Tanya Dilema

Suatu pagi, di tengah-tengah pekerjaan, tiba-tiba ponselku berbunyi. Ada pesan di Facebook Messenger dari seorang temanku.

Seperti Nemo

Ada satu film yang bagiku aneh banget, yaitu Finding Nemo. Inti ceritanya kan ada seekor ayah ikan yang mencari anaknya. Yang aneh itu ternyata ikan ini bisa ngomong. Padahal kalopun ikan bisa ngomong, kan ikan ini ada di dalam air. Coba kita aja yang ngomong di dalam air, kedengeran nggak sama temen kita yang ada di deket kita.

Pakai Bahasa Indonesia

Dari sejak blog pertamaku aku selalu pengen mempertahankan ke-Indonesiaanku, khususnya dalam penggunaan bahasa Indonesia di setiap tulisan blogku. Bukan karena aku nggak bisa bahasa Mandarin, Jepang, Korea, atau India, bukan! Tapi sebenarnya emang nggak bisa sih, tapi bukan itu maksudnya.

Hobi

Hobiku adalah membaca. Aku mendapatkannya dari sebuah majalah anak-anak. Jadi gini awal ceritanya, waktu itu ibuku mengirimkan foto dan dataku ke sebuah rubrik koresponden di majalah anak-anak itu. Dan di bagian hobinya, ibuku menuliskan kalo hobiku adalah membaca.

Power Bank

Di jaman gadget seperti sekarang ini, keberadaan smartphone menjadi bagian kehidupan bagi beberapa orang. Tapi di balik kecanggihan dan segala kelebihannya, ada salah satu sisi di mana smartphone justru lebih boros dalam pemakaian daya baterainya.

Selasa, 27 Januari 2015

Bapak

Aku dan bapak jarang sekali ngobrol-ngobrol. Maklum, sifat dasar bapak itu orangnya pendiam dan cenderung kaku, dan sifat itu dengan sempurna menurun kepadaku. Jadinya kalo nggak sangat penting banget, kami jarang ngobrol.

Kalo di rumah cuma ada kami berdua, ya seolah-olah kaya anak-anak sekolah yang mau pulang, siapa yang tenang dia yang pulang duluan. Karena kami sama-sama tenang, akhirnya pulang bareng. Lagian mau pulang ke mana lagi, kan udah di rumah.

Karena nggak terlalu sering dan banyak bicara itulah, kami, aku dan ibu, sering nggak memahami maksud dan kemauan bapak. Sehingga harus ada semacam bahasa khusus buat komunikasi kami.

Tapi untungnya ibu lebih banyak bicara dan nggak kaku, sehingga ibu yang sering jadi penghubung komunikasi di rumah. Apalagi kalo udah ada hubungannya dengan pihak di luar rumah kami, ibu yang sering jadi juru bicara keluarga.

Sampai akhirnya, di awal bulan Oktober, bapak tiba-tiba sakit, dan harus dirawat di rumah sakit. Sepanjang pengetahuanku, ini yang ketiga kalinya bapak dirawat di rumah sakit. Yang pertama, waktu itu ceritanya bapak sedang di jalan, mengendarai motor. Dari arah berlawanan, ada sebuah truk yang melaju, yang tanpa diduga, roda depan sebelah kanannya lepas, dan kemudian meluncur ke arah bapak.

Waktu itu bapak dirawat di puskesmas. Setelah sekitar dua hari, dokter yang merawat mengindikasikan perlu perawatan lanjut, karena luka bapak agak parah, akhirnya bapak dirujuk ke rumah sakit tempatku bekerja. Sekitar dua hari berikutnya, bapak udah bisa pulang.

Yang kedua, waktu itu ceritanya bapak minta diantar periksa ke rumah sakit. Di jalan, tiba-tiba ban motorku yang belakang bocor. Setelah berjalan agak jauh, baru ketemu ada tukang tambal ban. Setelah selesai, lanjut deh ke rumah sakitnya.

Sampai di rumah sakit, masuk ruang periksa, baru ditanyain aja dokter udah mendiagnosa bapak kena gejala stroke. Itu karena pas ditanyai dokter, bapak bicaranya agak cadel. Sebenernya, ya emang gitu model bicaranya bapak, nggak terlalu keras, jadi yang diajak ngobrol juga nggak terlalu denger dengan jelas.

