Kamis, 26 Maret 2015

Ngeband

Seperti yang pernah aku ceritain di sebuah tulisan di blog ini, aku pernah ngeband. Iya, ngeband. Karir ngeband aku mulai dengan menjadi kentongan di masa kecil.

Bukan itu sih, tapi dimulai ketika SD, aku ikut drumband. Ngeband juga kan namanya. Karena bertubuh kecil dan lemah, aku pegang alat yang nggak ngeberatin kalo digendong dan diajak jalan. Karena itulah, aku langsung menolak pas disuruh ngegendong mayoretnya. Yang aku pilih adalah snare drum. Atau bahasa kerennya waktu itu adalah genderang.

Sejak pertengahan kelas 4, para siswa yang mau ikut drumband diperbolehkan ikut latihan tiap hari Kamis sore. Aku yang udah lama pengen ikut drumband, akhirnya meninggalkan masa-masa latihan kentongan. Lebih seriusnya, aku meninggalkan kegemaranku nonton film kartun di tivi, tiap hari Kamis sore.

Biasanya ikut drumband kaya gitu berlangsung selama 2 tahunan. Kami pernah main di luar kota, biasanya sih di kabupaten. Kabupaten kan luar kota ya. Jadi, karena sekolah kami letaknya di kabupaten, nggak ke mana-mana pun kami udah main di luar kota.

Paling jauh kami pernah main di Trenggalek. Nggak tau kenapa pastinya gimana bisa kami main di sana, apakah di Trenggalek nggak ada grup drumband yang nggak berisi anak-anak SD yang masih suka ngelap ingus apa gimana, yang jelas, kami main di sana. Waktu itu di karnaval, kalo nggak salah sih karnaval desa. Di depan grup kami ada mas-mas yang pake kostum kura-kura, jadi dia ngedesain supaya dengan pake kostum itu, dia keliatan naik kura-kura dan jalan-jalan keliling desa. Kami lebih banyak menghabiskan waktu buat mengagumi dan mengamati kostum kura-kura itu, daripada latihan drumbandnya.

Biasanya kalo tampil kan kita pake seragam, kita nyebutnya jaket. Emang kaya jaket gitu seragamnya, kain tebel, banyak aksesoris, kaya serdadu Belanda. Pokoknya kalo liat orang pake kostum ini udah kaya ngeliat kaleng biskuit gitu, yang ada gambar orang drumband di tutupnya.

Dapat jaket itu nggak gampang, karena yang disebut jaket itu, disimpan di dalam lemari yang bertempat di ruang kantor kepala sekolah, ukurannya bermacam-macam, dari kecil sampe super gede. Dan penempatannya nggak dikelompokkan, sehingga kita harus milih satu per satu.

Paling ngenes adalah pas kita dapat jaket, yang aksesoris emblemnya nggak ada. Aksesoris emblem itu semacam tambahan buat diselipin ke emblem jaketnya, dan pinggirannya ada hiasan rumbai-rumbai gitu. Padahal, bagiku bagian itulah yang cukup menarik buat diliat. Terkesan gagah dan berwibawa, terutama kalo aksesoris itu nggak dipake di topi.

Topi sendiri juga nggak gampang nyarinya. Sama kaya seragam tentara-tentara Eropa, topi ini bentuknya silinder tinggi, dan ada hiasan bulu di bagian depannya. Paling apes kalo dapat topi yang pas, tapi nggak ada bulunya. Itu serasa kita pas beli soto ayam yang enak banget, sotonya masih ada, tapi mangkoknya abis.

Dan nggak mungkin kita dapat mengganti bulu itu dengan bulu yang lain, misalnya pake bulu ayam. Atau kalo mau gampang beli suttlecock, trus bulunya dicabutin buat dipake di topi. Dan terlebih nggak cocok lagi, kalo pake bulu babi di topi.

