Tanya Dilema

Suatu pagi, di tengah-tengah pekerjaan, tiba-tiba ponselku berbunyi. Ada pesan di Facebook Messenger dari seorang temanku.

Seperti Nemo

Ada satu film yang bagiku aneh banget, yaitu Finding Nemo. Inti ceritanya kan ada seekor ayah ikan yang mencari anaknya. Yang aneh itu ternyata ikan ini bisa ngomong. Padahal kalopun ikan bisa ngomong, kan ikan ini ada di dalam air. Coba kita aja yang ngomong di dalam air, kedengeran nggak sama temen kita yang ada di deket kita.

Pakai Bahasa Indonesia

Dari sejak blog pertamaku aku selalu pengen mempertahankan ke-Indonesiaanku, khususnya dalam penggunaan bahasa Indonesia di setiap tulisan blogku. Bukan karena aku nggak bisa bahasa Mandarin, Jepang, Korea, atau India, bukan! Tapi sebenarnya emang nggak bisa sih, tapi bukan itu maksudnya.

Hobi

Hobiku adalah membaca. Aku mendapatkannya dari sebuah majalah anak-anak. Jadi gini awal ceritanya, waktu itu ibuku mengirimkan foto dan dataku ke sebuah rubrik koresponden di majalah anak-anak itu. Dan di bagian hobinya, ibuku menuliskan kalo hobiku adalah membaca.

Power Bank

Di jaman gadget seperti sekarang ini, keberadaan smartphone menjadi bagian kehidupan bagi beberapa orang. Tapi di balik kecanggihan dan segala kelebihannya, ada salah satu sisi di mana smartphone justru lebih boros dalam pemakaian daya baterainya.

Jumat, 17 Januari 2025

Saving Private Ryan (Bukan Resensi Film)

Jadi, malam itu saya lagi suntuk banget, ngerjain tugas sambil sesekali ngelirik jam yang nggak terasa berdetik. Rasanya waktu kayak berhenti. Buat nyemangatin diri, saya puter film yang sebenarnya udah pernah saya tonton beberapa kali, Saving Private Ryan. Tapi entah kenapa, malam itu nonton film itu terasa beda. Bukan cuma karena adegan perangnya yang bikin bulu kuduk merinding, tapi juga ada sesuatu yang saya tangkap lebih dalam. Ternyata, perang itu… nggak pernah ada hentinya.

Bayangin, tiap tentara yang terlibat perang harus terus bergerak, terus fokus mengamati musuh, melepas serangan, sambil tetap berjuang buat bertahan. Mereka harus menghindari serangan sebisa mungkin, membantu temannya yang terluka karena tembakan atau bom. Semua itu terasa seperti nggak ada istirahatnya. Bayangin kalau itu dilakukan seharian. Bahkan kalau dia bisa bertahan hidup hari itu, besoknya lagi dia harus ngelakuin itu lagi. Besoknya lagi, dan seterusnya, sampai perang itu selesai, atau hidupnya yang selesai.

Itu baru perang di dunia modern. Gimana kalau perang di dunia klasik? Liat aja perang klasik buat gambaran, kayak di film Lord of the RingsAlexanderRed Cliff, atau film perang kolosal lainnya. Perang waktu itu masih berbentuk duel satu lawan satu. Bisa aja pas kita duel, orang di samping kita itu bukan kawan, tapi lawan. Saat kita berduel dengan satu orang dan menang, kita harus langsung ngelawan yang ada di sebelahnya. Dan itu berlangsung seharian. Bahkan kalau kita bertahan hidup hari itu, besoknya kita harus ngelakuin hal yang sama lagi. Besoknya lagi, dan terus begitu, sampai perang itu selesai, atau hidup kita yang selesai.

Kebayang juga gimana perang di zaman Rasulullah Muhammad SAW. Dalam cerita-cerita perang beliau, gambaran perangnya udah begitu dahsyat. Saya yakin para sahabat yang selamat dari perang-perang itu pasti mengalami luka-luka, atau bahkan kehilangan anggota tubuh. Kalau kita lihat bagaimana mereka berperang, perjuangannya nggak cuma soal fisik, tapi juga soal mental dan spiritual yang luar biasa.

Kalau kita lihat sejarahnya (baik di film, literatur, atau cerita-cerita besar) saya jadi berpikir, perang itu lebih dari sekadar medan tempur. Ia adalah gambaran tentang kelelahan jiwa dan tubuh, tentang keberanian yang nggak kenal lelah, dan tentang rasa sakit yang terus menggerogoti. Sampai akhirnya, mungkin cuma ada satu hal yang bisa mengakhiri semuanya: kemenangan, atau akhir dari hidup kita sendiri.

