Tanya Dilema

Suatu pagi, di tengah-tengah pekerjaan, tiba-tiba ponselku berbunyi. Ada pesan di Facebook Messenger dari seorang temanku.

Seperti Nemo

Ada satu film yang bagiku aneh banget, yaitu Finding Nemo. Inti ceritanya kan ada seekor ayah ikan yang mencari anaknya. Yang aneh itu ternyata ikan ini bisa ngomong. Padahal kalopun ikan bisa ngomong, kan ikan ini ada di dalam air. Coba kita aja yang ngomong di dalam air, kedengeran nggak sama temen kita yang ada di deket kita.

Pakai Bahasa Indonesia

Dari sejak blog pertamaku aku selalu pengen mempertahankan ke-Indonesiaanku, khususnya dalam penggunaan bahasa Indonesia di setiap tulisan blogku. Bukan karena aku nggak bisa bahasa Mandarin, Jepang, Korea, atau India, bukan! Tapi sebenarnya emang nggak bisa sih, tapi bukan itu maksudnya.

Hobi

Hobiku adalah membaca. Aku mendapatkannya dari sebuah majalah anak-anak. Jadi gini awal ceritanya, waktu itu ibuku mengirimkan foto dan dataku ke sebuah rubrik koresponden di majalah anak-anak itu. Dan di bagian hobinya, ibuku menuliskan kalo hobiku adalah membaca.

Power Bank

Di jaman gadget seperti sekarang ini, keberadaan smartphone menjadi bagian kehidupan bagi beberapa orang. Tapi di balik kecanggihan dan segala kelebihannya, ada salah satu sisi di mana smartphone justru lebih boros dalam pemakaian daya baterainya.

Rabu, 22 Januari 2014

Fasilitas Umum

Ngomongin soal fasilitas umum, pernah nggak anda menemukan fasilitas umum di Indonesia ini yang bersih, terawat, dan berfungsi dengan baik? Jarang sekali kita dapat fasilitas yang kondisinya seperti ini. Bisa jadi bersih, terawat, tapi rusak. Atau terawat dan berfungsi dengan baik, tapi jorok banget.

Kita dihadapkan pada kenyataan bahwa masyarakat kita sedikit sekali mempunyai kesadaran akan rasa memiliki terhadap fasilitas umum, dengan menjaga dan memperlakukan fasilitas umum seperti milik sendiri yang harus selalu bersih, terawat, dan berfungsi dengan baik. Kalaupun ada yang punya rasa memiliki mungkin terus dicongkel dan dibawa pulang atau dijual.

Contohnya nih, telepon umum. Sekarang sih emang udah jarang ya telepon umum, tapi yang ABG tahun ‘90an pasti akrab banget sama barang yang satu ini. Telepon umum dulu biasanya ada yang jenis ‘akuarium’, yang kayak lemari kaca terus kita masuk ke dalamnya. Atau model tiang dengan tempat payungan berbahan fiber di atasnya. Tapi pernah nggak setelah sekian lama telepon umum tersebut berada di tempat itu, kita nemuin telepon umum yang kondisinya sama seperti pertama kali dipasang? Masih untung teleponnya bisa dipake dengan nyaman, tanpa melihat tempatnya.

Contoh lagi halte bis. Di depan rumahku ada halte bis yang lumayan rame, nggak hanya buat nyegat bis, tapi juga buat nongkrong dan jualan. Tapi ya sama saja, kondisinya nggak sedap dipandang. Halte ini udah beberapa kali ganti desain. Dulu pernah modelnya bagian bawahnya seperti semacam pondasi yang menonjol ke atas sebagai tempat duduk, terus kedua tepinya ada tiang besi ke atas yang menyangga atapnya. Di sela-sela tiang itu ada pipa paralon yang berfungsi sebagai saluran air yang mengalirkan air hujan dari atap ke bawah. Nggak seberapa lama dari selesainya desain yang ini, pipa paralon itu udah pecah, dari atap sampai tempat dudukannya.

Yang model sekarang ini sebenarnya cukup bagus. Tapi sayangnya, kondisinya udah penuh coretan di mana-mana. Jadi curiga nih, jangan-jangan ada seseorang yang bikin nyoretan pada awalnya, terus ada orang lagi yang ngejawab di bawahnya, dan seterusnya. Jadi kayak dialog tanya jawab gitu, tapi di dinding halte sampai atapnya. Fungsi haltenya, ya itu tadi. Jadi tempat nyegat bis, nongkrong, dan jualan.

Apalagi WC umum! Pintu WC umum yang utuh dan berfungsi sempurna itu adalah sebuah kemewahan tersendiri! Memang biasanya itu yang sering paling cepat rusak dari sebuah WC umum, di samping baunya yang khas. Dan fasilitas terakhir yang bisa berfungsi dari sebuah WC umum adalah kran air, mengesampingkan bisa nggaknya airnya keluar.

Dan masih banyak lagi contoh yang lainnya. Intinya adalah fasilitas umum itu adalah milik umum, bukan milik pemerintah, bukan milik lembaga tertentu, atau yang lainnya, karena fasilitas umum digunakan untuk memenuhi hajat hidup orang banyak. Kita nggak bisa mengesampingkan bahwa orang lain juga akan menggunakan fasilitas tersebut. Tapi apa yang terjadi kemudian muncul rasa memiliki yang nggak wajar, yang berlebihan, sehingga seolah kita menganggap bahwa kita saja yang menggunakan fasilitas tersebut, nggak peduli apakah fasilitas tersebut akan berfungsi baik bila dipakai orang lain. Dan kalau fasilitas itu kemudian rusak, kita lebih suka menyalahkan pemerintah atau pengelola fasilitas tersebut daripada menyalahkan kita yang notabene penggunanya.

Jadi kita perlu memperbaiki rasa memiliki kita dengan kadar yang sesuai dengan tempatnya. Kita harus kembali menanamkan pada pikiran kita bahwa fasilitas umum itu ya fasilitas yang digunakan untuk umum, bukan hanya untuk umum yang orang lain saja, tapi suatu saat kita juga akan menggunakannya. Sehingga saat suatu ketika kita menggunakannya, kita akan merasakan nyamannya menggunakan fasilitas umum yang bersih, terawat, dan berfungsi dengan baik.

Selasa, 21 Januari 2014

Pemilihan Kepala Desa

Pagi hari, menjelang berangkat ke lapangan untuk melaksanakan pemilihan kepala desa, terjadi dialog antara aku dan ibuku.

‘Kalau milih xxxx, kita khianat apa nggak ya?’, tanya ibuku.

‘Kalo nggak janji ya nggak khianat.’

‘Tapi pas ngasih uang kan dimintai bantuannya, kita mengiyakan.’

Gimana ya, negara ini memprogramkan penghapusan politik uang, tapi pas momen kaya gini, sudah menjadi hal yang umum, selalu saja ada sistem bagi-bagi uang setiap mau pilihan kepala desa. Dan pasti yang satu nggak mau kalah dengan yang lain. Kalo yang satu ngasih, yang lain ikutan ngasih. Yang satu ngasih lima puluh ribu, yang lain berani ngasih lebih. Dan begitu seterusnya.

Dan kalo dengar cerita-cerita dari teman-teman yang lain desa, sistem seperti itu juga terjadi, dan selalu terjadi juga. Selalu ada celah bagi para calon kepala desa buat ‘menyenangkan’ para calon pemilih. Kalo nggak lewat cara bagi-bagi uang ya pake cara lain yang sekiranya cocok dan menyamankan para calon pemilih. Dan karena hal ini sudah menjadi ‘tradisi’, mau nggak pake cara seperti itu juga nggak lengkap.

Lalu apa itu menjadi kesalahan para calon kepala desa dan tim suksesnya? Nggak sepenuhnya, karena di sisi lain masyarakat juga senang-senang aja dengan praktek politik seperti ini. Diperluas lagi, nggak hanya dalam pilihan kepala desa saja, tapi pemilihan-pemilihan yang lain. Kalo nggak dikasih malah masyarakat sering mencibir dan menjauhi calon yang dinilai ‘pelit’ tadi. Simpati dan empati dari masyarakat lebih mengarah pada siapa yang memberi uang, bukan siapa yang mampu memimpin. Jiwa kepemimpinan dan hak memimpin lebih berada di tangan siapa yang mampu memberi uang.

Faktor ekonomi, meskipun hanya sedikit pengaruhnya, masih saja menjadi salah satu sebab seseorang bisa dipilih sebagai pemimpin. Maka dengan budaya ini, calon kepala desa sepertinya lebih banyak merupakan orang yang kaya, terpandang, dan mapan, bukan yang bersih, berkharisma, dan kompeten. Tapi tentu saja jangan melulu melihat di satu sisi saja, bahwa menjadi kepala desa dengan membagikan ‘sesuatu’ kepada masyarakat adalah hal yang salah, tapi satu sisi yang lain juga perlu dinilai bahwa masyarakat lebih suka diberi ‘sesuatu’ untuk memilih, meskipun dengan terpaksa.