Beres kostum dari sekolah, kita masih terbebani sama bikin celananya. Ya karena sekolah nggak mungkin nyediain celana. Selain ukurannya pasti beda-beda tiap anak, ada resiko penularan kejorokan anak-anak SD yang masih suka ngelap ingus pake ujung celana. Nggak banget, dapat celana yang bekas dipake anak lain, yang make celana itu buat main futsal.

Kalo nggak salah kita dapat kain sama hiasan pitanya doang dari sekolah. Bikinnya diserahin masing-masing. Untungnya dulu belum ngetren yang namanya skinny jeans. Coba ada anak yang bikin celana yang pake model gitu, dia pasti kesemutan selama start sampe finish.

Sepatu juga jadi kerepotan tersendiri, meskipun nggak terlalu. Karena sepatu putih kan tinggal beli sebenernya, repotnya cuma pada uang yang buat beli. Mungkin kalo pas waktu itu aku udah kreatif, aku bisa pake sepatu sekolah hitam aja, yang dicat putih.

Salah satu tampilan yang cukup berkesan selama karirku ikut drumband adalah pas ikut Porseni tingkat Kabupaten Kediri. Karena tingkatnya kabupaten, otomatis kami main di luar kota dong. Dan kebetulan kecamatanku adalah tuan rumahnya. Bukan kebetulan juga sih, soalnya dipilih gitu.

Berminggu-minggu kami latihan, digembleng, dibully senior, sampe dipalakin. Ini kaya anak SMA aja. Tapi ya gitu lah, intinya kami kerja keras, latihan hampir tiap pagi atau sore, nggak bisa nonton film kartun sore lagi. Aku masih ingat banget kata-kata motivasi pelatih kami, yang memberi kami wejangan dengan setengah memarahi. Kata beliau, kami mungkin yang terbaik di kecamatan kami, tapi kami belum yang terbaik di tingkat kabupaten. Kalo kami masih santai-santai, kami nggak dapat apa-apa. Kami cuma dapat malu.

Itulah cerita awal karir ngebandku, yang tentu aja peranku di grup drumband ini biasa-biasa aja. Seorang anak yang karena bertubuh pendek ada di barisan dua dari belakang, yang kalo pas tampil di jalan, ada sopir truk yang mabok dan nabrak rombongan kami, akan menjadi salah satu korban pertama.

Dan ngeband selanjutnya adalah di grup band yang sebenernya. Karena nggak bisa main gitar dan hanya berbekal suara yang fals, akhirnya aku memilih jadi drummis. Aku sebut drummis, karena coba liat yang lain, nama-namanya berakhiran ‘-is’. Vokalis, basis, keyboardis, pianis, gitaris, sampe penonton sinis. Tapi kenapa yang pegang dipanggil ‘drummer’? Ini kan diskriminasi! Makanya aku lebih suka nyebut drummis, biar lebih merakyat aja.

Dan sebagai drummis, aku bukan orang yang jago-jago banget mainnya. Asal bisa ngikutin tempo sama nada lagunya aja, jangan sampe drumnya salah kord atau salah nada dasar, gitu aja. Main juga yang intens pas udah kerja gitu, temen ngebandnya juga temen kerja. Jadi nggak punya dasar apa-apa tentang keterampilan berdruman yang baik dan benar. Latihannya sambil latihan.

Aku pernah cerita juga di salah satu tulisan di blog ini, bahwa kami pernah manggung. Sekali doang, di acara jalan santai yang diadain oleh tempat kerjaku. Abis itu, bandnya bubar. Soalnya kedua personilnya keluar kerja. Nggak pa-pa sih, yang penting kita dapat pengalaman manggung, yang untungnya nggak sampe dilemparin sama botol air mineral.

Oya, biarpun band amatir, band tetep harus punya nama. Dan bandku ini juga punya nama. Namanya ‘Tambal Band’.

0 komentar:

Posting Komentar

Silakan berkomentar, mumpung gratis lo...!!!

Daftar Blog Saya