Selasa, 27 Januari 2015

Bapak

Aku dan bapak jarang sekali ngobrol-ngobrol. Maklum, sifat dasar bapak itu orangnya pendiam dan cenderung kaku, dan sifat itu dengan sempurna menurun kepadaku. Jadinya kalo nggak sangat penting banget, kami jarang ngobrol.

Kalo di rumah cuma ada kami berdua, ya seolah-olah kaya anak-anak sekolah yang mau pulang, siapa yang tenang dia yang pulang duluan. Karena kami sama-sama tenang, akhirnya pulang bareng. Lagian mau pulang ke mana lagi, kan udah di rumah.

Karena nggak terlalu sering dan banyak bicara itulah, kami, aku dan ibu, sering nggak memahami maksud dan kemauan bapak. Sehingga harus ada semacam bahasa khusus buat komunikasi kami.

Tapi untungnya ibu lebih banyak bicara dan nggak kaku, sehingga ibu yang sering jadi penghubung komunikasi di rumah. Apalagi kalo udah ada hubungannya dengan pihak di luar rumah kami, ibu yang sering jadi juru bicara keluarga.

Sampai akhirnya, di awal bulan Oktober, bapak tiba-tiba sakit, dan harus dirawat di rumah sakit. Sepanjang pengetahuanku, ini yang ketiga kalinya bapak dirawat di rumah sakit. Yang pertama, waktu itu ceritanya bapak sedang di jalan, mengendarai motor. Dari arah berlawanan, ada sebuah truk yang melaju, yang tanpa diduga, roda depan sebelah kanannya lepas, dan kemudian meluncur ke arah bapak.

Waktu itu bapak dirawat di puskesmas. Setelah sekitar dua hari, dokter yang merawat mengindikasikan perlu perawatan lanjut, karena luka bapak agak parah, akhirnya bapak dirujuk ke rumah sakit tempatku bekerja. Sekitar dua hari berikutnya, bapak udah bisa pulang.

Yang kedua, waktu itu ceritanya bapak minta diantar periksa ke rumah sakit. Di jalan, tiba-tiba ban motorku yang belakang bocor. Setelah berjalan agak jauh, baru ketemu ada tukang tambal ban. Setelah selesai, lanjut deh ke rumah sakitnya.

Sampai di rumah sakit, masuk ruang periksa, baru ditanyain aja dokter udah mendiagnosa bapak kena gejala stroke. Itu karena pas ditanyai dokter, bapak bicaranya agak cadel. Sebenernya, ya emang gitu model bicaranya bapak, nggak terlalu keras, jadi yang diajak ngobrol juga nggak terlalu denger dengan jelas.

Tapi karena udah kena kata-kata “gejala stroke” tadi, aku udah sedikit panik, dan memutuskan merawatinapkan bapak saat itu juga. Nyatanya, ternyata bapak nggak apa-apa. Besok sorenya pulang ke rumah.

Ini yang ketiga, bapak lagi ke masjid buat jamaah sholat Maghrib. Selesai jamaah, ada orang yang mengetuk pintu rumahku. Ternyata teman jamaah bapak, memberi kabar kalo tiba-tiba bapak ambruk dalam posisi terduduk miring ke kanan. Sesaat kemudian, bapak diantar pulang oleh teman-teman jamaah yang lain.

Aku memutuskan untuk segera membawa bapak ke rumah sakit saat itu. Dan sejak saat itu, bapak dirawat di rumah sakit tempatku bekerja, dengan diagnosa stroke, yang ini beneran. Kondisi bapak dengan kesadaran yang kurang, lebih sering nggak sadar, seperti sedang tidur. Kalo membuka mata sebentar, sebentar kemudian udah tidur lagi. Sekitar empat hari kemudian, bapak dirujuk ke Rumah Sakit Bhayangkara Kediri.

Karena di rumah hanya ada kami bertiga, jadilah aku dan ibu bergantian mengurus rumah dan rumah sakit, dengan dibantu oleh beberapa keluarga. Untungnya waktu itu adikku juga pulang dari Depok, jadi lumayan ada tambahan tenaga, selama semingguan.

Bapak dirawat di Rumah Sakit Bhayangkara selama sekitar dua mingguan, sebagian besar di antaranya di ruang ICU. Kalo pas jam bezuk, dan aku masuk ICU, kadang muncul rasa iri dengan pasien lain. Keluarga mereka masuk ke ICU, kemudian menyuapi para pasien ini, menanyai gimana rasanya, dan sebagainya. Dan aku, hanya bisa melihat bapak, sesekali memegang tangannya, sambil mengamati monitor pasien yang menunjukkan tanda-tanda vital bapak.

Saat bapak boleh pulang ke rumah, kondisinya sebenernya nggak jauh beda dengan di rumah sakit. Hanya saja, sering kalo diajak berkomunikasi ada sedikit respon. Anggota gerak sebelah kanan masih lemas, beda dengan anggota gerak yang sebelah kiri. Tapi seenggaknya, kalo di rumah, bapak mungkin bisa lebih merasakan kenyamanan. Kami juga bisa merawat sambil mengerjakan tugas yang lain.

Kini, bapak sudah tiada. Hanya tiga hari di rumah, bapak wafat. Aku masih ingat, semalam sebelumnya sebelum tidur, aku mengaturkan guling beliau, agar tidur dengan nyaman. Tangan beliau juga menyambut guling yang aku atur. Paginya, sebelum berangkat kerja, bersama ibuku juga masih sempat membersihkan badan bapak, mengganti spreinya, dan mengatur tempat tidurnya.

Sosok yang gagah itu udah nggak ada lagi. Secara eksistensi, karena kediaman bapak, kami nggak terlalu merasa jauh beda dengan biasanya. Tapi tetap saja kami merindukan sosok beliau, rutinitas keseharian bapak yang sebenernya gitu-gitu aja, atau mengingat masa kecilku, di mana aku sering ikut bapak kalo lagi kerja.

Bapak, seorang yang pendiam dan kaku, tapi begitu banyak kesan mendalam yang beliau tinggalkan. Dan aku yakin beliau punya cara sendiri buat menyayangi keluarganya. Sering membayangkan, gimana ya masa-masa kecil bapak dulu. Indahkah? Menyenangkankah? Bahagiakah? Kalopun aku nggak bisa mengembalikan kebahagiaan itu untuk beliau, aku hanya terus berharap semoga beliau terus diberikan kebahagiaan di masa hidupnya.

Untuk segala kenangan yang telah kau tinggalkan, terima kasih bapakku.

4 komentar:

Silakan berkomentar, mumpung gratis lo...!!!

Daftar Blog Saya