolah, tapi yang namanya sekolah itu bisa jadi sarana dan alat untuk menyatukan antara para guru dengan muridnya, antar guru, dan antar murid sendiri. Kesan sekolah, selain tempat mencari ijasah, bisa lebih terhangatkan dengan nuansa yang disebarkan oleh para guru-gurunya pada setiap pelajaran yang disajikannya kepada murid-muridnya.

Mungkin kita sampai sekarang memilih guru-guru dengan nuansa humor sebagai guru favorit kita. Tapi nggak usah malu kalo bilang bahwa guru-guru yang galak adalah guru-guru yang paling kita ingat sampai sekarang. Contohnya aku nggak pernah lupa kalo aku pernah digampar guruku di SMK. Atau pas ulanganku dapat nilai jelek di SMP, SD asal sekolahku sebelumnya yang jadi sasaran guruku. Atau pula diusir dari kelas karena telat datang. Guru-guru yang bikin suasana menegangkan kaya gini emang nggak bisa kita lupakan.

Gimanapun, rasa terima kasih akan terus mengalir dari kita para murid-murid buat para guru-guru kita, di manapun kita berada dan di manapun mereka berada. Kita mungkin nggak ngerasa bahwa saat ini pelajaran-pelajaran mereka berguna untuk kehidupan sehari-hari kita, tapi dari mereka kita tau bahwa ada sesuatu hal yang mungkin sebelumnya sama sekali tidak pernah terlintas dalam pikiran kita.

Selasa, 25 November 2014

Gaya Penulisan

Pernah suatu ketika seorang teman bikin komen di sebuah tulisanku, kira-kira gini, ‘Wah, gaya tulisanmu berubah ya…’. Emang sih, waktu itu gaya tulisanku lagi berubah, lebih terasa nyantai kaya ngobrol sehari-hari gitu. Sebelumnya gaya bahasa di tulisanku kesannya serius banget, saking seriusnya mungkin orang-orang yang mau baca tulisanku itu sampai pake setelan resmi berdasi dan berjas gitu. Sebenarnya waktu itu aku pengen mengembangkan tema ke arah bahasan yang lebih santai dan nggak menegangkan gitu. Selain itu dengan gaya santai gitu ide yang didapat bisa lebih gampang dialirkan ke tulisannya.

Tapi emang tiap penulis itu beda-beda banget masing-masing gaya penulisannya. Ada yang gaya serius, gaya santai, gaya humor, gaya tutor, gaya bebas, gaya punggung, gaya kupu-kupu, dan lain sebagainya. Itu juga bergantung pada masing-masing bagaimana ide bisa dialirkan, termasuk bagaimana cara menyajikan inti dari tulisannya agar lebih mudah dibaca dan dipahami. Dan lagi selain itu juga bagaimana agar para penulisnya bisa menanamkan pola pikirnya kepada pembacanya tanpa terasa.

Mungkin yang pernah baca novel-novel dan beberapa kisah, bisa dilihat bahwa dengan bahasa deskriptif kita seolah diajak oleh penulisnya untuk membayangkan bahwa apa yang ditulisnya dalam kisah itu benar-benar kita alami dan berada di depan kita begitu nyata. Kita mungkin ada yang belum pernah mengunjungi desanya Ikal dan Laskar Pelangi, tapi dengan membaca buku-bukunya Andrea Hirata kita seolah punya gambaran gimana kehidupan di sana. Atau kita bisa mengalami ketegangan yang sama dengan Robert Langdon saat kita membaca buku-buku Dan Brown. Dan sebagainya dan sebagainya.

Atau saat kita membaca buku-buku humor, kita menemui beberapa fakta yang sebenernya terjadi dalam kehidupan sehari-hari, tapi penulisnya berhasil membuat kejadian yang sebetulnya remeh-temeh menjadi penuh tawa. Atau saat membaca artikel-artikel ilmiah kita bisa bereaksi ‘Oh, benar juga ya…’. Atau jenis-jenis bacaan yang lain, yang sebenarnya kita bisa menulis tanpa terpaku pada sebuah pola gaya penulisan tertentu. Justru dengan bereksplorasi dan bereksperimen dengan gaya penulisan yang lain kita mungkin akan menemukan keasyikan tersendiri, yang dengan semakin mencobanya kita bisa juga dengan mudah mengalirkan ide semudah saat kita memakai gaya kita sebelumnya.

