Jumat, 28 November 2014

Kecampuran [Bagian 2]

Musik kita adalah musik yang sering ‘kedatangan’ dengan musik-musik dari luar. Nggak hanya musik berbahasa Inggris dari daerah barat sana, tapi juga musik-musik khas dari negara-negara Asia. Kita kelewatan musik-musik dari India saat lagi ngetrennya film-film Bollywood, kedatangan musik dari Mandarin saat drama-drama seri Mandarin beredar di TV-TV kita, ketamuan musik dari Jepang berturutan dengan anime-anime menjamur di Indonesia, dan kemudian kecanduan musik dari Korea saat drama-drama Korea juga tampil di sini.

Ini membawa kebiasaan baru bagi kita orang Indonesia ini. Yaitu kelatahan belajar bahasa asing. Datangnya lagu-lagu dari mancanegara ini sebenarnya bagus, bagian bagusnya terutama adalah saat kita nggak ngerti apa yang dinyanyikan karena bahasanya beda. Mungkin kalo kita ngerti, bisa jadi lirik-liriknya nggak jauh beda sama lagu-lagu Indonesia sekarang ini. Tapi orang Indonesia banyak yang nggak mau sekedar bisa joged dengan musiknya, liriknya juga harus tau biar bisa ikutan nyanyi. Nggak sekedar tau, tapi juga ngerti.

Makanya kemudian bermunculan komunitas-komunitas pecinta grup atau penyanyi itu. Dari situ bisa dibentuk kelompok belajar yang mempelajari musik dan lirik serta terutamanya bahasa dari grup itu. Lama kelamaan, bahasa itu digunakan dalam kegiatan sehari-harinya. Bukan hanya dengan komunitas dan kelompoknya, tapi juga di luar kegiatan itu. Orang-orang jadi terlihat keren karena bisa ngomong bahasa yang nggak dimengerti orang lain. Nggak hanya itu, lembaga-lembaga kursus bahasa pun jadi bermunculan juga.

Tapi jadi ironis jika bahasa itu digunakan buat ngobrol sama orang yang nggak ngerti sama sekali dengan bahasa itu. Kasian kan kalo ada orang ngajak ngobrol orang lain terus terlontar bahasa-bahasa asing, yang orang lain itu nggak ngerti sama sekali. Ini jadi percuma aja kan?! Makanya pemakaian bahasa asing seperti ini juga digunakan dalam waktu dan tempat yang sesuai aja. Kan orang awam banyak yang nggak bisa bedain antara bahasa Mandarin, Jepang, dan Korea. Biasanya mereka anggap ketiga bahasa itu adalah bahasa China. Orang-orangnya juga gitu.

Sebenarnya inti tulisan ini adalah boleh-boleh aja kita mempelajari bahasa-bahasa selain bahasa kita, malah kalo bisa gitu. Tapi jangan sampai kita kehilangan bahasa kita sendiri, malah cenderung merusaknya dengan mencampuradukkan penggunaannya dalam kehidupan sehari-hari. Ironis sekali lagi kalo ada orang Jawa lebih fasih berbahasa Jepang daripada bahasa kromo inggil Jawa. Atau lebih hapal hurup kanji daripada aksoro Jowo.

Seperti tulisanku sebelumnya, seringkali budaya orang lain terlihat lebih menarik daripada budaya kita sendiri untuk dipraktekkan dalam kehidupan sehari-hari kita. Tapi kita lupa bahwa kita terlahir dengan budaya tersendiri, dan kekhasan kita ini sebenarnya juga pengen ditiru oleh orang lain yang budayanya berbeda.

Related Posts:

  • Remote Televisi Remote TV berguna untuk memerangi iklan. Kok bisa? Ya liat aja, kalo pas nonton tivi, terus pas iklan, dan ada remote tivi di samping kita, hal te… Read More
  • Nasib Resolusi Tahun Baru Sebuah kegiatan yang sering digembar-gemborkan pada akhir tahun adalah: MEMBUAT RESOLUSI TAHUN DEPAN. Nggak tau ini kegiatan wajib atau bukan, tap… Read More
  • Penyaji dan Pendengarnya Entah kenapa, sebuah ceramah yang disampaikan oleh seseorang berdasarkan tulisan orang lain itu bagiku kesannya seperti ‘roh’ dari tulisan ini ngg… Read More
  • Di Beranda Facebook Facebook sekarang ini udah kaya tempat mengumpulkan keluhan-keluhan. Mungkin kalo satu hari aja keluhan yang ada di berandanya dikumpulin bisa jad… Read More
  • Di Mata Orang Seekor kupu-kupu tidak pernah mengenal warna dan dan coraknya. Tapi setiap orang yang melihatnya pasti tahu bahwa kupu-kupu itu punya warna dan co… Read More

0 komentar:

Posting Komentar

Silakan berkomentar, mumpung gratis lo...!!!

Daftar Blog Saya