Selasa, 21 Januari 2014

Pemilihan Kepala Desa

Pagi hari, menjelang berangkat ke lapangan untuk melaksanakan pemilihan kepala desa, terjadi dialog antara aku dan ibuku.

‘Kalau milih xxxx, kita khianat apa nggak ya?’, tanya ibuku.

‘Kalo nggak janji ya nggak khianat.’

‘Tapi pas ngasih uang kan dimintai bantuannya, kita mengiyakan.’

Gimana ya, negara ini memprogramkan penghapusan politik uang, tapi pas momen kaya gini, sudah menjadi hal yang umum, selalu saja ada sistem bagi-bagi uang setiap mau pilihan kepala desa. Dan pasti yang satu nggak mau kalah dengan yang lain. Kalo yang satu ngasih, yang lain ikutan ngasih. Yang satu ngasih lima puluh ribu, yang lain berani ngasih lebih. Dan begitu seterusnya.

Dan kalo dengar cerita-cerita dari teman-teman yang lain desa, sistem seperti itu juga terjadi, dan selalu terjadi juga. Selalu ada celah bagi para calon kepala desa buat ‘menyenangkan’ para calon pemilih. Kalo nggak lewat cara bagi-bagi uang ya pake cara lain yang sekiranya cocok dan menyamankan para calon pemilih. Dan karena hal ini sudah menjadi ‘tradisi’, mau nggak pake cara seperti itu juga nggak lengkap.

Lalu apa itu menjadi kesalahan para calon kepala desa dan tim suksesnya? Nggak sepenuhnya, karena di sisi lain masyarakat juga senang-senang aja dengan praktek politik seperti ini. Diperluas lagi, nggak hanya dalam pilihan kepala desa saja, tapi pemilihan-pemilihan yang lain. Kalo nggak dikasih malah masyarakat sering mencibir dan menjauhi calon yang dinilai ‘pelit’ tadi. Simpati dan empati dari masyarakat lebih mengarah pada siapa yang memberi uang, bukan siapa yang mampu memimpin. Jiwa kepemimpinan dan hak memimpin lebih berada di tangan siapa yang mampu memberi uang.

Faktor ekonomi, meskipun hanya sedikit pengaruhnya, masih saja menjadi salah satu sebab seseorang bisa dipilih sebagai pemimpin. Maka dengan budaya ini, calon kepala desa sepertinya lebih banyak merupakan orang yang kaya, terpandang, dan mapan, bukan yang bersih, berkharisma, dan kompeten. Tapi tentu saja jangan melulu melihat di satu sisi saja, bahwa menjadi kepala desa dengan membagikan ‘sesuatu’ kepada masyarakat adalah hal yang salah, tapi satu sisi yang lain juga perlu dinilai bahwa masyarakat lebih suka diberi ‘sesuatu’ untuk memilih, meskipun dengan terpaksa.

Ceritanya dialog dengan ibuku di atas sedang membahas dua orang yang hari itu berperan sebagai calon kepala desa. Satu calon merupakan kepala desa yang sedang menjabat saat ini, sedangkan satunya lagi adalah mantan kepala desa yang menjabat di periode sebelumnya. Satunya ngasih uang dan satunya nggak. Satunya orang kaya dan satunya juga. Mau dibanding-bandingin seperti apapun, pasti ada plus minusnya masing-masing kedua orang istimewa ini. Dan akhirnya aku hanya bisa berharap, semoga calon yang terbaik yang menang.

0 komentar:

Posting Komentar

Silakan berkomentar, mumpung gratis lo...!!!

Daftar Blog Saya