Senin, 24 November 2014

Hujan-Hujan

Musim hujan gini emang enak hujan-hujan, apalagi kalo hujannya lagi turun. Ya iya lah, emang kalo nggak ada hujan gimana hujan-hujannya, pake slang air gitu? Itu sih bukan hujan-hujan, itu main air doang, hujan palsu! Main hujan-hujanan di masa kecilku sih nggak terlalu mengesankan, cuma main di seputaran rumah aja. Kalo nggak di depan rumah, ya di belakang rumah, kalo nggak di kiri atau di kanan rumah. Ya di daerah-daerah situ aja. Maklum sih, depan rumahku kan langsung jalan raya, jadi nggak punya pelataran buat main hujan-hujanan yang representatif.

Tapi pernah punya pengalaman hujan-hujanan yang paling mengesankan, yaitu waktu hujan-hujanan di sekolah. Waktu itu pas SD kan masuk siang, ini pas pelajaran olahraga. Nggak tau lupa gimana awalnya, pelajaran olahraga waktu itu ditiadakan. Mungkin karena hujan juga sehingga pelajaran olahraga nggak bisa diselenggarain. Jadi buat ngisi pelajaran olahraga, yang kebetulan waktu itu juga jadi pelajaran terakhir di hari itu, kita memanfaatkan hujan yang udah turun, daripada kebuang sia-sia hujan turunnya. Pake baju olahraga, semua anak-anak sekelas khususnya yang cowok-cowok main di halaman sekolah. Main lari-larian, guling-guling, dan lain sebagainya asal basah kena air hujan. Itu pengalaman kehujanan yang disengaja yang buatku paling mengesankan.

Pas sekolah SMK sebenernya jarang sih hujan-hujan. Yang ada juga kehujanan pas pulang sekolah. Kan ke sekolah pake sepeda, jadi pas hujan kalo lagi males berteduh ya udah pasti kena hujan-hujan deh. Pernah sampe saking derasnya hujan turun dan aku nekad terus jalan, rasanya kaya tenggelam di kolam renang, megap-megap! Kalo udah gitu langsung aja cari tempat berteduh dan istirahat sejenak.

Kalo kehujanan sih sampai sekarang juga masih sering. Penyebab utamanya sering kalo nggak malas berteduh ya malas pake jas hujan. Kalo malas berteduh itu macem-macem sebabnya, kalo nggak pas berada di tengah sawah yang nggak ada teduh-teduhnya, juga karena tempat berteduh di teras rumah orang udah penuh dengan orang berteduh. Kalo gini kan percuma juga ikut berteduh tapi nggak dapat tempat buat berteduh. Mau berteduh di masjid atau mushola terdekat juga sungkan, soalnya masjid atau musholanya jauh nggak ada yang terdekat.

Kalo yang malas pake jas hujan itu biasanya tujuannya udah deket tapi hujannya udah nggak ketahan. Misalnya jarak rumah tinggal satu kilometer aja tapi hujannya keburu turun. Atau kalo nggak gitu lagi sayang banget sama jas hujan, sayang jas hujannya baru tapi udah kena basah-basahan, kan tar kalo kena air garansinya bisa hilang.

Tapi kalo dibilang jalanan itu bahaya kalo pas hujan, itu nggak sepenuhnya benar juga. Biasanya kalo airnya menggenang kan kesannya jalanan jadi licin. Sebenernya lebih bahaya itu kalo air yang pas menggenang membawa tanah ke aspal, terus pas airnya surut tanahnya nggak ikut turun. Itu bisa lebih licin daripada air hujan yang sebelumnya. Kalo air lebih bersifat bikin jalanan kesat, beda kalo tanah gitu. Pernah kejadian pas lewat sebuah jalan setelah hujannya reda, tiba-tiba motor selip nggak tau kenapa. Pas abis jatuh aku lihat jalanan tempat aku selip itu banyak tanah dan kerikil-kerikil kecil di situ, dan itu yang bikin jalan licin.

Yang terpenting, tetap nikmati aja hujan, apapun dan gimanapun keadaannya kita pas lagi turunnya. Karena hujan nggak turun sepanjang tahun, kita nggak pernah tau kapan lagi bisa dapat menikmati turunnya hujan.