Tapi karena udah kena kata-kata “gejala stroke” tadi, aku udah sedikit panik, dan memutuskan merawatinapkan bapak saat itu juga. Nyatanya, ternyata bapak nggak apa-apa. Besok sorenya pulang ke rumah.

Ini yang ketiga, bapak lagi ke masjid buat jamaah sholat Maghrib. Selesai jamaah, ada orang yang mengetuk pintu rumahku. Ternyata teman jamaah bapak, memberi kabar kalo tiba-tiba bapak ambruk dalam posisi terduduk miring ke kanan. Sesaat kemudian, bapak diantar pulang oleh teman-teman jamaah yang lain.

Aku memutuskan untuk segera membawa bapak ke rumah sakit saat itu. Dan sejak saat itu, bapak dirawat di rumah sakit tempatku bekerja, dengan diagnosa stroke, yang ini beneran. Kondisi bapak dengan kesadaran yang kurang, lebih sering nggak sadar, seperti sedang tidur. Kalo membuka mata sebentar, sebentar kemudian udah tidur lagi. Sekitar empat hari kemudian, bapak dirujuk ke Rumah Sakit Bhayangkara Kediri.

Karena di rumah hanya ada kami bertiga, jadilah aku dan ibu bergantian mengurus rumah dan rumah sakit, dengan dibantu oleh beberapa keluarga. Untungnya waktu itu adikku juga pulang dari Depok, jadi lumayan ada tambahan tenaga, selama semingguan.

Bapak dirawat di Rumah Sakit Bhayangkara selama sekitar dua mingguan, sebagian besar di antaranya di ruang ICU. Kalo pas jam bezuk, dan aku masuk ICU, kadang muncul rasa iri dengan pasien lain. Keluarga mereka masuk ke ICU, kemudian menyuapi para pasien ini, menanyai gimana rasanya, dan sebagainya. Dan aku, hanya bisa melihat bapak, sesekali memegang tangannya, sambil mengamati monitor pasien yang menunjukkan tanda-tanda vital bapak.

Saat bapak boleh pulang ke rumah, kondisinya sebenernya nggak jauh beda dengan di rumah sakit. Hanya saja, sering kalo diajak berkomunikasi ada sedikit respon. Anggota gerak sebelah kanan masih lemas, beda dengan anggota gerak yang sebelah kiri. Tapi seenggaknya, kalo di rumah, bapak mungkin bisa lebih merasakan kenyamanan. Kami juga bisa merawat sambil mengerjakan tugas yang lain.

Kini, bapak sudah tiada. Hanya tiga hari di rumah, bapak wafat. Aku masih ingat, semalam sebelumnya sebelum tidur, aku mengaturkan guling beliau, agar tidur dengan nyaman. Tangan beliau juga menyambut guling yang aku atur. Paginya, sebelum berangkat kerja, bersama ibuku juga masih sempat membersihkan badan bapak, mengganti spreinya, dan mengatur tempat tidurnya.

Sosok yang gagah itu udah nggak ada lagi. Secara eksistensi, karena kediaman bapak, kami nggak terlalu merasa jauh beda dengan biasanya. Tapi tetap saja kami merindukan sosok beliau, rutinitas keseharian bapak yang sebenernya gitu-gitu aja, atau mengingat masa kecilku, di mana aku sering ikut bapak kalo lagi kerja.

Bapak, seorang yang pendiam dan kaku, tapi begitu banyak kesan mendalam yang beliau tinggalkan. Dan aku yakin beliau punya cara sendiri buat menyayangi keluarganya. Sering membayangkan, gimana ya masa-masa kecil bapak dulu. Indahkah? Menyenangkankah? Bahagiakah? Kalopun aku nggak bisa mengembalikan kebahagiaan itu untuk beliau, aku hanya terus berharap semoga beliau terus diberikan kebahagiaan di masa hidupnya.

Untuk segala kenangan yang telah kau tinggalkan, terima kasih bapakku.

Senin, 26 Januari 2015

Hari Senin

Hari Senin itu menyenangkan, terutama kalo libur. Kalo nggak libur? Ya masuk kerja dong, orang nggak libur.

Kadang nggak kerasa hari udah hari Senin aja, padahal kemaren masih hari Minggu. Ya gitu hidup itu, kadang nggak kerasa, tau-tau tua.

Biasanya sesuatu yang nggak kita senengi itu datangnya cepet banget, ya kaya hari Senin. Makanya, kalo nggak mau hari Senin kecepetan datengnya, bencilah hari Minggu, mungkin dia akan datang lebih cepat.

