Tanya Dilema

Suatu pagi, di tengah-tengah pekerjaan, tiba-tiba ponselku berbunyi. Ada pesan di Facebook Messenger dari seorang temanku.

Seperti Nemo

Ada satu film yang bagiku aneh banget, yaitu Finding Nemo. Inti ceritanya kan ada seekor ayah ikan yang mencari anaknya. Yang aneh itu ternyata ikan ini bisa ngomong. Padahal kalopun ikan bisa ngomong, kan ikan ini ada di dalam air. Coba kita aja yang ngomong di dalam air, kedengeran nggak sama temen kita yang ada di deket kita.

Pakai Bahasa Indonesia

Dari sejak blog pertamaku aku selalu pengen mempertahankan ke-Indonesiaanku, khususnya dalam penggunaan bahasa Indonesia di setiap tulisan blogku. Bukan karena aku nggak bisa bahasa Mandarin, Jepang, Korea, atau India, bukan! Tapi sebenarnya emang nggak bisa sih, tapi bukan itu maksudnya.

Hobi

Hobiku adalah membaca. Aku mendapatkannya dari sebuah majalah anak-anak. Jadi gini awal ceritanya, waktu itu ibuku mengirimkan foto dan dataku ke sebuah rubrik koresponden di majalah anak-anak itu. Dan di bagian hobinya, ibuku menuliskan kalo hobiku adalah membaca.

Power Bank

Di jaman gadget seperti sekarang ini, keberadaan smartphone menjadi bagian kehidupan bagi beberapa orang. Tapi di balik kecanggihan dan segala kelebihannya, ada salah satu sisi di mana smartphone justru lebih boros dalam pemakaian daya baterainya.

Sabtu, 30 November 2013

Metode Belajar

Tidak ada salahnya meniru cara belajar teman, terutama dari para jenius. Karena bisa jadi cara belajar mereka bisa kita terapkan untuk diri kita sendiri, meskipun sebenarnya semua orang punya caranya sendiri-sendiri dalam hal belajar yang baik dan benar, serta yang mudah dan gampang dilaksanakan.

Berawal dari iseng membaca buku catatan temanku, Bro Salim Darmadi pada saat waktu luang di SMP dulu, aku menemukan cara belajarku sendiri diadaptasi dari caranya mencatat pelajaran. Mungkin saja banyak yang penasaran bagaimana orang sepintar Bro Adi membuat catatan dan bagaimana caranya belajar, tapi waktu itu aku benar-benar lagi iseng aja membaca bukunya yang tergeletak begitu saja di meja. Aku perhatikan buku tulis tersebut, sekilas dari membaca halaman pertama terlihat bahwa dia menggunakan sebaris di lembar buku tulis untuk menulis dua baris, jadi satu bari dijadikan dua untuk menulis. Kebetulan buku itu adalah buku yang ukurannya agak besar, jadi mungkin cukup untuk menulis dua baris di satu baris yang sudah disediakan dalam buku.

Itu baru pengamatan awal saja. Pengamatan berikutnya hasil dari membolak-balik buku, ternyata buku itu bukan khusus untuk satu pelajaran saja, melainkan campuran dari beberapa pelajaran, yang jadi satu dan dipisahkan satu sama lain dengan tulisan titel mata pelajaran di atas catatannya. Dan pengamatan berikutnya adalah catatannya sebenarnya tidak cukup rapi susunannya menurutku, tapi mudah diingat dan dimengerti terutama bagi penulisnya sendiri.

Dari pengamatan tersebut, aku membuat metode belajarku sendiri waktu itu. Aku menyediakan sebuah buku tulis khusus untuk catatan campuran. Tentunya aku mencatat semua pelajaran dalam buku tersebut, sama seperti yang dilakukan Bro Adi tadi. Kemudian dari catatan tersebut aku kemudian menyalinnya di buku yang lebih khusus untuk mata pelajaran tertentu.

Prakteknya, setiap kali pelajaran di dalam kelas, apapun pelajarannya aku tulis di buku campuran. Kemudian hasil dari mencatatku di buku tersebut aku catat dan salin kembali di buku yang khusus untuk mata pelajaran tertentu, di malam sebelum mata pelajaran tersebut diajarkan kembali. Misalnya hari Senin ada pelajaran Matematika, Sejarah, dan Biologi. Aku mencatat pelajaran Matematika, Sejarah, dan Biologi di buku campuran. Kemudian hari Kamis ada pelajaran Sejarah lagi. Hari Rabu malam aku menyalin catatan Sejarah dari buku campuran ke buku pelajaran Sejarah.