Rabu, 05 November 2014

Nyamuk dan Arwah

Tidur di malam hari pada saat udara gerah itu adalah dilema tersendiri. Di satu sisi udara gerah itu bikin kita males tidur pake selimut, tapi di sisi lain nyamuk-nyamuk pasti datang. Kan nyamuk juga lebih suka menghisap darah orang kalo pas udaranya lagi panas gitu. Kalo udah gitu pasti butuh perangkat tambahan, entah itu obat nyamuk buat ngusir nyamuknya (bukan buat ngobatin nyamuknya), atau kipas angin buat ngusir anginnya (maksudnya udara gerahnya).

Ada kan teka-teki konyol soal nyamuk dan lalat. ‘Eh, kenapa nyamuk badannya lebih kecil daripada lalat?’ ‘Karena nyamuk suka begadang daripada lalat, kan keluarnya pas malam’. Tapi emang sih dulunya nama nyamuk dalam bahasa Inggris itu kan kalo nggak salah asal-usulnya juga berarti ‘lalat kecil’, berasal dari bahasa dari daerah Iberia sana.

Tapi kadang-kadang juga suara mendengung di malam hari itu bikin curiga. Curiganya jangan-jangan yang bikin suara mendengung itu bukan nyamuk, tapi itu hantunya nyamuk yang aku bunuh di malam sebelumnya. Kan sering di film-film gitu kalo ada orang dibunuh maka arwahnya jadi hantu terus membalas dendamnya sendiri kepada yang bunuh dia. Ini sebenarnya diskriminasi, maksudnya peraturan bahwa menjadi hantu itu orang harus mati dulu dan menjadi arwah jadi bikin orang hidup nggak bisa jadi hantu. Ada sih yang jadi hantu, tapi cuma jadi-jadian buat nakutin orang lain.

Dan lagi kalo arwah ini tidak tenang gara-garanya belum bisa membalas dendamnya bisa bikin alam arwah kacau. Bisa jadi arwah ini jadi galau, merusak alam arwah, atau kalo galaunya udah tingkat tinggi dia akan bunuh diri. Ini kalo dia mati bunuh diri, maka arwah ini bisa jadi mengalami mati yang kedua kalinya. Ini kan jadi kacau lagi, kalo arwah yang keduanya kemudian gentayangan mengganggu alam arwah, sedangkan arwah pertamanya masih gentayangan di dunia manusia.

Eh, kok jadi ngomongin arwah orang sih, kan tadi ngebahas nyamuk. Kembali pada fakta bahwa hanya nyamuk betina aja menghisap darah manusia. Ini kira-kira kerjaan nyamuk jantannya kenapa ya, padahal harusnya dia yang mencarikan nafkah bagi keluarganya. Apa mungkin si nyamuk jantan ini nungguin telur-telur nyamuknya sampai mereka jadi jentik-jentik di bak kamar mandi gitu, sambil kalo lagi iseng mereka menghisap darah manusia yang lagi mandi. Ini sebenernya iseng sih, tapi tetep aja jadinya bentol-bentol kulit manusianya.

Tapi gimanapun nyamuk itu adalah salah satu makhluk yang ajaib lo! Dia bisa digolongkan sebagai serangga, tapi seperti beberapa serangga lainnya, dia hidup di dua alam. Sebelum jadi nyamuk kan dia jadi jentik-jentik dulu, dan hidupnya di air. Pas dia berubah jadi nyamuk, dia menjelma jadi makhluk udara, dia harus keluar dari air tanpa kontak dengan air. Ini kan kalo kita mikir, gimana bisa dia yang tinggalnya di air, pas jadi nyamuk dia harus bisa keluar dari air tanpa nyentuh air. Kalo nggak ajaib banget prosesnya, itu adalah anugerah! Anugerah bagi kehidupannya di kemudian hari, sampai akhirnya dia mati pas kita tepuk.

Selama ini nyamuk sering difitnah, karena dia dibilang menggigit manusia. Padahal sebenernya dia itu menghisap, bukan menggigit. Apa kita nggak mikir perasaan nyamuk kalo terus-terusan difitnah, kan tar dia bisa galau, depresi, terus bunuh diri. Tar kalo dia gentayangan gimana, bisa-bisa jentik-jentik nyamuk pada takut keluar malam.

Di balik itu semua, tetap aja menyebalkan kalo pas dihisap darahnya sama nyamuk. Pengen bales menghisap darah dia, tapi bingung caranya. Ya udah didiemin aja kan akhirnya. Jadinya kita yang harus punya stok darah yang banyak.