Ceritanya dialog dengan ibuku di atas sedang membahas dua orang yang hari itu berperan sebagai calon kepala desa. Satu calon merupakan kepala desa yang sedang menjabat saat ini, sedangkan satunya lagi adalah mantan kepala desa yang menjabat di periode sebelumnya. Satunya ngasih uang dan satunya nggak. Satunya orang kaya dan satunya juga. Mau dibanding-bandingin seperti apapun, pasti ada plus minusnya masing-masing kedua orang istimewa ini. Dan akhirnya aku hanya bisa berharap, semoga calon yang terbaik yang menang.

Senin, 20 Januari 2014

Kota Kecil

Setiap orang pasti membangga-banggakan daerah asal masing-masing. Dan pembanggaan sedikit banyak mengarah pada perilaku primordialis dengan masing-masing kadarnya yang berbeda-beda satu dengan lainnya. Sama sih denganku, yang lahir, besar, dan tinggal di kotaku ini, Kediri. Bagaimanapun Kediri merupakan daerah kebanggaan.

Sebenarnya juga sih aku nggak tinggal di daerah kotanya, tapi di kabupatennya. Tapi tetap aja kan namanya Kediri. Soal apa dan bagaimana kotaku ini udah sering juga aku ceritakan dalam beberapa tulisanku sebelumnya. Kediri, yang merupakan kota kecil yang berada di tengah Propinsi Jawa Timur, kini semakin terasa ke’kecilan’nya. Bagaimana nggak, sekarang yang namanya macet menjadi menu keseharian di jalanan. Tingkat kehidupan ekonomi yang semakin meningkat, makin banyaknya kendaraan yang dimiliki warganya, ditambah lagi Kediri sebagai jalur lalu lintas yang dilalui jalan propinsi, menjadikan volume kendaraan yang melintas di jalan semakin padat, sementara itu jalan yang ada tetap segitu-gitu aja.

Hal lain yang menjadikan ke’kecilan’ kota ini semakin terasa adalah makin banyak tumbuhnya pusat-pusat perbelanjaan berupa mal, supermarket, diiringi dengan pusat hiburan yang ‘menempel’ di dalamnya. Karena itulah tingkat konsumsi warganya meningkat sehingga gaya hidup konsumtif seakan makin dimanjakan. Dengan banyaknya kegiatan ekonomi tingkat menengah ke atas ini, maka garis batas standar konsumsi semakin meningkat, namun juga secara otomatis menarik standar ekonomi menjadi semakin naik.

Sebenarnya kalo diamati lagi hal seperti ini terjadi secara global di seluruh daerah ya. Bisa kita amati dari besaran Upah Minimum Regional dari tahun ke tahun yang semakin meningkat. Secara sempit kita lihat Upah Minimum Regional Kota Kediri tahun 2013, sebesar Rp1.104.600, sedangkan Kabupaten Kediri sebesar Rp1.089.950. Dibandingkan dengan tahun 2012 sebesar Rp1.037.500 di Kota Kediri dan Rp999.000 di Kabupaten Kediri. Padahal di tahun 2011 masing-masing sebesar Rp975.000 dan Rp935.500.

Secara rata-rata dalam tiga tahun terakhir kenaikan UMR di Kota Kediri sebesar 6%, sedangkan di Kabupaten Kediri sebesar 8%. Nggak perlu dibahas secara mendalam soal ini, soalnya ini juga bukan bidangku, tapi setidaknya dari angka kenaikan ini bisa kita lihat sebagai salah satu faktor penilaian peningkatan dan pertumbuhan ekonomi di Kediri secara umumnya, dengan mengesampingkan bahwa hal ini bisa menjadi sebab-akibat kenaikan harga-harga kebutuhan.

Kembali pada bagaimana kotaku sekarang ini, sebenarnya dengan semakin ramainya kota bisa semakin membuat nama Kediri menjadi salah satu kota yang disebut-sebut oleh banyak orang yang di luar sana. Akan banyak orang yang sebelumnya belum tahu bahwa sebenarnya ada sebuah kota yang bernama Kediri, dengan sejarah yang panjang dan sekarang menjadi seperti ini. Sebuah keuntungan promosi tersendiri yang di masa depan bisa menjadikan Kediri ini ‘semakin sempit’ karena banyaknya pendatang. Kediri bisa menjadi kota yang tidak lagi ‘mengekspor’ tenaga kerja ke luar kota, tapi menjadi pusat kegiatan ketenagakerjaan bukan hanya dari daerah sekitar, bukan hanya dari daerah sepropinsi, sepulau, tapi juga senegara, dan lebih luas lagi. Bukan hanya itu, tetapi bisa menjadi pusat kegiatan di segala bidang secara luas, dengan tingkat kemakmuran penduduknya juga semakin meningkat.

Ini sebenarnya hanyalah harapanku, yang sepertinya sih sekarang belum terwujud. Tapi kalo suatu saat hal itu terjadi, maka siap-siap saja merasakan ke’sempit’an kota kecilku ini. Ya siapa tau areanya bisa diperlebar lagi, biar nggak lagi berstatus kota kecil dan mengurangi ke’kecil’annya itu.

Minggu, 19 Januari 2014

Kumpulan Gambar

Piala Dunia tahun 1994 adalah titik awal di mana aku menggemari sepakbola. Waktu itu turnamen diadakan di Amerika Serikat, yang selang waktunya di sini mencapai 12 jam. Jadi pertandingan sepakbola yang biasanya diadakan malam, di sini disiarkan pada pagi hari. Tambahan beruntungnya adalah waktu itu sedang libur sekolah, dan tidak ada kegiatan favorit selain nonton televisi, tambahan lagi stasiun televisi yang siaran di rumah hanya satu saja.

Sebenarnya awalnya aku tidak terlalu sering melihat pertandingannya. Awalnya aku suka melihat foto-foto di koran saja, yang mengabadikan momen-momen berkesan yang terjadi di AS sana. Dari situ muncul keinginanku untuk membuat kliping tentang Piala Dunia, yang kemudian aku utarakan kepada ibuku. Setelah restu ibu aku terima, mulailah sejak saat itu muncul lubang-lubang di koran harian langganan kami yang terjadi akibat foto-fotonya aku guntingi dan ditempel di buku bekas. Dan sejak saat itu pula aku nggak terlalu puas hanya menonton gambarnya saja, beberapa pertandingan mulai aku pelototi melalui layar televisi.

Usai Piala Dunia 1994 aku mulai memproklamirkan diri sebagai penggemar sepakbola kecil-kecilan. Kliping tadi merupakan ‘barang pusaka’ yang tidak bosan-bosannya aku bolak-balik tiap lembarnya sampai lusuh. Bahkan beberapa tahun berikutnya aku pindah ke buku yang baru agar lebih bagus dan rapi lagi. Dari situ aku berpikir bahwa membuat kliping gambar sepakbola merupakan hal yang menyenangkan.

Beberapa tahun kemudian, aku mulai kembali membuat kliping gambar sepakbola. Dengan sumber daya yang terbatas, kliping tersebut sempat tidak bertambah halamannya selama beberapa saat, meskipun juga dapat sumbangan dari beberapa kenalan. Tapi akhirnya klipingku berkembang pesat karena waktu itu aku secara khusus membeli tabloid sepakbola yang aku korbankan lembarannya untuk jadi serpihan gambar yang berpindah memenuhi buku kliping.

Di jaman sekarang bisa dikatakan dengan mudah dari banyak media, bahan bisa terkumpul. Aku bisa melihat bahwa hal itu adalah sebuah kelebihan untuk membuat kliping, tapi tidak bisa menjadi seni membuat kliping. Dulu untuk memenuhi sebuah buku menjadi kumpulan gambar membutuhkan beberapa waktu bisa berbulan-bulan. Sedangkan sekarang bahan gambar untuk satu buku bisa didapat dalam hitungan menit saja. Sebenarnya keinginan meneruskan kembali mengumpulkan gambar untuk ditempel dalam sebuah buku kadang juga muncul, tapi sekarang ini gambar bisa dilihat saja melalui komputer. Kemudahan seperti ini yang malah sering membuatku merindukan kumpulan gambarku yang dulu.

Sabtu, 18 Januari 2014

Kucing Motivator

Sekali-kali ngomongin hal yang nggak masuk akal boleh kan? Kita ngomongin tentang hewan. Dosa nggak sih ngomongin hewan? Kan hewan nggak ngomongin kita! Gini nih, banyak dongeng, terutama fabel, yang diawali dengan kalimat ‘Jaman dahulu kala, saat binatang masih bisa berbicara, …’. Pertanyaannya, itu hewan-hewan bicaranya pake bahasa apa jaman dulu itu? Trus kalo dulu bisa ngobrol semua hewan itu, kenapa begitu nggak bisa ngomong bunyinya jadi beda-beda?