Rabu, 15 Januari 2025

Tahun 2000

Waktu itu di tahun 2022. Saya lagi ngecek data seorang karyawan di tempat kerja untuk keperluan biasa. Awalnya santai aja, tapi tiba-tiba mata saya terpaku di satu data. Karyawan ini lahir tahun 2000. Seketika saya semacam flashback ke kejadian beberapa tahun lalu. Waktu itu, tempat kerja kami pernah kecolongan; entah gimana, tanpa sadar mempekerjakan seseorang yang masih umur 16 tahun. Padahal, setahu saya, itu melanggar aturan ketenagakerjaan. Kami waktu itu langsung ribet menyelesaikan masalah ini. Trauma banget, sih. Jadi, pas saya lihat data ini, saya sempat panik kecil. "Jangan-jangan kejadian lagi?"

Kejadian kecolongan itu nggak cuma bikin kami panik, tapi juga memengaruhi reputasi tempat kerja. Kami jadi harus menghadapi pertanyaan dari pihak internal dan eksternal tentang bagaimana bisa hal itu terjadi. Selain itu, ada penyesuaian proses rekrutmen yang harus dilakukan supaya nggak ada kejadian serupa. Rasanya kayak dapat tamparan keras untuk lebih serius soal perlindungan hak pekerja, terutama yang usianya masih muda.

Tapi tunggu. Ini kan tahun 2022. Kalau lahir tahun 2000, sekarang sudah 22 tahun. Aman, dong. Saya baru sadar, waktu ternyata sudah jalan sejauh ini. Padahal dulu, saya yang umur 19 tahun masuk kerja di sini, merasa jadi yang paling muda. Sekarang? Generasi baru terus datang, dan mereka makin muda aja.

Dulu, waktu saya ngecek data karyawan yang lahir tahun 90-an (1994, 1995, 1996) saya masih mikir, "Ini anak-anak muda banget." Eh, sekarang ketemu yang lahir tahun 2000, saya jadi mikir, "Apa saya yang nggak nyadar waktu berlalu, atau memang saya aja yang nggak mau nyadar?" Kadang, generasi baru ini bikin kita merasa tua, tapi di sisi lain juga bikin bangga. Kita melihat mereka berkembang, dan itu rasanya luar biasa.

Ngomong-ngomong soal trauma, trauma kecolongan tadi bikin saya lebih hati-hati. Waktu mikir ada karyawan di bawah umur, saya langsung ingat aturan ketenagakerjaan di Indonesia. Ternyata, ada batas usia minimal buat kerja. Berdasarkan Undang-Undang Ketenagakerjaan Nomor 13 Tahun 2003, usia minimal untuk kerja itu 18 tahun. Tapi ada pengecualian: anak usia 13–15 tahun boleh kerja, tapi cuma pekerjaan ringan, maksimal 3 jam sehari, dan nggak boleh ganggu sekolah atau kesehatan mereka. Kalau usia 15–17 tahun, boleh kerja juga, asal nggak di tempat berbahaya atau berisiko tinggi. Kalau kamu penasaran lebih dalam soal aturan ketenagakerjaan di Indonesia, coba cek langsung Undang-Undang Ketenagakerjaan Nomor 13 Tahun 2003 di sini.

Selain itu, Indonesia juga punya komitmen internasional dengan mengikuti Konvensi ILO tentang usia kerja yang bisa kamu baca di sini. Jadi, pas tempat kerja saya dulu mempekerjakan seseorang yang masih 16 tahun, sebenarnya itu nggak sepenuhnya melanggar aturan, asalkan pekerjaannya aman. Tapi tetap aja, rasanya nggak nyaman.

Ngomong-ngomong soal generasi muda di dunia kerja, menurut laporan dari International Labour Organization (ILO), generasi muda (usia 15 - 24 tahun) menyumbang sekitar 15% dari total angkatan kerja global pada tahun 2022. Di Indonesia sendiri, berdasarkan data BPS, generasi muda usia 20 - 24 tahun mendominasi sektor perdagangan dan jasa. Kehadiran mereka nggak cuma bikin suasana kantor lebih dinamis, tapi juga membawa perubahan besar, terutama dalam hal inovasi dan cara kerja. Contohnya, mereka cenderung lebih adaptif terhadap teknologi, sesuatu yang mungkin butuh waktu lebih lama buat generasi sebelumnya.