Selasa, 04 November 2014

Penggemar Tim Sepakbola

Seseorang belum bisa dikatakan penggemar sebuah tim sepakbola jika dia tidak mendukung saat timnya mengalami kekalahan. Bisa aja kan pas tim yang dia gemari kalah berkali-kali terus dia nggak mendukung lagi timnya, itu berarti dia tidak menggemari tim tersebut, tapi dia menggemari kemenangan tim tersebut.

Yang namanya penggemar dia akan mendukung tim tersebut, apapun keadaan timnya. Mau timnya menang, seri, kalah, juara, terdegradasi, atau bangkrut, tetap dia dukung. Ini sebenarnya bukan fanatik ya. Kalo fanatik itu gimanapun timnya akan dia dukung, tapi kemudian muncul pemikiran bahwa timnya itu yang terbaik sekolong jagad ini, jadi tim-tim lain itu jelek dan layak dijelek-jelekkan. Fanatik lain yang lebih absurd  adalah bahwa tidak ada tim lain selain tim yang didukungnya. Ini absurdnya adalah kalo nggak ada tim lain selain timnya, gimana bisa timnya disebut terbaik. Bilang aja kalo timnya itu forever alone deh!

Makanya ada ungkapan bahwa lover adalah hater yang tertunda. Maksudnya adalah kalo kadar cintanya itu udah lebay alias berlebihan terhadap sebuah tim, dan dia membenci tim lain selain timnya, maka dia adalah hater tim lain dan dia ini fanatik sejati. Ada lagi ungkapan hater adalah lover yang tertunda. Maksud yang ini adalah biasanya yang mengetahui kelemahan dan kekurangan kita serta mau mengungkapkannya adalah mereka yang membenci kita. Yang cinta kita biasanya malah menutupi itu dan menonjolkan kelebihan dan kekuatan kita. Malah bisa dibilang hater itu yang lebih memperhatikan kita, sehingga haterlah yang sebenarnya lebih tau detail tentang kita.

Kembali ke masalah tim sepakbola tadi ya, sebenarnya bingung juga ada orang-orang Indonesia yang nekad saling mengolok-olok karena tim yang didukungnya. Sering tuh dijumpai di situs-situs berita olahraga, sepakbola terutama. Kalo ada sebuah tim yang bertanding dan preview-reviewnya dimuat di situ, pasti ada deh pendukung tim itu yang ngasih komen ke situ, itu wajar! Tapi kalo ternyata ada para pendukung tim lain ikut nimbrung di situ, itu ngapain? Terutama kalo si hater ini ngejelek-jelekin tim ini, padahal tim ini lagi main bagus banget. Pasti tujuannya apa lagi kalo bukan mencari detail tim ini, terutama kelemahannya. Tar dia ngungkapin kelemahan tim ini, dengan lebaynya dan ditambah fakta-fakta yang mungkin dibuat-buat, misalnya, tapi malah dari komen ini kita tau kalo ada sesuatu yang perlu diperbaiki dari tim ini.

Tapi gini ya, sebesar-besar cinta dan dukungannya kita, orang Indonesia ini, buat Barcelona, Real Madrid, Manchester United, Chelsea, Manchester City, atau klub-klub sepakbola di Eropa sana, tetap aja kita ini orang Indonesia. Nggak ada bagus-bagusnya kita bangga-banggaan tim kesayangan, sampai bertengkar gara-gara ngunggulin masing-masing tim kegemaran kita ini. Pernah baca di forum ada pendukung dari dua tim yang bertengkar sampai ngajak berantem segala, demi apa? Toh tim yang mereka dukung, di Eropa sana, nggak tau kalo mereka berantem. Lagian kalo mereka tau, nggak ada pengaruhnya buat mereka. Bagi para klub ini, terutama tim dan pemainnya, berjuang di lapangan itu lebih baik dan lebih menghasilkan daripada pendukungnya koar-koar dan berantem nun jauh di sini, di pelosok Asia ini.

Jadi pendukung dan penggemar itu sebenarnya nggak ada salahnya, cuma liat kadarnya juga. Kalo jadi fanatik buta, mikir juga apa sih yang kita dapatkan dari itu. Toh tim yang kita dukung juga nggak ngasih kita apa-apa secara riilnya. Kita mungkin hanyalah satu dari sejuta. Mereka mungkin butuh pendukungnya seperti kita-kita ini, tapi kita tanpa perlu mendukung mereka pun, mereka tetap terkenal di manapun juga.