Aku jadi ingat dongeng tentang asal-usul kucing nggak bisa ngomong. Dulunya itu kucing bisa ngomong dan pinter berenang. Ada seekor kucing yang menjadi penasehat sebuah kerajaan. Rajanya udah tua banget (ini rajanya manusia) dan nggak punya anak. Dia hanya punya seorang adik yang serakah dan tamak, sama aja kayaknya kedua kata sifat itu. Terus karena udah merasa nggak mampu lagi memimpin kerajaan, dan nggak pengen kerajaannya hancur di tangan adiknya, sang raja kemudian mewariskan tahta kerajaan kepada kucing itu, dengan tanda bahwa cincin tanda tahta kerajaan diserahkan kepada kucing itu.

Karena adik raja itu tadi nggak terima, dia kemudian memaksa si kucing menyerahkan cincin itu kepadanya. Dan karena pengen nyelametin kerajaannya, maka kucing itu tadi tidak mau menyerahkan cincin kerajaan tadi. Karena terdesak, cincin itu kemudian ditelannya dan dia menceburkan diri terhanyut di sungai.

Sejak saat itu kucing nggak bisa ngomong. Tiap kali buang air dia mengubur kotorannya agar cincin kerajaan tadi nggak diketemukan musuhnya tadi. Dan karena trauma tercebur air, si kucing jadi takut air. Dari cerita ini muncul pertanyaan, emang saat itu kucing cuma ada satu ya di dunia ini? Anggaplah cuma ada dia seekor di dunia ini, gimana bisa sekarang begitu banyak kucing berkeliaran?

Kalopun ternyata tidak hanya satu ekor saja, kenapa semua kucing berbunyi sama? Ya anggap aja setelah itu kucing penasehat ini beralih karir jadi seorang motivator yang memberikan motivasi dan pengaruh hebat kepada kucing-kucing yang lain, sehingga sampai saat ini semua kucing berbunyi sama. Sekarang ini kan kosakata kucing itu terbagi menjadi tiga, yaitu ‘miaw’ (tempo lambat), saat dia pengen makan, lalu ‘miaw’ (tempo cepat), saat kita mendekatkan makanan kepada dia, dan ‘ngaaawwwww’ (nada tinggi), saat dia marah dan mengajak kita berkelahi, karena ternyata calon makanannya kita makan sendiri.

Nggak tau deh binatang yang lain gimana ceritanya, mungkin dulu salah satu dari nenek moyang mereka pasti ada yang jadi motivator kayak si kucing penasehat tadi. Jadi seluruh dunia, sampai sekarang, bunyi mereka seragam dan kompak.

Jumat, 17 Januari 2014

Cuaca

Ngomongin soal cuaca itu nggak akan ada habisnya, soalnya itulah yang dulu kita alami, sekarang sedang kita alami, dan nantinya juga akan kita alami. Maka dari itu obrolan tentang cuaca juga sering dijadikan percakapan basa-basi. Kecuali kita hidup di sebuah tempat dengan cuaca yang sama sepanjang tahun dan seumur hidup, maka kita akan mendapati bahwa cuaca akan berubah dari waktu ke waktu. Khususnya bagi kita yang hidup di Indonesia yang beriklim tropis, kita akan mengalami cuaca panas dengan hawa dingin dan kering di musim kemarau bergantian dengan cuaca hujan dengan hawa panas dan gerah di musim hujan.

Mungkin kita lebih sering mengeluhkan kondisi yang tidak menyenangkan di salah satu keadaannya. Saat musim kemarau kita mengeluhkan panas, saat musim hujan kita mengeluhkan hujan. Terus begitu, sampai sepanjang tahun dan seumur hidup. Dan beruntungnya lagi, selalu saja ada orang di sekeliling kita yang mengamini keluhan kita itu. Jadilah ajang berkeluh kesah ini membesar dan memanjang sehingga menjadi keluhan masal.

Lalu apa nggak bosan ya, setiap kali dan setiap saat mengeluh terus? Karena pasti ada setidaknya satu orang yang pasti jenuh dengan keluhan yang sama itu-itu aja terus menerus, meskipun yang dirasakan sama. Kalo di satu desa aja dapat hujan atau panas, pasti seisi desa juga merasakannya. Ingat kalo nggak kita sendiri saja yang kehujanan atau kepanasan, orang lain juga demikian. Kita nggak bisa kemudian merasa istimewa dan paling menderita, sehingga secara eksklusif kita perlu mengeluhkannya.

Lebih baik kita nikmati saja setiap pergantian musim dan cuaca. Saat panas, kita ingat bahwa nantinya kita juga akan melewatinya dan mendapatkan hujan. Demikian juga saat hujan. Jika seperti ini pastilah kita lebih merasa tenang sehingga hidup juga lebih nyaman dijalani. Ingat pula bahwa satu keluhan bisa menimbulkan keluhan yang lain, yang bahkan juga bisa ditumpuki oleh keluhan orang lain pula. Dan jika menerima keluhan cuaca dari orang lain kita juga perlu menanggapi seperlunya saja, tidak perlu menambahi dan mengompori. Toh kita juga mengeluh kepada apa dan siapa, apakah kita merasa pantas untuk itu, kecuali kita bisa membuat hujan sendiri di musim panas atau menyebarkan panas di musim hujan.

Kamis, 16 Januari 2014

Tulisan Ini

Saat anda membaca tulisan ini, berarti saya sedang menanamkan ide dan pola pikir saya kepada anda, karena secara garis besarnya tulisan saya lebih berupa penuangan pola pikir dan ide yang terpikirkan daripada fakta-fakta yang sudah pasti. Sehingga bisa saya katakan bahwa saat anda membaca judul tulisan saya ini, dan kemudian anda membaca sekilas tentang isinya, maka anda tertarik untuk membaca lebih lanjut untuk membacanya sampai habis. Dan sekarang anda berada di level 1 sebagai pembaca tulisan saya.

Kemudian saat anda menceritakan kepada orang lain tentang tulisan saya ini, dan ada beberapa orang yang tertarik dengan apa yang anda ceritakan, maka dia berada di level 2 dari tulisan saya. Kecuali si level 2 ini kemudian membaca langsung tulisan saya, maka dia akan menjadi level 1. Dan apabila level 2 ini menceritakan lagi kepada yang lain (tentunya dengan isi cerita yang tidak lagi utuh seperti tulisan ini), maka dia sedang membentuk level 3 dari tulisan ini. Dan demikian seterusnya, sampai di level terakhir tulisan ini tidak lagi berupa ide dan pola pikir saya lagi, melainkan sudah tercampur oleh ide dan pola pikir dari level di atasnya.

Saya mengelompokkan ke dalam level-level itu bukan karena ingin mengkotak-kotakkan orang atau golongan. Karena pada dasarnya tidak semua orang yang (setidaknya) tahu dengan tulisan saya kemudian tertarik dan membacanya sampai habis dengan benar-benar utuh. Dalam hal level 1, yang dia membaca dengan utuh, maka ada titik-titik tertentu sebagai pokok bahasan tulisan ini yang akan tertanam dalam pemikirannya, dan menjadi bahan untuk kemudian tersampaikan ke level 2. Dan dalam proses penyampaiannya ini di dalam level 2 mungkin tidak semua orang akan setuju, tertarik, atau mengerti isinya. Sehingga ada kemungkinan lagi bahwa si level 2 ini tidak akan melanjutkan pokok tulisan tadi ke level selanjutnya.

Kalaupun kemudian level 2 tertarik, maka dia mungkin hanya akan mengambil pokok bahasan yang disampaikan dari level 1 dan kemudian menyampaikan ke level berikutnya dengan bahasa lain, atau bahkan disusupi dengan ide pikirannya sendiri.

Tulisan ini sebenarnya terinspirasi dari sebuah khotbah sholat Jumat yang saya alami beberapa waktu yang lalu. Dalam kasus itu, saya menjadi level 2 yang tidak meneruskan ide yang terdapat dalam tulisan tersebut. Bukan karena khotbahnya jelek atau tidak bermutu, tapi karena pada dasarnya khotbah tersebut tidak sampai ide pikirannya kepada level selanjutnya. Ceritanya khotib tersebut menyampaikan khotbah sholat Jumat dari sebuah tulisan (yang saya pikir merupakan artikel dari majalah atau koran). Secara ciri khasnya artikel, biasanya dalam tulisannya memuat berbagai istilah yang mungkin diperlukan dalam melengkapi tulisan tersebut, tapi tidak semua orang (bahkan mungkin dari level 1) yang mengerti.

Dari sini, si level 1 mencoba menyampaikan artikel tersebut ke jamaah sholat Jumat sebagai ‘calon’ level 2. Karena level 1 tidak menyadari bahwa bahan tersebut terlalu berat terpikir dan ditanamkan kepada audiens yang bersifat heterogen dan cenderung ‘konvensional’, maka ide yang dirasa bagus oleh si level 1 tidak bisa sampai kepada level 2. Sampai-sampai salah seorang dari level 2 yang berada di samping saya bilang bahwa bahan tulisan tersebut terlalu tinggi untuk dipikirkan.

