Pernah nggak sih merasa rumah kosong itu kayak manggil-manggil buat dihuni? Ya, itu yang saya dan istri rasakan. Jadi ceritanya, mertua saya punya rumah yang udah lama kosong. Daripada terus-terusan nggak kepake, akhirnya kami mutusin untuk pindah ke sana. Pada tahun 2021 lalu, sekitar hari raya Idul Adha bulan Juli, setelah 4 tahun menikah, saya dan istri pindah rumah, tepatnya ke rumah mertua saya itu. Lokasinya juga nggak terlalu jauh dari rumah saya, cuma sekitar 2 km saja.
Jadi ceritanya, rumah mertua saya itu kosong. Mertua saya, yang tinggal ibu istri saya, sekarang menetap di Sidoarjo karena bekerja di sana. Adik-adik istri saya juga udah punya kehidupan masing-masing dan nggak tinggal di rumah itu. Sementara itu, saya dan istri sebelumnya tinggal di rumah saya, bareng ibu saya. Selama ini, saya menemani ibu di rumah, sedangkan rumah mertua tadi tetap kosong. Meski begitu, rumah mertua tetap terpelihara karena ada keluarga yang tinggal bersebelahan yang kadang memantau.
Pada tahun 2021, masih di tengah kondisi pandemi, adik saya yang biasanya tinggal di Depok pulang kampung dan menetap di sini. Sekeluarga mereka juga tinggal di rumah ibu, jadi makin ramai. Dari situ muncul ide dari istri saya untuk pindah ke rumah mertua. Awalnya saya nggak kepikiran sama sekali untuk pindah rumah, tapi lama-lama saya mulai mempertimbangkan ide itu. Apalagi sekarang ibu saya udah ada adik dan keluarganya yang tinggal bareng, jadi kalau saya tinggal pun rasanya nggak masalah. Ibu mertua saya juga sangat mendukung rencana ini.
Kepindahan kami juga ada hubungannya sama adik saya yang membuka usaha kafe di rumah. Dengan pindahnya saya dan istri, dia jadi punya ruang lebih luas untuk mengembangkan kafenya. Ditambah lagi, adik saya punya tiga anak kecil yang butuh tempat buat aktivitas mereka.
Jadi, saya dan istri mulai merencanakan kepindahan ini. Kami mempersiapkan rumah mertua agar lebih nyaman untuk ditempati. Ada beberapa hal yang perlu diperbaiki, seperti menambah daya listrik, memperbaiki instalasi, dan menyelesaikan detail-detail kecil lainnya.
Beberapa minggu sebelum pindahan, saya ngobrol sama ibu dan adik saya tentang rencana ini. Kami jelasin alasannya; menjaga rumah kosong supaya lebih berguna dan persiapan apa saja yang udah kami lakukan. Awalnya mereka terlihat agak keberatan, tapi alhamdulillah akhirnya mereka bisa menerima keputusan kami.
Seminggu sebelum pindahan, kami mulai mempersiapkan barang-barang yang mau dibawa. Kebetulan, kulkas dan mesin cuci udah duluan diangkut ke rumah baru karena adik saya bawa perlengkapan sendiri dari Depok. Kami fokus mempersiapkan baju, lemari, tempat tidur, meja, kursi, dan perlengkapan lain. Untungnya, ada bantuan transportasi dari teman istri saya, jadi semua bisa diangkut dengan lancar. Ada juga saudara yang bantu angkut-angkut barang.
Hari H pindahan akhirnya tiba. Paginya kami angkut barang-barang, terus langsung dibawa ke rumah baru. Di sana, barang-barang diturunin seadanya dulu. Yang penting, semuanya masuk rumah, dan ada ruang buat istirahat. Sorenya, kami balik ke rumah ibu buat bersihin kamar yang tadi pagi belum sempat dibereskan.
Hidup di rumah baru bener-bener dimulai keesokan harinya. Dalam kondisi rumah yang belum tertata sepenuhnya, kami tetap menjalani rutinitas seperti biasa. Sore harinya, pelan-pelan kami mulai menata barang-barang. Ada juga diskusi tentang penempatan barang yang belum punya tempat tetap.
Lingkungan rumah baru ini beda banget sama rumah lama. Rumah saya sebelumnya ada di pinggir jalan nasional, dengan tetangga yang nggak terlalu dekat. Sebelah kanan rumah adalah saudara, sebelah kiri jalan kecil, depannya ada lapangan basket dan taman. Sedangkan rumah mertua dikelilingi rumah-rumah tetangga yang jaraknya dekat-dekat. Sebagai introvert, sebenarnya saya nggak terlalu kesulitan beradaptasi. Hanya saja, ada beberapa kebiasaan yang tetap saya pertahankan, seperti sholat berjamaah di masjid yang biasa saya datangi sebelumnya. Saya juga masih sering mampir ke rumah ibu untuk menjemput ponakan-ponakan buat sholat.
Ada banyak hal baru yang harus kami sesuaikan. Contohnya, kalau dulu di rumah lama, butuh sendok tinggal minta ke ibu. Sekarang? Ya, harus muter otak sendiri. Untuk bahan masakan, dulu ibu yang menyiapkan, sekarang semuanya istri saya yang handle, dengan porsi yang disesuaikan untuk dua orang.
Meskipun suasananya berbeda, secara keseluruhan nggak terlalu banyak yang berubah. Saya masih sering mampir ke rumah lama, jadi rasanya masih seperti bagian dari rutinitas harian saya. Tapi, ada perasaan baru yang muncul; tinggal, tidur, dan menjalani hidup di tempat yang berbeda.
Dari pengalaman ini, saya belajar banyak. Tinggal di rumah baru ini bikin saya sadar bahwa hidup mandiri nggak cuma soal bisa ngurus diri sendiri, tapi juga soal belajar kompak sama pasangan. Kami jadi harus lebih cepat dan tepat dalam mengambil keputusan. Tekanan hidup yang muncul juga harus dihadapi bersama. Urusan finansial kami tangani lebih mandiri, dan suka dukanya harus kami jalani berdua.
Kami punya banyak harapan dan rencana ke depan, termasuk memperbaiki rumah agar lebih nyaman dan representatif. Tentu saja, kami juga berharap rumah ini bisa jadi tempat yang ramai dengan kehadiran anak-anak kami nanti. Tapi di atas itu semua, kami bersyukur atas semua keberuntungan dan kemudahan yang kami dapatkan di balik setiap ujian yang ada.
Semoga ke depannya, rumah ini bisa jadi saksi perjalanan kami. Dari rumah kosong, jadi rumah penuh cerita. Begitu deh cerita pindahan kami. Kalau kalian punya cerita pindahan lucu atau tips hidup mandiri, boleh banget share di kolom komentar!
0 komentar:
Posting Komentar
Silakan berkomentar, mumpung gratis lo...!!!