Senin, 03 November 2014

Sawang Sinawang

Roda belakang motor nggak akan bisa mengejar dan menyalip roda depannya. Kalopun dia bisa, dia bukan lagi disebut roda belakang, tapi menjadi roda depan. Tapi roda belakang itu nggak kalah kerennya kalo dibanding roda depan. Roda depan emang udah takdirnya eksis, letaknya di depan. Tapi rantai motor itu nggak dipasangkan untuk roda depan, tapi roda belakang. Sehingga kalo mesin motor nyala dan berputar, maka yang berputar dan punya tenaga itu roda belakang, roda depan hanya mengikuti aja.

Tapi roda depan itu juga penting, selain menampakkan keeksisannya. Dengan menggunakan roda depan kita berbelok-belok sesuai dengan kondisi jalanan. Dia nggak punya tenaga dari motor, tapi dia mengendalikan arah sehingga roda belakang ngikut dia. Yang lebih penting lagi adalah, untung roda itu bentuknya bulat, kalo kotak bisa bahaya soalnya jalannya jadi nggak lancar.

Sebenarnya itu adalah analogi dari bahwa setiap bagian yang ada dari motor itu punya peran dan fungsi masing-masing. Kalo nggak ada fungsinya, ngapain dipasang di situ. Misalnya biar keren motor dikasih rice cooker gitu, tapi masak mau bikin nasi aja harus punya motor. Kalo dalam kehidupan manusia, masing-masing manusia itu punya peran dan fungsi masing-masing. Dan terutama adalah masing-masing manusia punya pekerjaan masing-masing. Kalo aku bilang nggak ada pekerjaan di dunia ini yang mudah. Semua pekerjaan punya kesulitan dan resiko masing-masing. Nggak bisa supir bilang kalo jadi kernet itu lebih gampang daripada dia. Atau ada pedagang yang bilang kalo jadi preman itu lebih gampang. Jadi preman itu juga nggak gampang lo, harus punya gen dasar sebagai preman. Gen dasarnya preman itu kan kasar, garang, berani, tangguh, dan nggak berbelas kasihan. Jadi orang yang bergen dasar lemah lembut kan nggak pantas jadi preman ya.

Balik lagi ke pekerjaan tadi ya, terkait dengan peran dan fungsi masing-masing tadi, ada pengalamanku waktu kerja di pabrik. Dulu aku pernah kerja di pabrik gula. Tugasku adalah mengirimkan zak dari gudang ke pengemasan. Dari sini mungkin kesannya gampang banget kerjaku ya. Tiap harinya rata-rata kebutuhan zak di pengemasan sekitar sepuluh ribu sampai dua puluh ribuan, kalo produksinya lancar. Dalam sekali angkutan, tergantung dengan kebutuhan permintaan, bisa mengangkut sekitar lima ribu sampai delapan ribuan.

Bentuk zak yang aku kirimkan itu lembaran yang dilipat jadi empat, kemudian dibendel dengan masing-masing bendel berisi dua puluh zak. Sedangkan untuk distribusinya aku pakai gerobak dengan jumlah tenaga tiga orang. Orang kalo ngeliat kami pas lewat ngangkut zak-zak itu pakai gerobak itu mungkin bilang gampang banget zak cuma ditumpuk-tumpuk, diangkut gerobak, terus diarak rame-rame tiga orang. Tapi kalo orang tau, bikin tumpukan zak itu nggak gampang, asal ditumpuk-tumpuk di gerobak gitu. Ada pola-pola agar zak-zak itu nggak ambruk di tengah jalan pas lewat jalan yang sulit. Kalo nggak menurut pola itu, bisa-bisa zak-zak itu nggak kuat karena nggak bisa mengunci satu sama lain agar nggak ambruk. Dan yang tau pola seperti itu ya orang-orang yang setiap hari ngerjain kerjaan itu.

Intinya adalah manusia seperti kita ini lebih sering saling memandang, istilah Jawanya sawang sinawang, melihat orang lain dan merasa orang lain itu lebih gampang kerjaannya daripada kita. Padahal orang yang kita lihat itu tadi juga ngeliat kita dan merasa kita kerjanya gampang. Banyak dari kita sebagai manusia menganggap bahwa apa yang dimiliki orang lain itu lebih berharga daripada apa yang kita miliki. Tapi kita belum tau bahwa sebenarnya apa yang kita miliki itu lebih berharga daripada apapun.