Aku juga gitu, benci hari libur, jadinya datangnya kerasa lebih cepat. Saking cepetnya, tiba-tiba udah abis liburannya. Itu mungkin karena kebencianku terlalu berlebihan.

Tapi sebenernya hari Senin itu nggak terlalu menyebalkan banget, terutama kalo pas libur. Apalagi karena hari Senin itu nggak terlalu menakutkan, dibanding hari pembalasan.

Hari Senin, bagi kebanyakan orang adalah hari menyebalkan. Itu sebenernya karena hari sebelumnya, yaitu hari Minggu, mereka libur. Makanya mereka ngerasa hari liburnya kurang, yang disalahin hari Senin. Dan solusinya simpel aja, usahakan jangan libur di hari Minggu. Dan kalo ternyata nggak bisa, maka nikmati hari Minggu kita, dan ceriakan hari Senin kita, tanpa mengeluh.

Dan ada solusi lain sebenernya, agar hari Senin ini tidak menjadi menyebalkan. Yaitu buatlah usul agar hari libur nasional bukan di hari Minggu, tapi di hari Senin.

Di sekolah, hari Senin identik sama upacara bendera. Hari besar nasional juga ada upacara benderanya. Hari pendidikan ada upacara bendera, hari pahlawan ada upacara bendera, sampai hari upacara bendera ada upacara benderanya.

Jadi ingat impian pas lulus SD, yaitu balik lagi jadi murid kelas 1 SD. Sayangnya, karena impianku terlalu absurd, aku akhirnya bisa menjadi murid kelas 1, di SMP.

Minggu, 25 Januari 2015

Aturan

Suatu saat, pasti kita pernah ngalamin yang namanya ketaatan dan kepatuhan kita diuji. Di jalan misalnya, pas berhenti di lampu lalu lintas, ada yang nyelonong pas lampu merah, kita tergoda buat ikutan. Ada orang naik motor, nggak pake helm, kita tergoda buat niruin. Ada orang pake helm, tapi nggak bawa motor, kita tergoda buat nyela.

Dan gini, hal-hal seperti ini sebenernya tergantung dari apa yang menjadi idealisme kita. Kalo kita punya idealisme mematuhi peraturan, kita nggak bakal terpengaruh dengan godaan apapun semacam itu. Tapi kalo kita nggak punya idealisme, atau sekedar seenak sendiri, ya kita pasti ngikut.

Pernah nggak ketemu dengan orang yang melanggar rambu-rambu di depan rambu-rambu itu sendiri? Misalnya, ada orang ngerokok di bawah papan “Dilarang merokok” gitu. Itu rasanya udah kaya ngejambret di depan polisi, polisi beneran, bukan polisi tidur. Itu bukan karena orangnya buta huruf, atau nggak punya mata hati, tapi dia nggak punya idealisme! Dia nggak tahan godaan, buat melanggar peraturan itu. Emang ada alasan gitu?

Semuanya balik ke hal yang itu tadi, jiwa dan mental kepatuhan kita sendiri. Yang perlu diingat adalah bahwa kita, sebagai makhluk berakal, tidak sepantasnya melanggar peraturan. Peraturan itu dibuat bukan untuk dilanggar, ingat itu!

Peraturan itu bersifat memaksa, jadi siapapun di bawahnya harus “terpaksa” melakukannya. Bukannya malah “terpaksa” melanggarnya! Ini malah jadi semacam terpaksa yang dipaksakan.

Ya kalo nggak mau dipaksa gitu, hidup aja di tempat yang nggak ada aturannya. Di hutan misalnya. Di hutan itu nggak ada aturannya lo! Emang kita pernah nemuin raja hutan nerbitin undang-undang?

Dan satu lagi, yang terakhir, kita sebagai manusia hidup pasti pake aturan. Kita diatur untuk bernapas, makan, atau boker. Itu sifat alamiah makhluk hidup. Kalo nggak mau nurut aturan hidup, ya nggak usah bernapas, makan, atau boker. Aturan itu nggak hanya mengatur kita, tapi juga orang lain. Kalo kita melanggar aturan, itu bisa dianggap sama aja dengan tidak menghargai orang lain.