Prinsipnya sama dengan mengulang apa yang diajarkan pada hari Senin untuk dicatat sekaligus otomatis dipelajari dan diingat kembali untuk hari Kamis. Jadi belajar lebih ringkas, apalagi bagiku yang sulit mempelajari sesuatu. Dan hasilnya, nilaiku di akhir tahun itu meningkat dibandingkan masa-masa sebelumnya.

Mungkin cara tersebut terkesan ribet, berbelit-belit, atau malah menyulitkan diri sendiri. Tapi begitulah cara yang menurutku lebih mudah. Dan cara tersebut juga aku pakai di tingkat pendidikan selanjutnya juga. Hanya satu kelemahannya adalah jika menemui teman yang agak malas mencatat, kemudian pinjam catatan temannya yang lebih lengkap. Kalo kemudian yang dipinjam catatanku, aku harus merobek lembar catatan dari buku campuranku tadi untuk dipinjamkan. Dan kembalinya pun tidak selalu satu atau dua hari, bisa sampai hari di mana pelajaran tersebut kembali diajarkan.

Jumat, 29 November 2013

Odong-Odong

Suatu ketika aku tertarik pada sebuah artikel dalam sebuah blog setelah sang pemilik blog mengisi komen di blogku. ‘Kesetiaan Tukang Odong-odong Pada Lagu Anak’ judul blognya, menceritakan bahwa tukang odong-odong adalah satu pihak yang paling setia memutar dan menyiarkan lagu anak-anak. Mungkin sebuah kalimat yang terkesan ironis, tapi mirisnya memang begitulah adanya yang terjadi di dunia nyata.

Yang aku amati sendiri dari lingkunganku, di Jalan Tamtama, jalan utama di desaku, di mana setiap sore sampai malam hari berjajar bapak-bapak tukang odong-odong, seolah dari mereka bersahut-sahutan lagu anak-anak menyuara seiring berputarnya becak goyang mereka menghibur anak-anak yang sedang naik di atasnya. Berdampingan dengan alunan lagu-lagu Sagita yang disetel oleh para penjual VCD di jalan yang sama. Lagu anak-anak masih sangat tepat untuk menemani anak-anak kecil dengan tawa-tawa riang mereka menaiki wahana hiburan murah meriah tersebut.

Berlawanan dengan apa yang terjadi di malam takbiran Idul Adha kemarin. Sebuah mobil bak terbuka, berisi anak-anak kecil yang seharusnya mengumandangkan kalimat takbir, tahmid dan tahlil dalam rangka menyambut hari raya keesokan harinya, tapi yang berkumandang malah lagu ‘Hamil Duluan’ yang dinyanyikan serempak tanpa cela oleh anak-anak kecil tersebut. Orang-orang dewasa yang ada di mobil pun seolah tidak memprotes apa yang mereka lakukan, sehingga anak-anak tersebut merasa bahwa mereka tidak bersalah menyanyikan lagu tersebut.

Pergeseran budaya pasar, mengorbankan hak anak-anak untuk mendengarkan lagu-lagu yang sesuai bagi mereka. Jarang sekali lagu-lagu yang tersedia bagi mereka di media-media elektronik terutamanya. Ditambah pula, kurang sadarnya para orangtua menyediakan kaset atau VCD berisi lagu-lagu anak-anak di rumah. Anak-anak sekarang lebih suka mendengarkan lagu-lagu dewasa sebagai pengantar tidur daripada mendengarkan lagu-lagu yang bertema ‘kekanakan’ sebagai bekal pemikiran mereka. Bagi beberapa orangtua, anak-anak yang bisa nyanyi lagu dewasa terlihat lucu dan membanggakan.

Kalo bagiku sebenarnya ada satu lagi pihak yang masih setia dengan lagu-lagu anak-anak, yaitu para guru TK. Namun sayangnya TK hanya mempunyai waktu beberapa jam untuk mengisi pendengaran anak-anak dengan lagu-lagu mereka.

Kamis, 28 November 2013

Generalisasi; Karena Nila Setitik...