Minggu, 02 November 2014

Asal Mula Angka 5 di chuin5

Mungkin ada yang belum tahu kenapa blog ini diberi nama chuin5 dan kenapa angka 5 yang dipakai sebagai namanya. Sebenernya dulu udah pernah sih aku bikin penjelasannya, tapi karena terlalu lamanya posting tulisan itu sehingga mungkin ada yang belum tahu. Jadi gini ceritanya, menurutku angka 5 itu adalah angka yang sempurna. Bukti kalo angka 5 adalah angka yang sempurna adalah sampai sekarang nggak ada revisinya. Bisa aja kan misalnya para ahli alfabetikal itu menganggap bahwa angka 5 itu kurang unyu, sehingga perlu diganti bentuknya jadi lebih imut lagi. Atau penyebutan kata ‘lima’ untuk memanggil abjad 5 itu kurang keren dan ketinggalan jaman, sehingga diganti menjadi ‘limbad’. Tapi kan nggak, sekarang kan yang namanya 5 itu bentuknya ya gitu-gitu aja, penyebutannya juga tetap ‘lima’. Jadi angka 5 itu bisa disebut udah sempurna.

Lagian sebenarnya penyebutan ‘lima’ itu juga unik. Coba aja yang lain, disebutnya ‘satu’, ‘dua’, ‘tiga’, gitu. Tapi yang ini, bentuknya 5, nyebutnya ‘lima’. Menurut Fico Fahriza (@ficocacola), jangan-jangan penyebutan ‘lima’ itu ketukar dengan penyebutan ‘empat’. Soalnya ‘empat’ kan jumlah hurufnya ada 5, sedangkan ‘lima’ jumlah hurufnya ada 4.

Sebenarnya alasan di atas itu termasuk alasan yang ngaco, tapi nggak apa-apa lah disebutin di sini, sebagai pembuka tulisan ini. Jadi kenapa aku memilih angka 5 itu karena banyak faktor. Liat aja, jari kita masing-masing tangannya jumlahnya 5, rukun Islam ada 5, dan kalo ada 5 orang ngumpul mereka bisa bikin lanang band atau wadon band (boyband girlband versi Jawa). Ngomongin tentang lanang band (lebih tepatnya disebut vokal grup aja), angka 5 ini juga ada hubungannya. Dulu pas format vokal grup lagi naik daun di sekitaran tahun 90an akhir, ada grup vokal bernama Five dari Inggris. Nah aku ngefans tuh dari pertama kemunculannya sampai sekarang. Jadi, karena Five itu artinya 5 (‘five’, jumlah hurufnya 4, tapi nyebutnya tetep 5), jadinya dipasang angka itu sejak dari blog pertamaku dulu sampai beberapa blog yang sekarang menjadi blog-blog indukku.

Udah gitu aja.

Sabtu, 01 November 2014

Tanya Dilema

Suatu pagi, di tengah-tengah pekerjaan, tiba-tiba ponselku berbunyi. Ada pesan di Facebook Messenger dari seorang temanku.

‘Chuin, nggak kerja ya?’
‘Kerja, ini lagi di kantor.’
‘Kerja kok OL aja?’
‘La ini kan pake HP, kan bisa keliatan OL terus.’


Terus terang, pesan kaya gini ini bisa bikin dilema tersendiri. Gimana nggak, kan dia duluan yang kirim pesan. Kalo nggak aku balas tar aku bisa dibilang sombong. Tapi begitu aku balas aku malah dibilang OL pas kerja. Jangan-jangan kalo tar Facebook Messengerku nggak aktif aku bisa dibilang antisosial juga. Padahal tadi kan awalnya karena temenku kirim pesan. Karena ada pesan jadi aku buka. Karena aku buka jadi aku balas. Dan karena aku balas pesan aku jadi OL. Jadi sebenernya kalo temenku nggak kirim pesan aku kan nggak OL.

Nggak enak emang kalo kita digolong-golongkan pada kriteria yang nggak kita banget, kaya itu tadi. Kalo nggak sombong, ya OL pas kerja, atau kalo nggak kedua-duanya berarti antisosial. Ini seolah-seolah menggeneralisir orang yang dia aja nggak tau dan nggak ngeliat sendiri gimana orangnya. Sama kaya menilai seseorang itu sombong karena dia pendiam. Atau seseorang itu otoriter karena dia administratur.