Tapi tetap saja trauma itu bikin saya lebih waspada. Setelah itu, setiap kali lihat data karyawan, saya lebih hati-hati memastikan nggak ada lagi kejadian serupa. Dunia kerja, buat saya, bukan cuma soal produktivitas atau target. Tapi juga soal tanggung jawab — khususnya buat melindungi pekerja muda. Kadang, kita lupa, mereka itu bukan cuma angka di database. Mereka punya cerita dan harapan. Jangan sampai, gara-gara lalai, kita malah jadi bagian dari cerita yang salah buat mereka.

Ini kayak musik yang saya masih dengerin sampai sekarang. Lagu-lagu tahun 90-an — bahkan 80-an dan 70-an — rasanya masih relevan dan enak banget. Tapi saya nggak tahu, generasi 2000-an mikirnya gimana? Apa mereka juga bisa nikmatin, atau mereka ngerasa itu kuno, kayak saya dulu dengerin musik tahun 60-an?

Sama kayak generasi baru di tempat kerja, mungkin ini soal gimana kita menerima bahwa dunia terus bergerak maju. Kita nggak lagi jadi yang 'paling muda' di ruangan. Tapi, di tengah itu, kita tetap bisa bangga sama apa yang generasi kita bawa.

Di sisi lain, saya penasaran juga, gimana pandangan generasi muda yang lahir tahun 2000an ini? Apa mereka merasa pekerjaan pertama mereka memberi pengalaman yang cukup untuk membentuk mereka? Atau mungkin mereka lebih memilih pekerjaan yang lebih fleksibel dan berbasis teknologi dibandingkan generasi saya yang dulu harus mulai dari posisi paling dasar?

Dari pengalaman saya tadi, saya jadi mikir soal peran generasi muda di dunia kerja secara lebih luas. Contohnya, ada perusahaan teknologi yang justru mengincar talenta muda karena mereka lebih cepat beradaptasi dengan perubahan teknologi dan cara kerja modern. Tapi, ada juga tantangan besar di sini: gimana caranya perusahaan bisa memberikan lingkungan kerja yang aman, sesuai aturan, sambil tetap memanfaatkan potensi generasi muda. Kejadian di tempat kerja saya dulu mungkin terlihat sederhana, tapi sebenarnya itu jadi pengingat penting tentang tanggung jawab perusahaan untuk menjaga kesejahteraan pekerjanya, terutama mereka yang masih muda.

Pengalaman ini juga bikin saya sadar, waktu nggak akan berhenti, bahkan kalau kita mau dia berhenti sekalipun. Yang bisa kita lakukan adalah menerima perubahan, sambil tetap bangga sama apa yang kita bawa dari generasi kita sendiri. Siapa tahu, generasi muda ini suatu hari nanti bakal cerita ke anak-anak mereka tentang 'senior keren' yang pernah mereka temui di tempat kerja. Saya sih, berharap itu tentang saya!

Nah, gimana pengalaman kamu dengan generasi yang berbeda di tempat kerja? Apa kamu pernah merasa 'kaget generasi' seperti saya? Atau justru kamu salah satu generasi 2000an yang pernah kerja bareng senior kayak saya? Ceritain di kolom komentar, ya!

Senin, 13 Januari 2025

Pindah Rumah

Pernah nggak sih merasa rumah kosong itu kayak manggil-manggil buat dihuni? Ya, itu yang saya dan istri rasakan. Jadi ceritanya, mertua saya punya rumah yang udah lama kosong. Daripada terus-terusan nggak kepake, akhirnya kami mutusin untuk pindah ke sana. Pada tahun 2021 lalu, sekitar hari raya Idul Adha bulan Juli, setelah 4 tahun menikah, saya dan istri pindah rumah, tepatnya ke rumah mertua saya itu. Lokasinya juga nggak terlalu jauh dari rumah saya, cuma sekitar 2 km saja.


Jadi ceritanya, rumah mertua saya itu kosong. Mertua saya, yang tinggal ibu istri saya, sekarang menetap di Sidoarjo karena bekerja di sana. Adik-adik istri saya juga udah punya kehidupan masing-masing dan nggak tinggal di rumah itu. Sementara itu, saya dan istri sebelumnya tinggal di rumah saya, bareng ibu saya. Selama ini, saya menemani ibu di rumah, sedangkan rumah mertua tadi tetap kosong. Meski begitu, rumah mertua tetap terpelihara karena ada keluarga yang tinggal bersebelahan yang kadang memantau.