Maka seharusnya sebisa mungkin level 1 ini memilih ‘calon’ level 2 yang sepola dengan apa yang dia sampaikan. Dan kalau bisa lebih memungkinkan lagi ide pokoknya tersebut dengan mudah tertanam di level 2, sehingga ide yang terpancar dari tulisannya tidak terbuang sia-sia karena tidak sampai ke level yang di bawahnya sebagai penerima ide. Padahal seringnya level 1 ini tidak peduli apakah para level 2 akan tertarik, peduli, atau mengerti dengan apa yang disampaikan, karena bagi level 1 itu tidak masalah. Seperti saya dalam membuat tulisan ini, hanya saja bedanya saya membuat tulisan ini dengan tidak mempedulikan apakah akan ada level 1 yang masuk dan membaca tulisan ini sampai habis, tapi tanpa memaksa semua orang mau menjadi level 1. Sedangkan level 1 menjadikan sebuah kumpulan audiens sebagai level 2 tanpa mempedulikan apakah sebenarnya mereka mau menjadi level 2.

Dan terakhir, untuk anda pembaca tulisan ini sebagai level 1 di sini, jika tidak menemukan ide pokok pembahasan dari tulisan ini, lebih baik untuk tidak disampaikan ke level yang selanjutnya. Karena jika terjadi yang demikian ini, maka saya gagal menanamkan ide dan pola pikir saya kepada anda.

Rabu, 15 Januari 2014

Takut Penasaran

Ada seorang teman yang penakut banget, tapi dia agak suka nonton film horor. Katanya sih karena dia terbawa cerita sehingga dia lebih memilih meneruskan ceritanya daripada penasaran karena momen inti ceritanya dia lewatkan. Sering kalo film horornya ada hantu-hantunya dia nonton dengan mata ditutup, atau menundukkan kepala, pokoknya jangan sampai ngelihat sosok hantunya, soalnya katanya kalo habis nonton film-film kaya gitu lebih sering terbayang-bayang. Tapi dengan begitu dia jadi nggak ketinggalan cerita film tersebut sampai habisnya.

Pernah suatu ketika dia kecanduan riddle horor, yaitu cerita-cerita horor yang misterius dan penuh teka-teki. Dalam beberapa hari dia membaca beberapa riddle horor, dan di setiap malam harinya dia sering paranoid sendiri karena pengaruh riddle horor yang dibacanya. Tapi nyatanya dia sendiri nggak bisa menghentikan kegemaran itu, karena menurutnya tiap-tiap riddle tersebut memiliki cerita di baliknya yang sangat membuatnya penasaran untuk terus mengikuti pembahasannya, meskipun ternyata cerita di balik riddle tersebut bisa lebih mengerikan dan menakutkan daripada riddle itu sendiri.

Dan ternyata rasa penasaran itu bisa mengalahkan rasa takut. Seperti temanku tadi, ketakutannya akan cerita-cerita misteri dan horor bisa dia kesampingkan (untuk sementara) demi memenuhi rasa penasarannya. Dan rasa penasarannya sangat sayang untuk dia tinggalkan dan dipotong begitu saja, karena rasa takutnya lebih mendominasi. Meskipun ada dampaknya di akhir, namun nyatanya terpenuhinya rasa penasarannya lebih memuaskan daripada mengumbarkan rasa takutnya.

Dalam hidup kita mungkin menghadapi banyak kemungkinan yang tidak bisa kita perkirakan sebelumnya. Ada beberapa jalan yang mungkin kita tempuh yang kemudian membuat jalan buntu atau menyulitkan kita, dan mungkin kita takutkan semua hal tersebut bisa terjadi nantinya. Namun ada kalanya rasa penasaran kita melewati jalan tersebut lebih besar untuk mendorong kita melewatinya, meskipun nantinya tetap saja kita mengalami kesulitan, namun paling tidak kita telah yakin benar bahwa apa yang kita putuskan pada saat melewati jalan tersebut adalah hal yang telah kita pikir benar-benar dan tidak perlu disesalkan.

Coba saja kalo kita menakutkan banyak hal dari beberapa jalan tersebut, kemudian kita nggak pernah melewatinya hanya karena mengkhawatirkan hal-hal yang belum terjadi. Kita nggak pernah tau ada apa di ujung jalan tersebut. Kita nggak pernah tau akan ada masa depan cerah di situ. Ataupun kita nggak pernah tau mungkin kita akan diuji di situ. Saat itu kesempatan masih 50:50, dan saat kita memutuskan untuk tidak melewatinya kita telah kehilangan 100% kesempatan kita. Sebaliknya saat melewatinya dengan resiko apapun, memenuhi rasa penasaran kita, kita akan mendapatkan 50% kesempatan meskipun kehilangan 50% yang lainnya.

Intinya semua pilihan itu penuh dengan resiko, dan tanpa keberanian kita untuk memenuhi rasa penasaran dan mengesampingkan rasa takut kita, kita nggak pernah tau pilihan mana yang tepat untuk kita.

Selasa, 14 Januari 2014

Bekerja (bagian 2)

Seringkali kalo ditanya soal di mana aku kerja, jawabanku malah bikin orang bingung. Aku kan kerja di rumah sakit, tapi bukan sebagai dokter, perawat, bidan, atau juru masak. Aku ada di rumah sakit sebagai staf administrasi kantor. Nah, yang bikin bingung itu sebenarnya pola pikir orang-orang itu bahwa semua orang yang kerja di rumah sakit itu pasti dokter, kalo nggak perawat, atau kalo nggak bidan. Atau kalo nggak muncul pertanyaan baru, ‘Emang di rumah sakit ada kantornya juga ya?’. Ini gimana sih, kalo rumah sakit nggak ada kantornya, terus yang ngurus administrasi dokter semua, yang ngasih gaji perawat, atau yang nganter-nganter surat ke sana ke mari itu bidan, gitu, atau gimana nih mintanya? Kok jadi aku yang sewot sih? :D

Ah, sudahlah, kita tinggalin aja pertanyaan yang sebenarnya konyol, tapi mencerminkan pola pikir masyarakat tentang rumah sakit sebagai instansi spesifik, atau mungkin di tempat-tempat lain yang seperti itu. Kaya di bengkel, dikiranya pasti semua yang kerja di bengkel itu montir, padahal kan ada juga staf administrasinya. Atau di sekolah, dikiranya semua yang kerja di situ pasti guru, terus apa penjaga kebunnya juga guru, kan nggak gitu juga. Kita harusnya lebih memperluas pola pikir bahwa di tempat kerja yang spesifik seperti rumah sakit, bengkel, atau sekolah seperti tadi juga ada beberapa profesi lain yang mungkin nggak ada hubungannya sama sekali dengan bidang instansi tersebut, tapi juga diperlukan.

Coba bayangkan (tapi jangan lama-lama ngebayanginnya), kalo di rumah sakit nggak ada staf kebersihannya, apa terus dokternya sendiri yang nyapu? Makanya sering disebut bahwa sebuah tempat kerja yang bersifat spesifik atau homogen itu sebenarnya adalah heterogen, padat karya, dan padat profesi. Ada bermacam-macam profesi yang dibutuhkan karena tempat kerja seperti rumah sakit nggak hanya tentang kesehatan aja. Atau sekolah itu nggak hanya tentang belajar mengajar aja.

Makanya, kalo aku sering dapat pertanyaan dan kebingungan seperti di atas, wajar aja, terutama kalo pikiran penanyanya udah diisi konsep bahwa rumah sakit hanyalah tempat kerja tenaga kesehatan aja. Padahal nggak semua bidang di dalam rumah sakit itu bisa dikerjakan oleh tenaga kesehatan. Ada bidang-bidang non medis yang juga perlu dikerjakan oleh tenaga non medis juga. Singkatnya, setiap bidang yang berbeda itu harus diserahkan kepada tenaga yang lebih menguasai masing-masing bidang itu juga, selain agar tidak terjadi kesulitan dalam pekerjaan nantinya, juga ada sebuah pembagian tugas dan penugasan staf yang benar dan tepat.

Senin, 13 Januari 2014

Bekerja (bagian 1)

Aku pernah bekerja di tiga tempat sekaligus! Hal ini sering aku ceritakan saat ada teman-teman yang kerjanya hanya di satu tempat tapi mengeluhnya udah kaya kerja 24 jam nggak ada istirahatnya. Bukan bermaksud pamer atau menyombong sih, tapi hanya sebagai bahan pemikiran untuk menyadarkan bahwa setiap orang yang mengalami kesulitan atau masalah, terutama dalam hal pekerjaan, ada orang lain yang mengalami kesulitan atau masalah lebih dari dirinya sendiri. Kalo kerja satu tempat saja dia sudah mengeluh nggak karuan, gimana yang menjalani kerja di tiga tempat?

Terus gimana tuh sebenarnya cara menjalani kerja di tiga tempat? Satu hal yang aku rasakan adalah sulit. Sulit menyesuaikan jadwal kerja, terutama karena tempat kerjanya saling berjauhan satu sama lain. Pekerjaan utamaku sebagai staf administrasi kantor di rumah sakit, tentu saja yang paling diutamakan. Dan untungnya ngantor yang ini selalu masuk pagi terus.