Sabtu, 24 Januari 2015

Sulih Suara

Suatu sore aku nonton film di televisi. Ada sebuah film yang sebelumnya belum pernah aku tonton, judulnya ‘Flushed Away’. Pemainnya keren-keren, ada Hugh Jackman, Kate Winslet, sama Ian McKellen. Bagi yang belum tau ini film apa, aku kasih tau kalo ini adalah film animasi. Jadi bintang-bintang yang aku sebutin tadi sebenarnya hanya mengisi suara tokohnya aja.

Dan begitu cerita filmnya dimulai, seketika kekerenan bintang-bintang tadi hilang begitu aja. Bukan karena mereka nggak tampil di filmnya (kan udah dikasih tau kalo mereka hanya mengisi suara tokohnya aja!), tapi karena filmnya didubbing! Dan tau kenapa, bagiku film ini nggak lebih bagus daripada film Terminator yang sebenarnya dibintangi oleh Arnold Schwarzenegger, tapi begitu ditayangin di televisi Indonesia yang main ganti Agung Hercules.

Bukan, ini bukan masalah Agung Hercules, bukan pula masalah Arnold Schwarzenegger, tapi masalah sulih suara tadi. Secara pribadi terus terang aku nggak terlalu suka dengan sebuah film (atau tayangan apapun mungkin) yang berasal dari luar negeri dengan memakai bahasa asing, yang kemudian dialihbahasakan ke dalam Bahasa Indonesia melalui pengisian suara. Bukan karena aku nggak suka dengan pemakaian Bahasa Indonesia juga. Tapi buatku tayangan yang disulih suara itu bikin suasana di dalam tayangan tersebut berkurang kadarnya.

Misalnya gini, film Bollywood di tayangan televisi Indonesia kan sering dan cukup populer kan, pernah nggak nonton film Bollywood pake bahasa aslinya? Gimana rasanya kalo dibandingin nonton film Bollywood yang udah disulih suara? Secara umumnya sih sama aja, mungkin kita tetep bisa terhanyut dalam cerita film itu, bisa tetep nangis-nangis bombay, tapi tetep aja suasana yang terbangun dengan suara bahasa aslinya beda banget.

Dulu banget ada serial televisi, dari India juga, judulnya Tipu Sultan. Ceritanya ada kerajaan Islam di India gitu kalo nggak salah berjuang melawan penjajah Inggris. Dan serial ini disulihsuarakan ke dalam Bahasa Indonesia, semua tokohnya, nggak hanya orang Indianya tapi juga orang Inggrisnya. Dan sisi kekonyolannya terletak di sisi orang Inggrisnya. Di sini orang Inggris itu ngomongnya kaya orang bule yang baru belajar Bahasa Indonesia, tau kan? Ya kaya orang-orang Belanda yang ada di dalam film Si Pitung gitu. Yang bikin aku nggak ngerti adalah kenapa orang Indianya ngomongnya nggak gitu-gitu banget, biasa aja ngomongnya lancar kaya orang Indonesia.

Dan kebanyakan tayangan kartun di televisi Indonesia sekarang ini adalah hasil sulih suara. Termasuk kemaren pas aku nonton film Spiderman di televisi, semuanya berbahasa Indonesia. Lalu gimana dengan yang namanya ‘SEMANGAT MEMBACA BANGSA INDONESIA’? Dulu waktu aku kecil, aku nonton film-film kartun juga ada terjemahannya di layar sebelah bawah gitu. Dan meskipun pemahaman kata-katanya nggak terlalu lancar, terjemahan dalam bentuk teks kaya gini bisa melancarkan proses belajar membaca. Dan bagi yang udah lancar membaca, kayanya sistem alih bahasa kaya gini juga nggak ada masalah.

Selain itu juga hal semacam ini bisa memperlancar proses pembelajaran bahasa asing, ya nggak? Katanya pengen bisa lancar ngomong bahasa asing, tapi nonton film di televisi aja perlu bantuan sulih suara. Gimana kita bisa belajar bahasa asing kalo filmnya ngomong pake Bahasa Indonesia? Tapi gini, dengan sedikit mengesampingkan jasa para pengisi suara di Indonesia, nonton tayangan asing yang berbahasa aslinya itu juga bisa mendukung proses pembelajaran kita, pemakaian Bahasa Inggris misalnya. Kan sekarang ini kita sering nemuin banyak orang yang pengen sok-sokan keren terus pake Bahasa Inggris gitu. Taunya abis diucapin ternyata salah pakai. Dengan mencontoh atau mengutip percakapan dari film yang ditonton, sebenarnya itu bisa jadi proses pembelajaran tersendiri kan?