Sebenernya kalimat dari temanku tadi bersifat kalimat tanya ya, tapi gimanapun kalimat tanyanya, itu bukan kalimat konfirmasi yang punya pilihan jawaban ‘ya’ dan ‘tidak’, tapi lebih bersifat kalimat tanya yang diawali dengan ‘tuduhan’.

Jumat, 31 Oktober 2014

Seperti Nemo

Ada satu film yang bagiku aneh banget, yaitu Finding Nemo. Inti ceritanya kan ada seekor ayah ikan yang mencari anaknya. Yang aneh itu ternyata ikan ini bisa ngomong. Padahal kalopun ikan bisa ngomong, kan ikan ini ada di dalam air. Coba kita aja yang ngomong di dalam air, kedengeran nggak sama temen kita yang ada di deket kita. Kalopun omongan kita jelas, bisa nggak temen kita denger omongan kita, kan kupingnya kemasukan air.

La kalo si Nemo tadi sebagai ikan sejati pengen ngobrol pasti mereka punya bahasa sendiri. Kalo dengan ngomong nggak jelas kedengeran, bisa pake bahasa isyarat. Tapi masalahnya, sirip mereka kan pendek, lalu gimana bikin bahasa isyarat yang berbeda untuk setiap kata yang ada di dunia ini kalo gerakan mereka sangat terbatas? Ini pasti banyak kata yang sama buat sebuah gerakan. Lagian spesies ikan itu juga banyak, tapi kalo saling ngobrol mereka bisa saling ngerti satu sama lain spesies. Ini pasti karena nenek moyang ikan itu adalah seorang motivator ulung, di mana dia memotivasi semua ikan untuk menggunakan satu bahasa persatuan yang sama biar sama-sama dimengerti biarpun ada ikan paus ngomong sama ikan teri.

Kita bisa bilang ‘Ah, itu kan cuma film!’. Tapi pernah nyadar nggak, sekhayal-khayalnya film, kita bisa ngebahas film tersebut dengan serius sama teman-teman kita. Padahal dalam lubuk hati yang paling dalam kita tau bahwa itu film, ceritanya karangan, dan adegannya buatan, banyak efek-efek di dalamnya. Tapi karena cerita film, kita bisa marahan sama temen kita. Adegannya bisa mempengaruhi kehidupan kita sehari-hari. Film pertama kali yang aku tonton di bioskop adalah Tutur Tinular, sekitar tahun 1989. Setelah nonton itu aku jadi bercita-cita menjadi Arya Kamandanu, sampai akhirnya aku nonton Power Rangers.

Ada lagi misalnya gini, kita tau bahwa dalam film horor hantu-hantunya itu buatan, ada yang memerankan. Kita bisa bilang bahwa film horor itu sebenarnya nggak horor, malah film horor sekarang itu adalah film semi porno yang disamarkan. Tapi kalo liat film horor kita bisa ngeri juga, abis nonton kita nggak bisa tidur, nggak berani jalan di jalanan sepi gelap sendiri, dan lain sebagainya. Padahal pola pikir kita di depan tadi kan ini hantu jadi-jadian, bahkan sebelum nonton filmnya kita udah ngeliat trailer di balik layar film itu. Tapi masih aja ada rasa ngerinya.

Efek-efek spesial di film Hollywood juga keren-keren! Pas nonton kita seolah-olah ngerasa itu beneran terjadi. Film ‘2012’ misalnya, rasanya beneran dunia akan dapat bencana besar, padahal kita tau itu cuma film. Kalo nonton film India rasanya kita ikut terbuai dalam lagu dan tarinya, padahal sebelumnya kita bilang kalo film Bollywood itu lebay. Itu berarti bahwa dari sebuah film kita seolah diajak masuk ke dalam alur cerita film itu dan merasakan bahwa segala hal yang ada di dalam film tadi nyata.

Seperti film Finding Nemo tadi, kalo kita yang nonton mungkin kita lagi-lagi bilang ‘Ah, itu kan cuma film!’. Tapi kalo anak kecil abis nontonnya, dia pasti pengen beli ikan kaya Nemo terus berharap dia bisa ngomong atau bisa meloloskan diri dari akuariumnya. Kita lagi-lagi bisa bilang ‘Ah, itu kan cuma anak kecil!’. Tapi kalo ternyata kita masih ngeri abis nonton film horor, siapa sekarang yang jadi anak kecil?