Jam tiga ada jadwal lagi, juga ngurus administrasi kantor dan beberapa hal lain yang berkaitan, di sebuah klinik. Ini sebenarnya sulit, selain jarak klinik ini sekitar 15 km dari rumah sakit, sering sekali aku nggak bisa cepat-cepat meninggalkan rumah sakit karena kerjaan yang belum selesai. Jadinya sering nyampai klinik udah jam empat, atau jam lima, atau bahkan sering juga ijin karena nggak bisa ninggalin keperluan. Di klinik ini jadwal pulangnya sebenarnya jam tujuh, tapi sama dengan yang di rumah sakit, sering ada kerjaan yang belum bisa ditinggal sehingga sering molor pulangnya.

Jam berikutnya agak longgar. Aku ada jadwal kerja di sebuah tempat servis dan kursus komputer. Sebenarnya tempat ini dekat dari rumahku, tapi dari klinik ke servisan ini sekitar 20 km, sehingga siklusnya melewati klinik dulu. Di sini kalo pas lagi sepi kerjaan, jam sepuluh malam udah bisa pulang. Tapi kalo nggak, misalkan masih nanggung gitu, ya sampai selesai atau sampai bosan karena nggak selesai-selesai.

Nah, kalo masalah jarak, dari rumah ke rumah sakit sekitar 10 km, dari rumah sakit ke klinik sekitar 15 km, dari klinik ke servisan sekitar 20 km, dari servisan ke rumah sekitar 200 m. Kalo ditotal sekitar 45 km lebih 200 m, atau bisa lebih dari itu. Tiap hari kerja ya siklus kerjanya muter begitu-begitu aja, tapi aku menikmati aja. Aku lebih merasakan kerja yang diselingi dolan-dolan, soalnya dengan jarak segitu, dari pagi sampai malam nggak putus, kalo nggak dinikmati malah jadi beban aja.

Makanya, buat yang kerja di satu tempat aja tapi rasanya udah kaya kerja keras 24 jam tanpa henti, kalo memang nggak bisa menikmati kerjanya, setidaknya juga perlu berpikir bahwa nggak kerja itu juga nggak enak lo. Udah dapat kerja (meskipun mengeluh terus) ya diusahakan dinikmati aja, tetap nyantai tapi nyerius, dan juga meniatkan kerja sebagai ibadah, agar kerja kita nggak sia-sia karena termakan keluhan terus.

Jumat, 10 Januari 2014

Cita-Cita

Waktu kecil kalo ditanya cita-cita sejak kecil, layaknya kebanyakan anak kecil, lambat laun hari demi hari aku menjawab berubah-ubah. Mulai dari dokter, insinyur, direktur, dan beberapa profesi lain. Begitu remaja, aku pengen banget jadi orang-orang yang berprofesi sederhana, semacam loper koran, penjual poster, atau kerja kantoran. Sejak selepas SMP, ada cita-cita tambahan, yaitu kerja di pabrik, karena sekolahku waktu itu jurusan teknik mesin produksi. Dan ternyata habis lulus sekolah aku jadi kerja di pabrik, dan sekarang kerja di kantoran.

Tentu saja anak-anak kecil kalo ditanya masalah cita-cita, mereka belum ngerti benar apa dan bagaimana itu. Mereka mempunyai keinginan menjadi seperti apa yang mereka lihat keren dan menarik. Habis lihat polisi, mereka pengen jadi polisi yang gagah. Habis lihat tentara, mereka pengen jadi tentara yang ksatria. Habis lihat dokter, mereka pengen jadi dokter yang berwibawa, bahkan kalo habis lihat pengantin, mereka pengen jadi pengantin yang berbahagia. Jadi cita-cita anak kecil lebih berhubungan dengan profesi yang ingin mereka jalani di masa besarnya nanti.

Setelah agak besar, anak-anak kecil tadi lebih realistis. Bisa jadi karena kondisi lingkungan dan keluarga, atau keinginan pribadi, cita-cita mereka lebih mengarah ke minat dan bakat mereka yang sebenarnya. Mereka jadi menyempitkan proyeksi dan lebih fokus mengarahkan segala yang dilakukannya ke arah cita-citanya. Bisa dengan sekolah yang berhubungan dengan cita-citanya, mempelajari segala macam ilmu tentang cita-citanya, dan lain sebagainya. Sehingga kalo ditanya lagi, mereka lebih mantap memberi jawaban tentang cita-citanya.

Agak dewasa lagi, biasanya orang-orang kalo ditanya cita-cita, mereka lebih suka menjawab dengan jawaban yang diplomatis. Kalo sebelumnya soal profesi, kali ini jawaban yang banyak muncul adalah jawaban yang lebih global, misalnya ingin menjadi orang yang berguna bagi bangsa, negara, masyarakat, keluarga, dan agama. Cita-cita ini lebih berarti luas dan merupakan langkah ‘aman’ bagi mereka untuk apapun profesi yang mereka dapatkan. Atau kalo nggak mendapat jawaban, mereka suka menjawab dengan jawaban ‘cita-cita masuk surga’. Cita-cita yang mulia, tapi perlu dipertanyakan jika melihat bagaimana usaha mereka meraihnya dari kehidupan dunia ini.

Namanya juga cita-cita, kalo nggak kesampaian ya nggak apa-apa. Yang penting kita punya tujuan yang jelas, sehingga ada semacam rencana dan strategi untuk meraihnya. Hidup jadi nggak asal hidup, asal apapun dan asal jadi apapun bisa. Okelah itu bagus, hidup nggak tergantung dari sesuatu dan tidak terdikte dengan macam apapun, tapi tentu saja hidup harus tetap punya arah. Jadi apa yang dilakukan selalu berarti dan tidak membuat penyesalan di hari depannya.

Kamis, 09 Januari 2014

Pemanfaatan Teknologi

Dalam beberapa tahun belakangan ini perubahan pemanfaatan teknologi atas kemajuannya dalam media massa sangat terasa keoptimalannya. Misalnya saja, beberapa tahun yang lalu stasiun radio masih sangat mengandalkan atensi pendengarnya dari surat ataupun kartu pos. Saat telepon mulai banyak dipakai, maka mulai dipakailah juga interaksi pendengar melalui telepon on air maupun off air. Ketika kemudian teknologi telepon seluler mulai banyak dipakai masyarakat, maka layanan melalui SMS juga mulai dipakai di radio. Dan yang cukup populer belakangan ini adalah interaksi melalui media jejaring sosial milik stasiun radio tersebut dengan para pendengarnya.

Demikian juga dengan media audio visual, televisi misalnya. Dulu berbagai macam acara seperti kuis ataupun acara lain yang mengajak interaksi pemirsanya masih mengandalkan jasa pos. Kemudian telepon mulai digunakan dalam kegiatan interaktif tersebut, mulai dari telepon standar sampai layanan telepon premium. Dan kemudian memasuki era telepon seluler, SMS juga sangat bisa digunakan untuk mendukungnya. Dan terakhir, mulai merambah menggunakan media jejaring sosial.

Sejak sekitar sedekade terakhir ini, acara yang menggunakan polling menggunakan SMS juga banyak bermunculan di televisi, mulai dari musik, penghargaan, kuis, sampai beberapa ajang pencarian bakat. Sorotan terhadap penggunaan tarif yang digunakan di atas rata-rata tarif SMS biasa, tidak mengurangi minat baik pihak penyelenggara maupun pemirsanya untuk berpartisipasi dalam acara tersebut. Mengesampingkan penilaian dari para juri yang ahli dalam masing-masing bidangnya, polling SMS ini mengajak para pemirsanya untuk ikut aktif dalam menentukan pemenangnya.

Dari sini sebenarnya terlihat bahwa faktor subyektifitas dari pemirsa pengirim SMS berperan dalam menentukan pantas tidaknya seseorang peserta acara tersebut melaju ke tahap selanjutnya. Karena sebagus apapun bakat seseorang, tapi kalau tidak ada pendukung ataupun penggemarnya yang memberikan suara baginya melalui SMS tentu saja dia tidak akan bisa melampaui pencapaian yang lain. Tentunya masing-masing peserta mempunyai penggemar masing-masing, yang berbeda-beda jumlahnya, dan mungkin saja tidak semua dari penggemar tersebut mengikuti polling SMS tersebut.

Untuk melancarkan aliran dukungan melalui SMS tersebut, biasanya para keluarga, kerabat, maupun kelompok komunitas pendukungnya mengadakan kampanye untuk polling tersebut, sehingga kegiatan kampanye tersebut juga bisa menjadi faktor penambah banyaknya SMS yang masuk mendukung peserta tersebut.