Jumat, 23 Januari 2015

Kotoran Hewan

Di daerah lingkungan sekitar rumah dan jalan-jalan yang sering aku lewati itu masih sering ada lewat cikar atau pedati yang ditarik dengan sapi. Ada juga kadang-kadang dokar atau bendi yang ditarik dengan kuda. Nah karena lewat jalan umum dan karena yang menarik kendaraan ini adalah hewan, maka udah pasti setiap saat bisa aja si penarik ini buang-buang air, entah itu ukuran kecil, sedang, atau besar. Kalo udah gitu kan nggak ada yang nyempatin waktu buat beresin kotorannya di jalan, jadinya kita mungkin akan berpikir bahwa kotoran itu akan hilang dengan sendirinya seiring dengan berjalannya waktu.

Tapi kita juga pasti tau bahwa sebenarnya kotoran-kotoran itu nggak hilang dengan sendirinya. Pasti ada seseorang atau sesuatu yang membawa pergi kotoran itu. Terutama kalo di jalan raya, kita akan lebih sering melihat bahwa di situ kotoran lebih cepat hilangnya daripada di jalanan kecil. Ya pastinya setelah keluar dari perut hewan si penarik itu, kotoran-kotoran ini akan terlindas oleh roda kendaraan di belakangnya, dan terus menerus. Dan tingkat intensitas kendaraan yang melewati sebuah jalan yang ada kotorannya berbanding lurus dengan kecepatan kotoran tersebut hilang.

Nggak enaknya adalah kalo ternyata kita yang ada di belakang cikar atau dokar itu tadi. Atau sama nggak enaknya dengan kalo kita adalah orang kedua di belakang cikar atau dokar itu. Gimana nggak enaknya adalah karena, pertama, kita adalah orang yang tepat di belakangnya. Begitu melihat ada kotoran yang masih utuh, kita akan kelabakan menghindarinya. Kan nggak ada yang mungkin kita lagi iseng pengen nabrak itu biar greget.

Yang kedua adalah misalkan kita adalah orang kedua di belakangnya, dan tepat di depan kita, kendaran pertama yang menghadapi kotoran tersebut, adalah kendaraan besar semacam mobil atau truk, dan mereka nggak menghindarinya. Itu udah pasti kita nggak hanya akan mendapati bekas kotoran yang terinjak roda, tapi bisa-bisa ada benda-benda melayang yang mengikuti putaran rodanya.

Beberapa waktu lalu juga gitu, di kamar tidurku itu tercium bau nggak enak gitu. Setelah aku periksa ternyata ada semut yang bersarang di pojokan. Aku jadi langsung menyimpulkan bahwa bau nggak enak itu berasal dari tempat kotorannya si semut itu. Mungkin ada yang bingung gimana cara nemuin tempat semut buang air, itu sebenarnya mudah aja. Biasanya kan ada lalat yang mengerubungi kotoran, jadi kalo di sarang semut itu ada suatu tempat yang dikerubungi lalat itulah tempat semut buang-buang air. Yang nggak mudah adalah memahami gimana lalat masuk ke sarang semut.

Tapi gimanapun ada juga kegunaan dari kotoran hewan itu. Ada yang menjadikannya sebagai pupuk organik, ada juga yang menjadikannya sebagai sumber daya energi yang bisa digunakan menjadi gas alam dan dipakai buat masak. Sayangnya di daerah rumahku udah jarang yang miara sapi, lagian juga nggak ada yang mendayagunakan sebagai sumber energi. Padahal sumber daya semacam ini berpotensi menjadi sumber energi yang berkesinambungan karena akan selalu ada setiap saat sampai si sapi mati, kecuali kalo suatu ketika sapinya lagi sembelit.

Dan terakhir, aku sadar kalo materi tulisan kali ini agak menjijikkan ya, karena ngebahas kotoran hewan. Kalo anda membaca sampai habis tulisan ini pasti udah ngerti konsekuensinya dari judul tulisan ini. Ah sudahlah, daripada memperpanjang pembahasan kotoran kita ngebahas hal lain yang lebih menyenangkan dan menarik.

Kamis, 22 Januari 2015

Majalah Digital

Selama ini aku nggak pernah langganan majalah atau koran atau tabloid. Yang ada sih sering beli rutin pas terbitnya, ini termasuk langganan apa nggak ya? Dulu waktu masih SD sering beli majalah anak-anak, biasanya kalo udah waktunya hari terbitnya suka ngintip-ngintip ke toko koran, udah ada apa belum. Pas SMP dengan dominasi kegemaran sepakbola aku sering beli tabloid sepakbola atau olahraga.