Sering banget denger hal-hal seperti ini, ‘Orang dari daerah ini biasanya berkelakuan kasar’, atau ‘Orang dengan zodiak ini seringnya bernasib sial’, atau anggapan-anggapan lainnya lagi yang terkesan meng-‘umum’-kan. Padahal hanya karena menemui banyak orang dengan ciri-ciri tertentu yang sama, bukan berarti semua orang di dunia ini dengan ciri-ciri tertentu yang sama tersebut adalah orang yang sama.

Yang muncul dari generalisasi ini tentu saja anggapan, sebuah anggapan yang mewakili semuanya. Yang kemudian lebih mengesankan bahwa sifat dari sebuah kondisi tertentu berlaku bagi semua anggota dalam sebuah komunitas. Hal seperti ini malah memunculkan sebuah ‘tuduhan’ (kalo gak bisa disebut ‘prasangka’), bahwa hal-hal di atas berlaku bagi semua.

Hampir sama terjadi muncul dalam berbagai ramalan, entah itu dari budaya peradaban kuno, ataupun malah yang keluar lewat internet. Generalisasi dari sebuah kondisi dan diperluas melalui ilmu yang kalo orang Jawa bilang ilmu ‘titen’ (atau ilmu mengingat/memperhatikan). Anggapan, ataupun kepercayaan, yang dipelajari dari beberapa sampel untuk menganalisa sebuah keadaan di suatu lingkungan (wah, kok jadi kayak statistik ya?). Tapi memang begitulah yang terjadi, dan sering tanpa sadar kita sendiri juga terseret, atau malah mengamalkannya tanpa sengaja.

Misalnya, seperti contoh di atas, kita menemui atau tahu beberapa orang dari sebuah daerah dengan sifat-sifat dan ciri-ciri yang hampir sama, bisa jadi karena budaya dan tradisi, atau mungkin saja kebetulan, maka bisa jadi kita beranggapan bahwa semua orang di daerah tersebut bersifat seperti itu. Atau, kalo kita menemui ada beberapa perilaku dari sebuah komunitas yang sama, kita bisa beranggapan bahwa komunitas tersebut berperilaku seperti itu.

Memang, semua itu tidak sepenuhnya salah, tapi juga tidak semuanya benar. Jangan sampai saja karena sebuah anggapan, semuanya mendapat cap yang sama, yang seperti ini sama saja dengan menganggap semua sama. Kalo baik sih gak apa-apa, tapi kalo jelek dan tercela, bisa jadi anggapan tersebut menyempit sebagai tuduhan bagi beberapa pihak yang tidak berperilaku seperti itu.

Selasa, 26 November 2013

Kembali ke Suatu Masa

Pernah gak suatu ketika punya keinginan kuat buat kembali ke masa lalu, ke sebuah momen, kemudian mengulang lagi kehidupan mulai dari titik tersebut bagaimanapun pahit manisnya? Aku pernah, sering malah! Pengen kembali ke masa-masa sekolah, atau ke masa kecil, atau ke masa-masa tertentu, kemudian menjalaninya kembali sampai kemudian ke masa sekarang ini. Tapi terkadang setidaknya ada dua hal yang bikin aku merasa hal tersebut sangat sulit untuk dijalani.

Pertama, tidak mudah berada di keadaan dan posisiku yang sekarang. Kilas balik ke belakang, banyak perjuangan yang panjang membentang, sampai akhirnya aku menjadi seperti ini. Dan untuk menjalani itu semua kembali, rasanya sulit banget, banyak hal yang mungkin kalo aku jalani kembali bisa jadi malah tidak bisa aku lewati masa-masa itu, bahkan mungkin aku tidak akan mencapai posisiku yang seperti sekarang ini.

Kedua, kembali ke kehidupan masa laluku adalah sangat tidak mungkin. Hidup adalah garis lurus.

Senin, 25 November 2013

Salah Kaprah Kehidupan Berkomputer (bagian 1)

