Minggu, 22 Maret 2015

Unas yang Mendebarkan

Salah satu peristiwa yang mendebarkan dalam sejarah kehidupan para siswa di sekolah adalah ujian nasional. Kalo di jaman sekolahku dulu namanya masih ebtanas. Bahkan momen mendebarkannya udah mulai beberapa bulan sebelumnya, bahkan bisa dimulai dari pas naik ke kelas tiga.

Pas ebtanas SD dan SMP, aku lebih banyak terbantu dengan latihan soal-soal yang aku dapat dari sumber manapun, terutamanya dari buku. Kan ada tuh biasanya buku kumpulan latihan soal-soal gitu. Dan akhirnya, mengerjakan ebtanas bisa lebih gampang.

Tapi nggak tau kenapa, pas jelang ebtanas di STM, aku malah terkesan lebih santai. Kalo nggak salah inget, waktu itu bahkan aku nggak belajar dari buku kumpulan soal gitu. Lupa juga sih, dari mana aku belajar waktu itu, tapi yang penting belajar. Dan ini juga dijalani oleh sebagian siswa STM yang santai-santai aja.

Sebagian yang lain, adalah anak-anak STM yang punya cita-cita luhur, yaitu melanjutkan kuliah setelah lulus. Anak-anak macam ini akan lebih giat belajar, dengan ngikutin bimbingan belajar, kursus-kursus pelajaran, beli buku-buku pendukung, rajin berolahraga, makan makanan bergizi, dan minum susu.

Dan akan selalu ada sekelompok anak-anak yang merasa nggak perlu belajar. Bahkan mungkin, pas ngikutin ebtanas, mereka merasa nggak perlu soal. Biasanya anak-anak kaya gini adalah anak-anak malas, yang beruntung mendapatkan tempat duduk ujian di dekat anak-anak yang mau ngelanjutin kuliah.

Yang paling sering terjadi adalah adanya siswa-siswa yang nanya jawaban ke teman-temannya. Ini kan sebenernya hal yang percuma, kan mereka sama-sama siswa, sama-sama ikut ujian gitu. Berarti kan sama-sama nggak taunya. Kalo emang niat nanya, mending nanya aja ke guru pengawas. Dia itu guru, pengajar, dan pengawas, jadi udah pasti tau jawabannya. Selain karena kedigdayaan ilmu pengetahuannya, dia juga pasti pegang kunci jawabannya. Tanya yang kaya gini nggak percuma.

Sebagai salah satu anak yang nggak punya keinginan buat ngelanjutin kuliah, prestasi hasil ebtanasku datar-datar aja. Artinya nggak terlalu tinggi, tapi juga nggak nyampe rata-rata. Dan yang paling menggembirakan, tentu aja aku masih termasuk golongan lulus, dan mendapat ijasah dengan lancar, karena nggak pernah nunggak pas bayar SPP.

Entah kenapa jaman sekarang ini unas, dengan standar tingginya, udah dikelola terpusat dengan soal yang sampe dikawal polisi, pengamanan yang melebihi kedatangan anggota DPR pusat ke tempat tinggal asalnya yang terpencil, tapi masih aja dibilang bocor. Mafia-mafia soal bertebaran ke mana-mana, ngirim kunci-kunci jawaban pake SMS, sampe jual beli soal plus jawabannya.

Lagian nyatanya unas adalah ajang yang tepat buat pamer pensil dan penghapus baru. Kadang kalo ada siswa yang perfeksionis, bisa ditambah dengan penggaris yang buat mencetak jawaban biar bentuknya sempurna, sama kaya lembar jawabannya. Atau biar keliatan lebih hitam lagi, dia bawa spidol hitam.

Pertanyaan yang sering terlintas adalah gimana bisa itu masih aja terjadi? Kalo penanganan soal unas yang terpusat aja datengnya masih telat, kenapa nggak dikelola oleh dinas-dinas terkait di daerah? Ataukah sebenernya pemerintah nggak percaya sama dinas di daerah, takut bocor gitu? Ya kan sama aja ya, kalo ternyata yang terpusat masih bocor aja soalnya.

Jadi inget pertama kali ikut ebtanas di SD. Tiap kali mau pembagian soal, guru pengawasnya bilang ‘Lihat anak-anak, soalnya masih disegel. Saya buka di sini ya?’. Untungnya guru pengawas itu bukan pesulap, tar bilangnya jadi ‘Anak-anak, kita belum saling kenal sebelumnya. Soalnya masih disegel.’.

0 komentar:

Posting Komentar

Silakan berkomentar, mumpung gratis lo...!!!

Daftar Blog Saya