Kamis, 30 Oktober 2014

Pakai Bahasa Indonesia

Dari sejak blog pertamaku aku selalu pengen mempertahankan ke-Indonesiaanku, khususnya dalam penggunaan bahasa Indonesia di setiap tulisan blogku. Bukan karena aku nggak bisa bahasa Mandarin, Jepang, Korea, atau India, bukan! Tapi sebenarnya emang nggak bisa sih, tapi bukan itu maksudnya. Tapi intinya gini, gimanapun kita ini (terutama aku) adalah orang Indonesia, yang mengaku punya bahasa sendiri, dan pernah ada yang bersumpah pula kalo bahasa ini harus dijunjung tinggi. Kalo kita punya bahasa sendiri, ngapain ngikutin bahasanya orang lain?

Bukan berarti aku anti dengan bahasa asing ya, buktinya dulu nilai ujian bahasa Inggrisku bagus (menurutku sih). Nilai bahasa Fisikaku aja yang nggak bagus-bagus amat. Tapi pada dasarnya, kalo bukan orangnya sendiri siapa yang mau pake dan melestarikan bahasa Indonesia ini? Maka aku sering heran sama orang-orang yang ngakunya cinta Indonesia tapi mengungkapkannya pake bahasa asing. Cinta Indonesia, tapi kenapa nggak cinta sama bahasanya?

Aslinya yang namanya kata-kata, di dalam bahasa Indonesia juga udah bisa mewakili semua perasaan yang tertulis dalam bahasa Inggris. Kalaupun ada kata serapan, itu udah di-Indonesiakan sama ahli-ahli bahasa di kalangan atas sana. Jadi nggak ada alasan buat bilang bahwa bahasa Indonesia itu kuno dibandingkan bahasa Afrika kuno, misalkan. Meskipun masih aja kata-kata serapan itu terasa nggak pantes kalo dipakai dalam kehidupan sehari-hari. Sampai saat ini aku masih bingung dengan apa yang dimaksud oleh kata-kata daring, luring, atau yang kata lebih umum lagi semisal tetikus, ataupun unduh, unggah, dan sebagainya. Entah apa nggak ada kata lain yang bisa mewakili itu, tapi ya udahlah, kata-kata itu juga udah masuk dalam sistem perkomputeran berbahasa Indonesia.

Kalo ngomongin transliterasi bahasa Indonesia dari bahasa Inggris, kita bisa sedikit berterima kasih sama Google Translate. Sedikit aja, karena banyak kata yang ternyata nggak ditemukan di situ. Belum lagi alih bahasanya yang sangat harfiah banget. Dengan ini, harusnya kita bisa protes ke Google Translate soal ketidakakuratan alih bahasa ini. Tapi khawatirnya, kalo kita protesnya pake bahasa Indonesia, mereka baca protes kita pake transletan dari Google Translate itu tadi. Kan jadinya kandungan protes kita nggak nyampe ke mereka lagi.

Kembali ke tulisan blog berbahasa Indonesia nih, karena mempertahankan ke-Indonesiaan tadi maka sebisa mungkin aku menguasai kata-kata serapan dan alih bahasa yang tepat untuk istilah-istilah berbahasa asing untuk dituliskan ke dalam blog. Jadi nggak lagi aku pake istilah seperti ‘download’ untuk dimasukkan ke dalam tulisan, tapi karena aku juga kurang sreg dengan kata ‘unduh’, maka aku pake aja kata donlot yang udah terkenal dalam percakapan sehari-hari. Kurang tepat sih, tapi karena aku pengen mempertahankan ke-Indonesiaan tadi namun aku juga pengen biar yang baca blog ini ngerti (itupun kalo ada yang baca), makanya pake istilah yang santai aja, namanya juga blog ini santai.

Akhir kata, pakailah bahasa Indonesia untuk hal-hal di dalam Indonesia ini. Bukan berarti aku nggak berambisi biar blogku ini dibaca oleh orang-orang di Antartika sana, tapi lebih kepada kalo mereka yang di Antartika itu baca blog ini dan mereka nggak ngerti bahasanya, mereka bisa pake Google Translate dan mereka akan semakin tersesat! Bukan itu sih, maksudnya agar orang-orang di luar negeri sana yang mau baca blog ini, makanya belajar dong bahasa Indonesia. Udah gitu aja…

Daftar Blog Saya