Tentu saja, kualitas peserta masih menjadi sebuah kunci yang bisa membuka kran dukungan SMSnya. Para pemirsanya juga pasti bisa menilai (meskipun secara subyektif) bagaimana tampilan keseluruhannya, sehingga tidak ada kesalahan penilaian dikarenakan dukungan SMS yang kurang meskipun penampilannya luar biasa. Dan kalau memang hal tersebut terjadi, juga tidak bisa disalahkan karena pendukung peserta tersebut tidak mengirimkan SMS dukungannya. Mengisi polling, apalagi lewat SMS, tentu saja bukan sebuah keharusan yang harus dipaksakan. Mekanisme ini digunakan untuk memanfaatkan teknologi dan juga melibatkan para pemirsanya sebagai alternatif, serta mulai mengubah paradigma media massa sebagai alat komunikasi searah menjadi alat komunikasi dua arah karena masyarakat bisa berperan serta dalam kegiatannya.

Rabu, 08 Januari 2014

Berhelm

Meskipun kita naik motor dengan jarak yang dekat, bukan berarti aspal jalanan itu menjadi terasa empuk bagi kepala kita. Malah kalo dipikir itu hal yang paling konyol dalam bermotor adalah jatuh di dekat rumah, dan tingkatan kekonyolannya yang paling tinggi adalah jatuh tepat di depan rumah. Nggak liat jarak, nggak liat waktu, yang namanya jalanan, apalagi yang aspalan, itu hampir bisa dipastikan keras banget. Belum lagi kalo ditambah malunya karena jatuh. Iya kalo masih cuma lecet-lecet dikit atau luka gimana gitu, kalo terus kepala pecah, udah nggak sempat ngerasain malu dan nyeselnya lagi deh.

Fenomena umumnya emang gitu kan. Kalo naik motor, jarak dekat aja, bahkan ke tempat yang dari depan rumah udah keliatan, males banget pake helm. Padahal kalo tempat tujuannya keliatan dari rumah ngapain juga pake motor, jalan kaki aja kenapa. Lagian diliat dari rumah matahari itu juga keliatan, tapi nggak ada juga motor yang bisa dipake ke sana.

Meremehkan, pelanggaran berawal dari meremehkan. Sebuah kesalahan kecil yang menjadi besar, saat remeh itu benar-benar dianggap remeh. Helm itu apaan sih, bikin berat kepala aja, lagian bisa ngerusak model rambut keren a la Edy Brokoli. Tapi tentu aja helm itu bukan hanya syarat buat lewat di depan polisi, tapi berguna banget buat ngelindungin sebuah benda yang biasanya kita pake buat mikir. Kecuali kalo yang dipake buat mikir itu udah nggak penting lagi dan juga dianggap remeh, ya silakan aja sih nggak usah pake helm.

Ironi seperti ini yang nggak terlalu dipahami oleh masyarakat awam, apalagi kebanyakan masyarakat Indonesia, yang juga berpikir bahwa semua tempat di muka bumi ini adalah tempat sampah. Polisi seolah bisa ditaklukkan dengan memakai helm aja, padahal aspal nggak bisa gitu. Dulu para ksatria berkuda di jaman kerajaan juga nggak pake helm pas naik kuda, ya nggak apa-apa sih, mereka pasti juga mikir toh waktu itu juga nggak ada polisi patroli lalu lintas. Tapi dari dulu, pas jalanan masih berbatu dan bertanah, tetep aja yang namanya jalanan itu bukan tempat yang nyaman buat ngejatuhin kepala.

Meremehkan, bisa jadi dari hal-hal yang remeh temeh itu terjadi hal-hal yang besar dan hebat, termasuk pecahnya kepala itu tadi. Mau sekeren apapun potongan rambutnya, sesimetris apapun bentuk kepalanya, atau secakep apapun wajahnya, tetap aja nggak keliatan bagus kalo pecah kepala. Kalopun pake helm juga nggak menjamin kalo kepala nggak pecah kalo terlindas truk, seenggaknya kan meminimalisir efek, apalagi kalo siapa tau musuhnya bukan truk. Dan lagi, kita harusnya bisa berpikir bahwa menjaga keselamatan diri sendiri itu lebih penting daripada lebih memperhatikan menjaga penampilan saat naik motor.

Selasa, 07 Januari 2014

Subyektif

Masing-masing dari kita mempunyai pemahaman dan pemikiran yang berbeda-beda. Bisa jadi dalam melihat sebuah hal yang sama, kita punya penjelasan yang berbeda satu sama lain, sehingga bisa terjadi perbedaan pendapat dalam menyikapi hal tersebut. Hal inilah yang membuat subyektifitas adalah sesuatu yang bersifat individu dan pribadi, karena lebih mengarah kepada pengertian dari masing-masing orang itu sendiri.

Saat seseorang menganut suatu paham dan pengertian tertentu, dia pasti menganggap bahwa apa yang dia pahami tersebut adalah benar, tidak peduli bagaimana orang lain menganggap itu salah. Demikian juga saat beranggapan bahwa seseorang patut dijadikan sebagai idola dan apapun yang dilakukan dianggap benar. Padahal subyektifitas seperti itu bisa jadi sebuah kefanatikan yang bila terlalu besar kadarnya bisa menyebabkan tertutupnya pikiran seseorang terhadap pemikiran lain yang berbeda dari apa yang dipahaminya.

Subyektifitas bisa menutup pemahaman sesuatu secara obyektif, dalam hal ini adalah memahami dan menyadari benar atau salahnya sebuah hal. Jika subyektifitas tadi sudah mengarah kepada kefanatikan dan menganggap bahwa apapun yang terjadi dalam sebuah hal adalah benar, maka kelemahan dari hal tersebut tidak bisa terlihat lagi dan faktor obyektifitas dari sebuah hal tersebut tidak diperhatikan lagi. Apapun hal yang berlawanan dengan pemahaman bisa jadi mentah karena ada sebuah faktor anti-kritik atau anti-salah dari hal tersebut, disebabkan fanatisme buta.

Tentu saja, subyektifitas yang berhubungan dengan individualisme menjadi sebuah faktor relatifitas, di mana yang dipandang baik oleh seseorang, bisa jadi tidak begitu baik bila dipandang oleh orang lain, atau bisa juga sama baiknya, tergantung dari apa, siapa, dan bagaimana pandangan dari masing-masing individu tersebut.

Meskipun ada berbagai kelemahan dari subyektifitas tersebut, tentu saja juga ada kelebihan dari faktor subyektifitas ini. Misalnya, karena pendapat berbagai pribadi bisa berbeda, maka hal tersebut bisa memperkaya pandangan dari sebuah hal, dan juga bisa menjadi saran dan masukan atas apa yang perlu dilakukan dalam menyikapi hal tersebut. Hal ini membuat hal tersebut memiliki berbagai alternatif pilihan sebagai produk pemikiran dari berbagai pandangan individual. Tentu saja, dalam menerima berbagai pemikiran dan pemahaman tersebut harus dihilangkan hal-hal yang bersifat fanatisme dan menerima subyektifitas yang lebih mengarah pada pemikiran obyektif.

Senin, 06 Januari 2014

Komedi

Aku termasuk tipe orang yang suka humor dan komedi. Apapun acara di televisi, kalo ada komedinya, pasti aku suka nontonnya, dan mungkin beberapa kemudian dengan mudah akan masuk ke daftar tontonku. Tapi meskipun suka komedi, ternyata aku nggak bisa menulis sesuatu materi yang bikin orang tertawa. Maka dari itu, aku jadi menyimpulkan bahwa aku termasuk tipe orang yang serius.

Ada banyak tipe orang humoris, atau bisa kita katakan komedian aja, di dunia ini. Dari banyak tipe tersebut, bisa ditarik dua garis untuk membedakannya, yaitu satu golongan komedian profesional, dan satu lagi golongan komedian total. Komedian profesional, kalo dilihat dari arti katanya aja, bisa diartikan bahwa dia punya pekerjaan sebagai orang lucu, pelawak, komedian, atau sejenisnya. Jadi, di luar pekerjaannya, dia bukan orang yang suka ngelucu. Dia akan ngelucu kalo dibayar aja, tentunya dalam bingkai pekerjaannya.

Kalo komedian total, dia dibayar atau nggak dibayar tetep aja lucu. Ngelawak jadi bukan sebuah hal yang terbatasi oleh bayaran. Apapun, di manapun, dan gimanapun kondisinya, tetep aja dia bisa ngelucu, tanpa harus mikirin siapa yang mau bayar kelucuan dia itu. Orang yang seperti ini bisa dibilang ‘ngelawak karena ikhlas’.

Ada sebuah materi lawakan, biasanya disebut Stand Up Comedy. Aku sendiri menafsirkan sebagai ngelawak sambil berdiri. Jadi syaratnya dia harus tetap berdiri selama ngelawak. Kalo dia terus ngelawak sambil duduk, maka syaratnya sebagai Stand Up Comedy telah gugur, dan dia berubah subyek menjadi Sit Down Comedy. Di televisi ada beberapa program acara seperti ini, bahkan ada yang khusus menampilkan Stand Up Comedy, terutama di sebuah stasiun televisi berinisial depan ME- dan inisial belakangnya -TRO. Tapi entah kenapa aku nggak terlalu ngikutin, mungkin karena aku juga nggak tau jadwal tayangnya, dan juga mungkin karena jadwal tayangnya terlalu malam, sehingga bentrok dengan jadwal tidurku.