Menginjak masa sekolah di SMK aku punya kegemaran baru, beli majalah bekas. Kebetulan pas itu nemuin sebuah toko yang di situ ngejual majalah-majalah bekas tapi masih bagus, kayanya sih majalah yang dulu dijual dalam bentuk baru tapi nggak laku, akhirnya biar tetap produktif dijual dalam bentuk bekas. Tapi tetap aja, meskipun bekas banyak yang masih di dalam segel plastik, dan yang paling menarik bonus-bonusnya masih lengkap. Di toko ini malah bisa-bisa waktunya banyak terbuang buat meneliti isi majalahnya, soalnya ada banyak majalah yang nggak disegel jadi bisa dibuka-buka gitu. Kapannya lagi ke situ, ya nyari-nyari lagi, buka-buka lagi, sambil baca-baca lagi. Ini mungkin yang jaga toko sampai jengkel kalo pas aku ke situ.

Tapi emang sampai sekarang masih sering tertarik juga kalo ada yang jual majalah-majalah bekas ini, soalnya meskipun bekas ilmunya nggak berkurang. Selain toko yang satu tadi, aku juga nemu beberapa tempat lagi yang juga jualannya sama di dekat rumah, malah ada juga buku-buku bekas gitu. Meskipun sering juga beli yang baru. Kalo beli baru, aku kadang-kadang beli majalah tentang komputer, seringnya sih biar dapat DVD softwarenya. Masalahnya kalo baca majalahnya itu teknologinya kan udah nggak nyampai buatku sekarang, udah sangat terlalu tinggi buat diraih. Kalo softwarenya kan masih bisa dipakai.

Selain itu juga kadang-kadang beli tabloid olahraga, itu juga kalo penjual korannya lagi mampir ke kantor. Kalo nggak mampir aku ya nggak beli juga.

Sekarang kan udah mulai banyak tuh majalah elektronik, yang tinggal diunduh aja dari internet, udah bisa baca kaya majalah cetak yang biasa gitu. Cara ini katanya diklaim bisa menghemat kertas dan biaya percetakan. Selain itu juga lebih praktis dan gampang, serta dalam beberapa sektor lebih murah. Tapi itu adalah analisa kalo kita melihat dari satu sisi aja. Pastinya semua hal itu kan ada banyak sisinya, nggak cuma satu aja. Coba kita liat dari sisi-sisi yang lainnya kalo suatu saat semua media cetak diganti jadi produk digital. Ada berapa perusahaan percetakan yang kehilangan ordernya. Ada berapa toko koran yang ganti menjadi toko pulsa. Ada berapa loper koran yang alih profesi.

Sebenarnya ini dilema tersendiri, sama kaya gagasan gimana kalo perusahaan rokok ditutup aja, ya gitu analisa sebab-akibatnya. Itulah kenapa selalu ada pro dan kontra dari dua sisi yang berlawanan, soalnya emang masing-masing sisi itu juga punya segi analisa masing-masing juga. Tapi balik ke soal majalah cetak tadi, gimanapun versi majalah cetak tetap lebih menarik dan punya kepuasan tersendiri bagi pembacanya.

Rabu, 21 Januari 2015

SMS Misterius

Suatu saat ada SMS masuk datangnya dari nomor tak terkenal soalnya nggak kesimpen di ponselku.

X: Hai, apa kabar?
Aku: Alhamdulillah baik, ini siapa?
X: Masak lupa sama aku?
Aku: *malas balas

Pernah nggak dapat SMS kaya gini? Atau anda pernah berperan jadi si X tadi? SMS yang kaya gini itu bikin aku mikir “Apa orang ini nggak nyadar kalo SMS ini komunikasi tulisan ya?”. Nggak, maksudnya gini, bukannya sombong kalo ternyata kita sebagai penerima SMS ini nggak tau siapa orang yang ngirim ini, tapi pasti nyadar kan kalo ini SMS gitu lo, yang semua orang kalo bikin SMS itu tulisannya sama semua. Kan nggak ada kita dapat SMS dari temen, terus kita nggak bisa baca soalnya tulisannya jelek. Yang ada juga kita nggak bisa baca soalnya bahasanya alay.