Antivirus
Sering banget dapat pertanyaan gini, ‘Apa sih antivirus yang paling bagus?’ Emang bener kalo antivirus itu ada beberapa tingkatan berdasarkan kinerja, pemakaian ruang harddisk, ataupun cakupan pemindaian, tapi dengan pertanyaan di atas aku hanya bisa menjawab ‘Tidak ada antivirus yang bagus kecuali yang diupdate’. Tanpa update, antivirus itu bagaikan program usang yang hanya bisa menjangkau virus-virus lama. Padahal setiap saat bisa bermunculan virus-virus baru, yang diperlukan database virus yang lebih baru dan lengkap pula untuk dipasang dalam program antivirus, agar antivirus tersebut berjalan sempurna. Tanpa update, antivirus itu bagaikan program yang hanya memperberat laju jalannya sebuah komputer.
Pernah tanpa sengaja ngedengerin dua orang bapak-bapak yang lagi ngomongin tentang antivirus. Kata bapak yang satunya, sambil menyebut sebuah merk antivirus lokal, antivirus tersebut gak cukup kuat buat membasmi virus. Pakai aja antivirus yang satunya dengan merk internasional. Kalo aku sih kembali pada sebuah jargon, antivirus lokal itu sangat ampuh untuk virus lokal. Sedangkan untuk virus internasional, pakailah antivirus internasional pula. Dan sepertinya virus yang lagi diomongin bapak-bapak tadi emang virus internasional, yang tidak terlihat dalam pemindaian antivirus lokal.
Jadi, belum tentu antivirus lokal itu jelek dan gak mutu, gak bisa menghilangkan virus. Liat dulu jenis virusnya, baru komentar. Dan satu lagi, jangan lupa untuk selalu mengupdate antivirusnya.

Memori
‘Memori komputermu itu berapa Giga?’
‘2 GB.’
Si penanya tersebut sebenarnya mau tanya berapa kapasitas penyimpanan komputer, tapi dia tidak menyebut media penyimpanan komputer dengan harddisk, melainkan memori, Dia menjadikan memori eksternal HP sebagai standar kapasitas memori. Padahal komputer tidak pakai memori tersebut sebagai media penyimpanan utama.
Yang disebut memori di komputer adalah suatu benda yang lebih dikenal sebagai RAM (Random Access Memory), sebuah media penyimpanan sementara di mana segala proses komputer dan sistemnya ditempatkan sebelum kemudian disimpan secara lebih permanen di harddisk. Sedangkan media penyimpanan utama sebuah komputer lebih disematkan kepada harddisk, dan tidak perlu dibandingkan berapa kapasitas karddisk dengan memori eksternal dari HP.

Proses Macet
Sering banget liat para pengguna komputer kesal karena proses komputer agak lama. Kemudian beberapa di antaranya mengetuk-ngetuk (atau lebih tepatnya menggebrak-gebrak) monitor. Padahal apa salah monitor?
Istilahnya monitor itu hanyalah alat penayang saja, pengantar hasil proses dari CPU (Central Processing Unit). Sedangkan pemrosesnya ya tentu saja CPU itu sendiri. Kalo kemudian yang digebrak-gebrak monitornya, bisa jadi tindakan ini digolongkan sebagai malpraktek, tindakan di tempat yang tidak semestinya.

Menyalahkan Program
Sebuah saran: jika tidak percaya pada kinerja sebuah program komputer, maka jangan pernah memakai komputer! Pernah gak suatu ketika bekerja dalam sebuah perhitungan rumit menggunakan program spreadsheet, kemudian hasilnya gak sesuai, dan kemudian lagi programnya yang disalahkan? Sebaiknya kita yang harus ngaca dulu, teliti satu per satu proses yang dimasukkan, barangkali ada yang salah. Dan jika ternyata ada yang salah, segera perbaiki, dan kemudian program akan dengan senang hati menunjukkan hasil yang sesuai.
Kebanyakan kesalahan dari sebuah proses komputerisasi berasal dari penggunanya. Komputer hanyalah mengerjakan apa yang diinputkan melalui media input berupa keyboard, mouse, scanner, ataupun media yang lain. Kecil kemungkinan program komputer membelot dengan memproses data yang salah, sebuah data yang tidak melewati proses input tersebut. Namun sayangnya, tidak banyak pengguna komputer yang menyadari bahwa input mereka adalah salah.

Casing Jelek = Performa Jelek
Belum tentu casing CPU yang jelek menghasilkan kinerja yang jelek. Bisa jadi di balik casing yang jelek, usang, dan butut tersebut, tersimpan super CPU yang bekerja sangat cemerlang. Tentu saja, kinerja komputer tidak bergantung pada jenis casingnya, tapi bagaimana jenis pemrosesnya.
Sayangnya kebanyakan orang masih sering ilfeel saat melihat casing CPU yang jelek. Di antaranya kemudian berbalik dan mencari CPU dengan casing yang terlihat lebih bagus. Yang lainnya, masih mau menggunakannya, tapi saat menemui masalah kecil saja, bisa jadi mereka langsung minta komputer yang lebih baru. Padahal bisa jadi, di dalam casing jelek itu tersimpan teknologi komputer yang terbaru.