Bagiku Stand Up Comedy sendiri punya dua sisi. Sisi pertama, jenis komedi seperti ini kaya semacam ‘komedi egois’. Seorang menceritakan sebuah materi pokok, yang ditambahi materi-materi lucu (yang sering dibuat-buat), terus penonton dan orang lain hanya ‘boleh’ ketawa-ketawa aja. Komedi model begini bisa dilakukan di mana saja, baik ada orang lain maupun sendirian aja. Jadi seolah-olah, komedi seperti ini adalah komedi ‘sepi’, ya bisa juga disebut semacam pidato kelucuan lah.

Di sisi berikutnya, materi komedi seperti ini kebanyakan adalah materi cerdas. Ada beberapa pemaparan yang mungkin bagi beberapa kalangan sulit dimengerti dalam sekali dengaran. Materi komedi yang kaya rasa seperti ini, juga tidak menjadikan isu-isu tabu menjadi sebuah hal yang ‘haram’ untuk diungkapkan, tentu saja menjadikan model komedi ini lebih digemari, meskipun ‘sepi’.

Aku jadi membayangkan gimana jika sebagai orang yang serius, aku harus melaksanakan praktek Stand Up Comedy. Yang ada aku hanya melontarkan kalimat-kalimat yang nggak penting dan nggak bisa bikin orang ketawa (meskipun hanya ketawa dalam hati). Tapi sebenarnya aku juga mikir, orang-orang yang menganggap bahwa ‘komedian adalah orang yang serius itu sebuah ironi’ adalah sebuah ironi tersendiri, karena pasti komedian (terutama yang profesional) itu adalah orang yang serius. Kalo nggak serius ngapain mereka ngelucu, pasti mereka hanya bermalas-malasan aja nggak ngapa-ngapain. Namanya juga nggak serius.

Sabtu, 04 Januari 2014

Huruf-Huruf Aneh

Ada dua puluh enam jumlah huruf di dalam susunan alfabet universal. Dari kedua puluh enam ini, ada dua huruf yang jadi sorotanku. Nggak penting sih, tapi kalo dipikir-pikir unik aja. Kedua huruf ini adalah huruf ‘m’ dan ‘w’. Kedua huruf ini juga ada hubungannya, soalnya dengan teknik penulisan tertentu, huruf ‘m’ kalo dibalik bisa jadi huruf ‘w’, juga sebaliknya. Lainnya adalah kedua huruf ini sama-sama memegang rekor huruf paling lebar di antara huruf-huruf yang lain.

Lalu di mana uniknya? Uniknya adalah kenapa juga disebut huruf m, padahal yang lain disebut ‘a’, ‘b’, ‘c’, atau gimana gitu. Dan coba dilihat, huruf ‘w’ kalo dibaca dengan bahasa Inggris jadi ‘double u’, padahal jelas banget bahwa ‘w’ itu lebih cocok kalo dibaca dengan ‘double v’. Mungkin, kalo ditulis menggunakan huruf model latin tegak bersambung, ‘w’ memang berbentuk melengkung, sehingga seperti huruf ‘u’ yang dijejerkan. Dengan cara penulisan jaman dulu, yang menggunakan huruf latin bersambung, mungkin begitulah mengapa lebih disebut ‘double u’ daripada ‘double v’.

Kalo huruf ‘m’ gimana? Hampir sama kaya huruf ‘w’, huruf ‘m’ ini mirip dengan huruf ‘n’ yang dijejerkan. Tapi nggak tau kenapa huruf ‘m’ itu nggak dipanggil dengan ‘double n’, tapi para penemu huruf lebih menyebutnya berbeda, dipanggil ‘em’ gitu aja. Kenapa dibedain, kalo hampir mirip? Kalo dilihat dengan analisa ngacoku, jadi huruf ‘m’ itu urutannya disebut lebih dulu daripada huruf ‘n’. Kalo huruf ‘m’ disebut ‘double n’, terus ‘n’-nya itu apa? Apalagi kalo habis nyebut huruf ‘m’ kemudian berhenti istirahat, atau berhenti karena bingung dengan sebutan huruf ‘en’, huruf ‘n’ yang urutannya habis huruf ‘m’ jadi nggak kesebut, jadinya huruf ‘n’ jadi nggak dikenal.

Kalo huruf ‘w’, dia disebut setelah huruf ‘u’, jadinya saat ‘w’ disebut, ‘u’ sudah dikenal. Jadi nggak terlalu susah nyebut bahwa ‘w’ itu ‘u’ yang didobel, alias ‘double u’. Bahkan kalo ‘w’ disebut sebagai ‘v’ yang didobel sekalipun juga nggak apa-apa, soalnya urutan huruf ‘v’ juga tepat di depan huruf ‘w’. Kecuali kalo ‘w’ disebut dengan ‘double z’, mungkin penyebutan ‘w’ perlu direvisi lagi nih.

Jumat, 03 Januari 2014

Ruwet

Sering kita nggak ngerasa bahwa waktu bagi orang lain berjalan sejalan sama dengan waktu yang kita jalani. Apalagi kalo udah cukup lama kita nggak memperhatikan sesuatu, rasanya masih baru kemaren aja ngejalaninya. Kaya kemaren nih, aku baca sebuah tabloid olahraga. Eh ternyata Bastian Schweinsteiger itu umurnya sekarang udah 28 tahun, hampir sama kaya umurku. Padahal seingatku, beberapa tahun yang lalu aku baru membaca kalo Schweini adalah pemain muda prospek cerah masa depan Bayern Muenchen dan tim nasional Jerman. Kok cepet banget ya dia umurnya mau sama kaya umurku. Baru kemudian aku nyadar kalo ‘beberapa tahun’ yang aku maksud tadi ternyata udah sekitar 8 tahunan, saat dia berumur 20 tahunan, hampir sama juga kaya aku, itu bagi umurku juga sekitar 8 tahun yang lalu.

Sama nih kaya yang aku alami beberapa waktu lalu, saat ketemu temenku Agan (bukan namanya yang sebenarnya). Nggak kerasa udah sekitar dua tahunan nggak ketemu dia. Si Agan ini sering jadi obyek di tulisanku dengan cerita-cerita uniknya. Dulu, pas cerita pertamanya aku posting di blog, yang cerita Roro Jonggrang itu, aku pikir dia bakal marah apa gimana gitu ke aku, karena kisah hidupnya aku ekspos di blogku. Eh ternyata malah dia narsis pengen eksis, minta cerita-cerita dia yang lain dibikin tulisannya.

Sama kaya ketemuan yang ini, dia minta ceritanya ditulis lagi di blogku. Pada dasarnya aku nggak mau bikin tulisan, soalnya kisahnya biarpun unik tapi bikin bosan, terutama buatku. Kebetulannya aku lagi kering ide buat blog, ada gagasan tapi nggak bisa ngembangin ide. Jadilah kisahnya mulai aku tulis deh. Ceritanya hampir mirip kaya cerita-ceritanya dulu, masih seputar kisah hubungannya dengan cewek. Si Agan sendiri bingung nyeritainnya, karena kata dia cerita ini sangat rumit, ruwet, dan berakhir tidak bahagia. Ceritanya gini, beberapa tahun yang lalu dia menjalin hubungan sama seorang cewek remaja, baru lulus sekolah. Si Agan sendiri kan seangkatan sama aku, paling dia juga dulu sekolah di mana juga nggak inget. Sebenernya perbedaan jarak umur yang cukup jauh ini nggak mempengaruhi hubungan mereka, apalagi si Agan ini orangnya cukup sabar ngadepin dan ngemong ceweknya. Dia juga sering ngalah demi kelangsungan hidup mereka berdua.

Kisah mereka mulai berwarna saat datang ujian tiba. Cewek Agan yang emang cantik dan primadona ini kemudian ada seseorang yang naksir. Kebetulan si cowok ini umurnya nggak jauh beda sama cewek Agan ini, biar lebih mudahnya kita sebut Aganwati aja. Dan yang lain, cowok ini juga kenal cukup dekat dengan Aganwati. Cowok ini masih sekolah dan waktu itu akan menjalani ujian akhir kelulusan. Dia udah ngerasa cinta mati banget sama Aganwati, sehingga kegiatan belajarnya berantakan gara-gara dia sibuk ngedeketin Aganwati.

Si Aganwati ini punya sifat nggak tegaan dan punya prinsip hidup suka berbuat kebaikan untuk semua temannya. Jadinya dengan keruwetan tersendiri, yang juga bikin Agan bingung, Aganwati menganggap bahwa semua orang yang suka sama dia juga berhak dibahagiakan olehnya. Tambah ruwetnya lagi, Aganwati minta ijin kepada Agan buat ngebahagiain si cowok tadi untuk sementara. Dengan alasan umur Agan lebih tua, sehingga lebih bisa memahami keadaan, Aganwati meminta pengertian Agan untuk bersabar sementara. Dan konyolnya, si Agan mau aja disetengahduakan.