Kan beda banget kalo kita komunikasi langsung. Misalkan kita ketemu orang di jalan, terus dia nyapa kita “Hai, ingat aku nggak?”. Kalo yang gini kan kita bisa mengidentifikasi dari penampakan fisik orang itu, kemudian kalo lupa kita bisa nginget-inget lagi. Atau misalkan kita dapat surat yang ditulis tangan dari seseorang, dan dari tulisan tangan itu kita ingat dari ciri-ciri tulisannya orang yang menulis surat itu. Atau suara gitu, dia telepon, dan sayup-sayup kita ingat siapa orang itu. Itu semua beda soal kan? La ini SMS, beda jenis tulisannya hanya terbatas sama beda ponsel doang.

Dan seringnya orang yang ngirim SMS kaya gitu malah kesannya menggoda, dipanjang-panjangin gitu biar terus penasaran yang dikirimin. Misalnya aku kemudian bales “Siapa sih?”, kemudian si X tadi balas “Siapa coba tebak?”. Ini akan jadi rangkaian berbalas SMS yang nggak akan berakhir sampai si X tadi ngaku. Kecuali yang dikirimin sangat penasaran, atau mungkin dia juragan pulsa, pasti akan dikejar terus sampai dapat itu identitas pengirimnya. Dan bagi si pengirim, pasti merasa bangga banget kalo identitasnya nggak bisa ditebak.

Selasa, 20 Januari 2015

Majalah Anak-Anak

Waktu kecil dulu aku sering dibelikan majalah anak-anak. Dulu sih banyak macamnya, tapi yang paling sering dibelikan ya Bobo sama Mentari. Atau tabloid anak-anak yang sebenarnya merupakan sisipan atau bonus dari tabloid wanita kebanyakan waktu itu. Dari majalah-majalah ini banyak hal yang bisa aku ambil sebagai pelajaran, entah itu hikmah, pendidikan, ataupun pengetahuan umum dan sejarah, serta yang lainnya. Dan tentu aja di majalah itu yang terutama banyak ya cerita-cerita pendek dengan berbagai temanya.

Nah, dari cerita pendek ini sebenarnya banyak hal yang ‘meracuni’ harapan dan impianku. Cerita-cerita ini kan disetting buat anak-anak, tapi karena ceritanya banyak yang khayal jadinya aku sering berkhayal juga. Contohnya waktu itu ada cerita tentang anak-anak yang kelaparan dan nggak mampu beli roti buat makan. Kebetulan waktu itu ada peri baik yang lewat, dan karena kasihan dia memberikan anugerah berupa tangan anak itu saat mengusap gambar roti maka bisa berubah jadi roti beneran. Dan setelah membaca cerita ini, aku jadi teracuni dan berobsesi mengusap gambar agar jadi beneran.

Atau pas baca cerita bersambung tentang robot dari luar angkasa yang mendarat di rumah seorang bocah, dan akhirnya robot itu menjadi teman bocah tersebut. Robot ini baik hati dan bisa membantu bocah tersebut. Dari cerita ini aku jadi punya obsesi miara robot.

Kembali pada cerita ini disetting buat anak-anak. Nggak tau sebenernya apakah cerita-cerita khayal kaya gini bisa masuk ke nalar anak-anak pembacanya dengan baik, ataukah cerita ini sebenarnya masih membutuhkan bimbingan orangtua buat mengembangkan dan menjelaskan sehingga anak-anaknya mengerti. Yang paling nggak ngerti waktu itu aku pernah baca cerita tentang seseorang yang punya undangan pesta di dua tempat yaitu di hulu dan hilir sungai, dalam waktu yang sama. Dia memilih undangan yang di hulu sungai karena hidangannya enak-enak. Tapi begitu nyampai di tempat ternyata hidangannya udah habis. Karena nggak mau rugi, akhirnya dia mendatangi undangan yang satunya, di hilir sungai. Tapi begitu nyampai di sana acaranya udah selesai. Ini kalo anak-anak sendiri yang baca, dia nggak bakal ngerti apa maksud dari cerita ini, kaya aku tadi.