Ukuran Kertas
Sering sekali dijumpai pengguna komputer menggunakan ukuran kertas legal untuk dokumen kertas folio. Padahal ukuran kertas Legal dengan Folio berselisih sekitar 2 cm. Dengan selisih sebesar itu, pasti banyak perbedaan, terutama bila dokumen yang disetting untuk kertas Folio dipasang dengan setting kertas Legal. Masalahnya akan muncul pada saat dokumen tersebut dicetak.
Kebanyakan dari pengguna umumnya malah tidak mensetting kertasnya sama sekali. Mereka lebih berprinsip: buka program, ketik, cetak. Padahal umumnya sebuah program mengetik yang standar tanpa ada pengaturan default lebih lanjut, default pengaturannya ada di kertas A4, dengan margin hampir sama: 2,54 cm atau 1 inci. Jika dokumennya memang untuk dicetak di kertas A4, pengaturan awal tersebut tidak akan terlihat. Tapi akan terlihat saat dicetak dengan kertas lainnya.

Itulah beberapa kesalahan tapi kebiasaan yang sering terjadi dengan kehidupan berkomputer di masyarakat awam. Tentulah bukan mereka yang salah, apalagi jika mereka tidak dan belum mengerti (terutama jika mereka benar-benar tidak dan belum mengerti). Ya mungkin tidak banyak informasi yang bisa didapatkan tentang bagaimana hakekat berkomputer yang baik dan benar, atau mungkin sedikit sekali sumber yang bisa ditanyai bagaimana dengan masalah-masalah tersebut. Yang pasti hal tersebut bisa menjadi pembelajaran, bukan hanya bagi yang belum tau, tapi juga yang sudah tau, bahwa tidak semua orang mempunyai pengetahuan dan pengertian seperti mereka yang sudah tahu.

Minggu, 24 November 2013

No Pic = Hoax

Dalam beberapa posting blogku, ditemui beberapa komentar berupa ‘no pic = hoax’. Suatu hal yang wajar bagiku, mengingat apa yang ditulis dalam blog adalah cerita yang dialami penulisnya sendiri, yang mungkin bagi para pembacanya masih diragukan kebenarannya. Dan lagi mungkin para pembaca belum pernah bertemu dengan penulisnya sehingga mungkin kejujuran cerita penulis belum bisa dijamin.

Akan tetapi komentar seperti ini tidak sesuai dengan etika weblogging. Komentar seperti ini tidak seharusnya ditulis di blog, mengingat komentar tersebut dinilai meragukan penulisnya, sehingga perlu dihindari dalam kegiatan blogwalking. Bahkan untuk orang yang sudah benar-benar saling mengenal pun, sebaiknya ini juga tetap dihindari karena bisa berpengaruh bagi semua pembacanya.

Kalimat ini sering muncul di forum atau jejaring sosial. Hal ini cukup biasa di sana, mengingat forum atau jejaring sosial berbeda strukturnya dengan blog, yang tidak perlu bacaan panjang dan penjelasan rumit karena segmennya lebih luas. Terlebih lagi di situ mungkin bacaan panjang terasa membosankan bagi para pembacanya dan tidak lebih berharga daripada trit pendek tanpa inti.

Aku yakin bahwa selain para weblogger gemar menulis, mereka juga senang membaca, tentunya dengan topik yang menarik pembacanya. Sehingga komentar yang muncul bukanlah komentar yang merendahkan penulis maupun isi tulisannya. Kalaupun pembacanya tidak setuju dengan tulisan tersebut, para pembaca harusnya memberi komentar yang tidak bersifat menyerang, namun hal yang mengandung solusi, serta memberikan argumen yang lebih cerdas dan mendasar.

Bagaimanapun para weblogger juga masih membutuhkan para pembaca dan komentatornya, bahkan meskipun para penulis tersebut ikhlas berbagi demi kepuasan hatinya sendiri. Karena kalo mereka tidak membutuhkan pembacanya, bagi mereka lebih baik menulis di buku harian daripada di blog. Namun pembaca juga harusnya memahami bahwa bagi beberapa penulis tidak mudah membuat sebuah tulisan, tidak mudah menemukan ide, dan tidak mudah mengalirkan ide ke dalam sebuah tulisan. Kalo kemudian tulisan tersebut ‘dihabisi’ dengan kata-kata ‘no pic = hoax’, hilanglah kepercayaan kepada para penulis. Mungkin para penulis blog akan beralih kegiatan menjadi para pengunggah foto saja daripada membuat tulisan panjang.