Cerita rumit cinta setengah segitiga ini bikin Agan pusing juga akhirnya. Agan nggak bisa menolak apapun yang diminta Aganwati. Tapi ternyata kondisinya semakin menyudutkan Agan, karena akhirnya nggak ada ruang gerak lagi bagi Agan untuk mendekati Aganwati. Si cowok tadi sangat posesif dan menganggap bahwa Aganwati ini miliknya seorang. Dan lagi, dia banyak banget tuntutan ke Aganwati. Sebenarnya cowok tadi tau kalo Aganwati ini punya kekasih, yaitu si Agan, tapi cowok ini nggak tau kalo Aganwati hanya cuma sementara aja membahagiakan dia, demi menemani si cowok sampe setelah ujian sekolah, biar sekolahnya nggak berantakan.

Karena terbatasnya ruang gerak Agan akhirnya, dia minta waktu buat ngebahas ini. Tapi yang ada malah Aganwati nggak bisa ngijinin Agan buat ketemuan sama dia. Akhirnya Agan udah mulai tidak sabar dengan keadaannya yang terjepit. Saat berikutnya dia memutuskan untuk mengakhiri semua kisah nggak menguntungkan ini, karena dia mulai menganalisa bahwa ternyata Aganwati juga mulai condong ke cowok tadi. Dan begitulah, lambat laun kemudian, meskipun sulit Agan menatap masa depan lagi.

Untungnya Agan ini bukan tipe orang yang lebay dan alay, yang nyeritain cerita sedihnya sendiri, yang dia alami sendiri, sambil nangis-nangis. Aku sendiri juga meskipun nggak secara detail menyimak ceritanya, menyadari bahwa alur kehidupan itu banyak warna, bahkan bisa berasal dari berbagai hal yang kita cintai dan sukai. Sedikit banyak hal-hal tersebut berpengaruh bagi perjalanan hidup kita, bisa menjadi pelajaran buat masa depan kita. Dan meskipun kenangan pahit itu harus segera dilupakan, namun ada bagian-bagian hikmah yang harus melekat pada pikiran kita dan menjadi landasan dasar operasional hidup kita.

Akhirnya aku dan Agan kembali berpisah. Dalam hati aku bersyukur punya teman seperti Agan, yang mempunyai variasi kisah, terutama berkaitan tentang kisah percintaannya. Dan meskipun Agan sekarang tidak lagi memiliki kekasih, tapi terlihat jelas bahwa Agan lebih menjalani hidup yang bahagia daripada saat masih menjalani kisah ruwetnya tadi.

Kamis, 02 Januari 2014

Mengikhlaskan Kesabaran

Manusia adalah sekumpulan makhluk yang cenderung memperhatikan apa yang bisa didapat dari apa yang diberikan. Kebanyakan perintah-perintah Allah tentang ibadah juga diberi tambahan iming-iming tentang pahala dan balasan apa yang didapat manusia itu jika mereka melakukannya. Padahal ibadah itu merupakan kewajiban dan kebutuhan dari manusia itu sendiri, bahkan untuk agar manusia melaksanakannya masih diberi ‘motivasi’ apa yang bisa didapat dari ibadahnya tersebut.

Tapi tentu saja tidak semua hal dari yang kita lakukan bisa mendapat balasan (terutama balasan langsung). Misalnya saja, aku suka bakso, tapi bakso tidak suka aku. Ada banyak balasan yang tidak langsung dan tidak tampak yang akan didapatkan manusia di kelak kemudian hari, bukan langsung didapat. Sehingga manusia memerlukan sebuah sikap yang bisa mendukungnya agar ‘tabah’ dan sabar dengan balasan yang tidak didapat langsung tersebut.

Sikap tersebut adalah tulus dan ikhlas. Ikhlas memberi, tanpa ada pamrih dan mengharap balasan yang bisa langsung diterimanya. Sikap ini bisa mengisi ‘kekosongan’ benak manusia atas sebuah pemikiran logis tentang ‘memberi adalah menerima’. Memberi memang akan menerima, tapi tentunya tidak semua menerima itu terlaksana saat memberi itu juga. Ada beberapa hal yang masih ‘tertahan’, dan untuk menunggu yang ‘tertahan’ tersebut ada satu sikap lagi, yaitu sabar.

Kalo dipikirkan secara mendasar, membalas adalah hak yang diberi. Mau membalas atau tidak, selain tergantung kemauan yang diberi, juga kemampuan yang diberi, serta kepatutannya. Nggak semua pemberian memang bisa dibalas secara langsung karena ketiga faktor tersebut, sehingga ada kalanya balasan (kalaupun dibalas) nilainya tidak sebanding dengan yang sudah diberikannya.

Makanya bagaimanapun, memberi itu juga harus disertai dengan sikap ikhlas, jadi kalo nggak dibalas ya nggak apa-apa, kan masih punya ikhlas. Dan juga, kalopun tidak (ataupun belum) dibalas, ya harus sabar. Merunut bahwa hidup itu hanya sementara, maka sabar itu harusnya juga bisa lebih sementara saja. Kalaupun tidak ada balasan di dunia, mungkin balasan tersebut akan tertahan dan diberikan di akhirat. Jangan sampai kesabaran kita diikhlaskan hanya karena kita tergesa-gesa menilai sesuatu.

Rabu, 01 Januari 2014

Menggeser Sakit

Dulu aku pernah mengucapkan doa yang konyol tapi tulus. Bukan doa sih tepatnya, hanya sebatas ujaran saja. Ceritanya suatu ketika keluarga adikku dari Bekasi datang ke Kediri. Mungkin karena kombinasi antara cuaca yang berbeda ditambah dengan suasana di dalam bis selama perjalanan, anaknya yang keponakanku itu jadi kena flu. Melihat bayi usia enam bulan sakit tanpa bisa ngapa-ngapain, tentu saja bikin siapa saja yang menyayanginya iba dan kasihan. Dan aku, karena pengen dia kembali normal dan nyaman, kemudian secara spontan berujar bahwa kalo saja aku yang merasakan sakitnya maka akan lebih baik, karena aku lebih bisa dan tahu bagaimana mengatasi sakitnya.

Mungkin secara spontan atau tidak sengaja (atau mungkin juga sengaja), jika ada orangtua yang anaknya masih bayi atau balita sakit, permohonan seperti itu yang terlontar di dalam doanya. Karena kasihan melihat mereka yang sakit tanpa tahu bagaimana mengatasinya, orangtua pun berharap bahwa sebaiknya sakitnya digeser ke dia, atau ditukar dengan kesehatan mereka. Padahal kalo dipikir, permohonan seperti itu bisa dibilang adalah permohonan yang ‘egois’, di mana orangtua hanya memikirkan diri sendiri daripada anaknya.

Kok bisa begitu? Misalnya saja seorang ibu, yang bayinya berusia 6 bulan sakit flu, sehingga rewel dan menangis terus menerus. Kemudian ibu tersebut berdoa agar penyakitnya dipindah ke dirinya. Kalo hitungannya doanya dikabulkan, ibu tersebut sakit, dan kemudian anaknya sembuh, terus kemudian bagaimana ibu tersebut akan mengurus anaknya yang sehat sedangkan dia dalam keadaan sakit. Kalo dia memaksa mengurus anaknya, dan anaknya bisa kena resiko tertular, maka itu adalah sebuah kerepotan baru.

Itu kalo hitungannya doa ibu tadi dikabulkan dan sakitnya berpindah. Tapi bisa jadi malah keduanya sakit. Ibunya ikut sakit sedangkan anaknya nggak sembuh juga. Jadi kedua-duanya sakit dalam waktu yang bersamaan. Maka juga akan menimbulkan sebuah kerepotan baru yang berganda.

Makanya, memang berdoa untuk kejelekan itu tidak dianjurkan, bahkan bila kejelekan itu ditujukan untuk diri sendiri. Seharusnya yang dipermohonkan dalam doa orangtua untuk anaknya adalah doa kesembuhan anaknya, bukan doa ‘pengalihan penderitaan’. Dengan kesembuhan untuk semuanya, maka tidak ada kerepotan baru yang timbul karena ada salah satu yang sakit. Sang anak bisa bermain dan beraktifitas seperti biasanya, demikian juga dengan sang ibunya, bisa beraktifitas dan mengurus anaknya dengan normal pula. Semua sehat, semua bahagia…!

Dan entah karena tadi ujaranku dikabulkan ataukah kebetulan tertular, aku pun ‘berhasil’ sakit. Tapi sayangnya, bukannya karena ‘pergeseran’ sakit, karena keponakanku masih tetap sakit. Dan akhirnya, aku sendiri yang mendapatkan kerugian, karena sekitar dua hari berikutnya aku tidak bisa menemaninya bermain-main. Untungnya aku ‘hanya’ pamannya, yang nggak setiap saat bersama dia, sehingga ibunya yang sehat masih bisa mengurusnya dengan baik.

Daftar Blog Saya