Tapi terlepas dari hal-hal yang berkaitan dengan cerita tadi, majalah anak-anak bikin kreatif pembacanya. Selain itu bikin proses belajar membaca jadi lebih cepat. Apalagi juga pengetahuan tentang ilmu umum dan sejarah juga bisa didapat. Hanya saja setelah sekian lama nggak tau apa aja isi majalah anak-anak tadi, suatu ketika aku iseng buka-buka majalah anak-anak di penjual majalah. Yang bikin nyesek adalah ternyata majalah anak-anak ini udah nggak lagi dikhususkan buat anak-anak, malah lebih kepada remaja atau ABG gitu. Nggak tau apakah emang konsep majalah ini digeser ke pasar itu, atau sebenarnya merupakan sisipan aja. Tapi emang sih, mungkin juga penerbit majalah itu menyesuaikan dengan pasar. Coba liat aja sekarang, banyak anak-anak yang nggak lagi bertingkah laku seperti anak-anak. Banyak anak yang lebih hapal lagu orang dewasa daripada lagu anak-anak. Dan lebih parahnya lagi, banyak orangtua yang lebih bangga kalo anaknya hapal lagu-lagu orang dewasa daripada lagu anak-anak yang mencerminkan dunia mereka.

Bukan bermaksud nggak mau move on atau terperangkap dengan keindahan dunia anak-anak, tapi emang aku sangat merindukan majalah anak-anak yang dulu. Majalah-majalah yang memberikan nuansa lain bagi pemikiran anak-anak yang bukan pemikiran yang ‘dipaksa’ gede sebelum waktunya, tapi pemikiran yang bikin wawasan anak-anak berkembang sesuai dengan masa kanak-kanaknya.

Senin, 19 Januari 2015

Nyamuk (Lagi)

Kali ini kita mau ngomongin tentang nyamuk lagi. Dosa nggak sih ngomongin nyamuk? Kan nyamuk nggak ngomongin kita! Lagian aku sendiri juga heran, kenapa ide-ide yang keluar akhir-akhir ini kok tentang nyamuk melulu. Mungkin karena aku sering di-PHP-in sama nyamuk, ngedeketin terus, tapi nggak pengen bersama, cuma pengen ngisep darah doang.

Kita tinggalkan celoteh curcol soal nyamuk. Biasanya nyamuk itu kan sering keluar baru di malam hari. Tapi nggak usah heran kalo banyak nyamuk ada yang keluar di pagi atau siang hari. Ya mungkin aja mereka lagi ada keperluan, ke kondangan gitu, atau belanja kebutuhan dapur yang lagi habis. Atau mungkin kita nggak tau, kalo mereka tugas jaganya pagi. Tapi tetep aja, meskipun keluarnya pagi atau siang, nggak ada nyamuk yang badannya segemuk lalat.

Tapi gini, nyamuk itu bisa dijadiin alat untuk mematahkan teori evolusi. Iya kan, kalo teori evolusi itu berjalan, mungkin sekarang nggak ada nyamuk di dunia modern ini. Semua nyamuk udah berevolusi jadi elang, atau minimal gagak lah. Tapi nyatanya nggak kan, masih ada nyamuk, dan banyak lagi. Kalo nggak percaya coba malam mau tidur nggak usah nyalain obat nyamuk, pasti dia datang. Lagian nggak lucu kan tar kalo semua nyamuk udah jadi burung elang. Tar yang gigitin kita di malam hari waktu tidur nggak lagi berupa nyamuk, tapi burung elang. Kan kita jadi risih tiap malam di-PHP-in sama burung elang.

Bisa jadi pendukung teori evolusi itu beralibi, “Ah, nyamuk yang sekarang ini kan hanya sekelompok dari seluruh spesies nyamuk yang nggak mau move on. Yang mau move on sekarang udah pada jadi elang, seenggak-enggaknya capung lah!”. Ini teori ngaco apa lagi, pernah nggak kita temui ada burung yang punya paruh lancip buat menghisap darah orang? Atau kalo beneran mereka semua udah jadi burung, ke mana hilangnya sedotan darah itu? Ya mungkin mereka operasi plastik atau gimana, tapi ini kemungkinannya kecil banget, soalnya jarum buat proses operasi aja lebih besar daripada badan nyamuk itu.

Atau sebenarnya ada motivator di dalam kelompok nyamuk yang berhasil move on. Jadi mereka merasa jadi nyamuk terus itu ngebosenin. Akhirnya mereka berhasil merubah diri menjadi yang menurut mereka lebih baik, ninggalin nyamuk-nyamuk yang nggak on move, yang kata pendukung teori evolusi tadi anak keturunannya tetep jadi nyamuk sampai sekarang.

Daftar Blog Saya