Seni adalah apa yang terjadi dengan kreatifitas seseorang.

Sabtu, 23 November 2013

Menyampah

Banjir adalah sebuah efek berantai, dampak akibat dari berbagai sebab. Salah satunya adalah hilangnya jalur pembuangan air karena tertutup sampah. Seringnya pemerintah yang dituding sebagai biang kesalahan karena lamban menangani banjir dan kurangnya pembangunan sarana prasarana pencegah dan pengendali banjir.

Tapi sebaiknya jangan melihat sesuatu dari satu sisi saja. Lihat juga bagaimana dari sisi masyarakat. Masyarakat Indonesia memang suka membuang sampah pada tempatnya. Namun masalahnya, kebanyakan menganggap bahwa semua tempat adalah tempat sampah, sehingga sampah bisa dibuang di mana saja.

Budaya ini sudah berlangsung sejak lama, berlanjut turun temurun. Coba saja kita lihat, saat orangtua membukakan kemasan snack untuk anaknya, kemudian amati di manakah mereka membuang kemasannya, buang begitu saja di tempat itu ataukah disimpan untuk kemudian disimpan di tempat sampah. Perilaku ini yang akan tersimpan dalam memori anaknya, sebuah pelajaran hidup. Jika dilempar begitu saja, anak menganggap hak itu tidak apa-apa untuk dia lakukan.

Makanya, persoalan sampah tidak akan selesai, malah dari hari ke hari makin menumpuk. Karena volume sampah yang dimusnahkan dalam satu hari hanya seperberapa persen dari volume sampah yang timbul dalam satu harl. Tiada tempat tanpa sampah, tak terkecuali dengan jalan aliran air.

Kalo udah begini, siapa yang harus disalahkan? Bagi kita, akan lebih baik untuk melakukan hal-hal yang baik, meskipun mungkin hanya kita yang melakukannya. Jangan sampai hanya karena kita yang melakukannya sendiri, kita malah terseret ke arah yang berlawanan. Jika tradisi buruk masih berlanjut, maka yang bisa kita lakukan hanyalah pasrah dengan banjir yang terjadi, sambil menyalahkan pihak lain tanpa mau tahu kesalahan kita, tidak jauh beda dengan orang lain. Kita tidak akan menjadi generasi yang lebih baik daripada generasi sebelum kita tanpa memulai dari diri kita sendiri, untuk ditularkan dan diwariskan kepada generasi selanjutnya.

Jumat, 22 November 2013

Dendam Berantai

Setelah berhasil membunuh Tunggul Ametung dan menjadi raja di Tumapel, Ken Arok tewas dibunuh Anusapati, yang merupakan anak dari Tunggul Ametung. Anusapati kemudian mati dibunuh oleh Tohjaya, anak kandung Ken Arok. Dan Tohjaya pun mati di tangan anak Anusapati bernama Ranggawuni.

Sebuah episode berdarah pada masa awal berdirinya kerajaan Singosari. Sebuah dendam berantai yang mengiringi perjalanan sebuah kerajaan. Tercatat hanya satu raja Singosari yang tidak berakhir dengan pembunuhan, yaitu Ranggawuni.

Begitulah keadaan umum di dunia pendidikan negara kita ini. Begitu memasuki sebuah lingkungan pendidikan baru, para ‘junior’ ini akan mengalami yang namanya ‘efek dendam berantai’. Sebuah keadaan yang mungkin akan disangkal oleh beberapa pihak, namun kenyataannya yang terjadi seperti itu. Atau dengan nama dan istilah lain, MOS atau OSPEK. Sebuah kegiatan yang harusnya menjadi sarana pengenalan lingkungan sekolah bagi murid baru dari pihak sekolah, namun sayangnya pengelolaan pelaksanaannya diserahkan kepada murid senior sekolah.

Padahal murid senior tersebut mengalami hal-hal yang tidak menyenangkan di awal masa mereka dulu. Entah dipicu oleh ‘dendam’, tradisi, atau untuk kejahilan, maka dibuatlah acara yang nyeleneh, di luar nalar, bahkan terkesan mengada-ada. Dulu aku pernah dengar seorang kerabat dari temanku pada saat OSPEK harus membawa beberapa ratus ekor nyamuk yang ditangkap dalam waktu semalam. Memang sih ada cara menangkap nyamuk yang aman dan tidak membuat nyamuk mati, tapi apakah hubungannya kegiatan ini dengan pengenalan lingkungan sekolah?

