Selasa, 24 Desember 2013

Idealisme Jalanan (bagian 2)

Suatu hari, di sebuah persimpangan jalan. Sedang berhenti karena lampu lalu lintas menyala merah. Tiba-tiba dari samping ada orang yang dengan tanpa merasa bersalah terus berjalan tanpa berhenti. Nggak seberapa lama kemudian lampu udah menyala hijau, dan nggak sampai 500 meter kemudian aku udah mendahului orang yang menerobos lampu lalu lintas tadi.

Kalo begitu apa istimewanya menerobos lampu lalu lintas kalo ternyata nggak bikin lebih cepat daripada orang-orang yang berhenti? Nggak beda jauh dengan kendaraan-kendaraan lain yang lebih memilih berhenti. Padahal berhenti di lampu merah itu juga nggak lama lo, nggak sampe satu jam lamanya. Jadi merasa kasihan orang yang nggak berhenti tadi karena nggak bisa membedakan warna, lebih merasa kasihan kepada guru-guru sekolahnya yang mengajarkan berbagai jenis warna yang berbeda, lebih merasa kasihan lagi kepada orangtuanya yang membiayai sekolahnya agar bisa menjadi orang yang berguna.

Apalagi kalo lampu merahnya ada penghitung waktu mundurnya. Yang jadi patokan bukan lagi warna lampunya, tapi angkanya. Kalo udah mau angka 1 muncul aja udah pada keburu ngegas aja, padahal lampunya juga belum ganti warnanya.

Eits, tapi ini bukan karena masalah buta warna atau nggak bisa membedakan warna. Ini masalah moral individual, dan masih ada hubungannya dengan idealisme di jalanan. Urusannya bukan lagi dengan guru sekolah atau orangtua, tapi lebih kepada Sang Maha Pencipta, yang menganugerahi manusia untuk bisa berpikir dan membedakan antara yang baik dan yang buruk.

Sering pula yang patuh dan taat peraturan menjadi korban. Pelakunya tidak lain siapa lagi kalo bukan para pelanggar peraturan, si pelahap maut. Udah berhenti di lampu merah, eh malah yang lain nerobos dan nyerempet pula. Bisa jadi mereka berpikir kalo semua orang akan melanggar peraturan seperti mereka, apalagi kalo mereka bawa kendaraan yang gede-gede, yang setiap orang di jalanan harus minggir buat memberi mereka jalan. Karena itulah sering terjadi pemikiran masal, yaitu seseorang yang memikirkan sesuatu dan tanpa sadar orang-orang yang lain juga punya pemikiran yang sama.

Watak, sifat, sikap, dan perilaku memang sering menjadi pembawaan masing-masing individu. Tapi kalo hal-hal tersebut bisa diubah ke arah yang lebih baik dan tidak membahayakan orang lain, harusnya diubah juga. Dan nggak setiap orang yang tidak mau berubah, akan ada orang-orang yang tidak mau terus menerus ‘terperangkap’ dalam ketidakpatuhan tersebut.

4 komentar:

  1. duh mas,di jalan mah kitanya udah hati2 tapi kadang oranglain yg ugal2an kita jadi kena imbasnya deh. Semoga sadarlah para orang-orang yang masih memikirkan dirinya sendiri dan tidak patuh pada aturan..

    BalasHapus
  2. sependapat sama kak yulita :)

    kunjungan perdana dan followers ke 15 :)

    BalasHapus
  3. Setuju .. di jalanan. Menaati peraturan itu merupakan sebuah budaya yang harus dan mau tidak mau benar-benar kita tanamkan sebagai nilai diri ... Kalau melanggar aturan, harus malu ... malu.

    BalasHapus
  4. Yulita Widya N. + Fahrizal Mukhdar: kita sepaham :)
    Dwi Alfina: selamat menjadi follower :), semoga bermanfaat

    BalasHapus

Silakan berkomentar, mumpung gratis lo...!!!

Daftar Blog Saya