Padahal mungkin banyak persyaratan yang diajukan kepada para junior ini yang sangat sulit, sama dengan penggerebekan masal nyamuk tersebut. Yang terjadi kemudian adalah para siswa baru ini repot mencari syarat, melibatkan orangtuanya, keluarganya, teman-temannya, tetangganya, bahkan bisa jadi orang yang baru kenal di jalan pun ikut dimintai tolong. Kalo gagal, maka hukuman telah menanti keesokan harinya.

Para staf pengajar yang harusnya selalu mengawasi dan bertanggung jawab, seringnya menyerahkan sepenuhnya kepada panitia yang terdiri dari murid senior ini. Baik buruk, apapun yang terjadi, semua diserahkan panitia pelaksana yang mungkin bisa jadi di antara mereka ada barisan ‘angkatan sakit hati’, ingin menuntaskan dendam masa lalunya. Dan kemudian, di tahun berikutnya, para junior inilah yang meneruskan tradisi ini.

Mungkin kita harus menunggu barisan ‘angkatan yang tidak sakit hati’ dulu baru kegiatan-kegiatan orientasi yang tidak berhubungan dengan dunia pendidikan ini berakhir. Sebagaimana Ranggawuni yang turun tahta dengan damai digantikan oleh anaknya, Kertajaya.

Kamis, 21 November 2013

Friendster

Kalo denger kata-kata Friendster, aku akan teringat saat sekitar 11 atau 12 tahun lalu saat awal-awal kenal internet, di mana chatting lewat mIRC menjadi pilihan utama dan Friendster jadi favorit jejaring sosial. Aku sendiri tidak pernah punya akun di Friendster, tapi di sinilah letaknya di mana memori itu berada.

Di suatu waktu, lagi chatting dan kebetulan nyantol dengan seseorang, terjadilah suatua dialog yang detailnya aku lupa tapi kurang lebih seperti ini. Orang tersebut bertanya, “Punya Friendster?” Dalam hati aku bingung, apaan sih Friendster itu. Aku pikir itu seperti e-mail atau usernam chat, jadi aku jawab aja kalo aku punya. Kemudian dia tanya lagi, “Apa namanya?” Aku jawab dengan nama user chatku. “Cek aja!”, kataku kemudian. “Ada nggak?”, tanyaku lagi. Kemudian orang itu menjawab, “Iya, ada!”

Kalo ingat lagi hal itu, aku jadi berpikir mungkin orang itu menemukan “diriku yang lain” di Friendster. Malah sempat terpikir kalo harusnya waktu itu aku jawab aja “Friendsterku udah dijual”.

Senin, 18 November 2013

Kembali...

Nggak kerasa ternyata udah lebih dari setahun aku nggak posting di sini. Setelah berbagai peristiwa yang terjadi setahun belakangan ini, aku pengen kembali menghidupkan semangat ngeblogku lagi di sini. Apa aja sih peristiwa-peristiwa yang terjadi itu?

Pertama adalah dimatikannya hosting dan domain dari blog indukku di Multiply, setelah kemudian Multiply memilih lebih fokus kepada proyek jualannya ketimbang blog dan media sosial. Padahal selama ini di blog inilah tulisanku mengalir dan disebarkan lagi melalui blog-blog turunan di domain-domain yang lain.

Yang kedua adalah habisnya masa pakai domainku. Selama ini blogku di blogger ini memakai domain berbayar dengan nama klikchuin.com. Dan beberapa bulan yang lalu, masa sewa domainku habis dan karena alasan finansial aku memutuskan untuk tidak memperpanjangnya. Dan kembalilah aku pakai domain asalnya, yaitu chuin5.blogspot.com.

Dan ada beberapa peristiwa lagi yang terjadi. Tapi yang paling utama adalah 'kematian' ideku. Ternyata ideku macet, mampet dan nggak bisa keluar. Kalaupun ada ide, ternyata itu hanya sebatas ide yang gagal aku kembangkan. Maka dari itulah, mumpun sekarang ini sedang melimpah, maka aku akan berusaha kembali ngeblog di blogger ini. Dan untuk itu memang nggak mudah, tapi semoga bisa terwujud.

Daftar Blog Saya