Pada tahun 2021, masih di tengah kondisi pandemi, adik saya yang biasanya tinggal di Depok pulang kampung dan menetap di sini. Sekeluarga mereka juga tinggal di rumah ibu, jadi makin ramai. Dari situ muncul ide dari istri saya untuk pindah ke rumah mertua. Awalnya saya nggak kepikiran sama sekali untuk pindah rumah, tapi lama-lama saya mulai mempertimbangkan ide itu. Apalagi sekarang ibu saya udah ada adik dan keluarganya yang tinggal bareng, jadi kalau saya tinggal pun rasanya nggak masalah. Ibu mertua saya juga sangat mendukung rencana ini.


Kepindahan kami juga ada hubungannya sama adik saya yang membuka usaha kafe di rumah. Dengan pindahnya saya dan istri, dia jadi punya ruang lebih luas untuk mengembangkan kafenya. Ditambah lagi, adik saya punya tiga anak kecil yang butuh tempat buat aktivitas mereka.


Jadi, saya dan istri mulai merencanakan kepindahan ini. Kami mempersiapkan rumah mertua agar lebih nyaman untuk ditempati. Ada beberapa hal yang perlu diperbaiki, seperti menambah daya listrik, memperbaiki instalasi, dan menyelesaikan detail-detail kecil lainnya.


Beberapa minggu sebelum pindahan, saya ngobrol sama ibu dan adik saya tentang rencana ini. Kami jelasin alasannya; menjaga rumah kosong supaya lebih berguna dan persiapan apa saja yang udah kami lakukan. Awalnya mereka terlihat agak keberatan, tapi alhamdulillah akhirnya mereka bisa menerima keputusan kami.


Seminggu sebelum pindahan, kami mulai mempersiapkan barang-barang yang mau dibawa. Kebetulan, kulkas dan mesin cuci udah duluan diangkut ke rumah baru karena adik saya bawa perlengkapan sendiri dari Depok. Kami fokus mempersiapkan baju, lemari, tempat tidur, meja, kursi, dan perlengkapan lain. Untungnya, ada bantuan transportasi dari teman istri saya, jadi semua bisa diangkut dengan lancar. Ada juga saudara yang bantu angkut-angkut barang.


Hari H pindahan akhirnya tiba. Paginya kami angkut barang-barang, terus langsung dibawa ke rumah baru. Di sana, barang-barang diturunin seadanya dulu. Yang penting, semuanya masuk rumah, dan ada ruang buat istirahat. Sorenya, kami balik ke rumah ibu buat bersihin kamar yang tadi pagi belum sempat dibereskan.


Hidup di rumah baru bener-bener dimulai keesokan harinya. Dalam kondisi rumah yang belum tertata sepenuhnya, kami tetap menjalani rutinitas seperti biasa. Sore harinya, pelan-pelan kami mulai menata barang-barang. Ada juga diskusi tentang penempatan barang yang belum punya tempat tetap.


Lingkungan rumah baru ini beda banget sama rumah lama. Rumah saya sebelumnya ada di pinggir jalan nasional, dengan tetangga yang nggak terlalu dekat. Sebelah kanan rumah adalah saudara, sebelah kiri jalan kecil, depannya ada lapangan basket dan taman. Sedangkan rumah mertua dikelilingi rumah-rumah tetangga yang jaraknya dekat-dekat. Sebagai introvert, sebenarnya saya nggak terlalu kesulitan beradaptasi. Hanya saja, ada beberapa kebiasaan yang tetap saya pertahankan, seperti sholat berjamaah di masjid yang biasa saya datangi sebelumnya. Saya juga masih sering mampir ke rumah ibu untuk menjemput ponakan-ponakan buat sholat.


Ada banyak hal baru yang harus kami sesuaikan. Contohnya, kalau dulu di rumah lama, butuh sendok tinggal minta ke ibu. Sekarang? Ya, harus muter otak sendiri. Untuk bahan masakan, dulu ibu yang menyiapkan, sekarang semuanya istri saya yang handle, dengan porsi yang disesuaikan untuk dua orang.


Meskipun suasananya berbeda, secara keseluruhan nggak terlalu banyak yang berubah. Saya masih sering mampir ke rumah lama, jadi rasanya masih seperti bagian dari rutinitas harian saya. Tapi, ada perasaan baru yang muncul; tinggal, tidur, dan menjalani hidup di tempat yang berbeda.


Dari pengalaman ini, saya belajar banyak. Tinggal di rumah baru ini bikin saya sadar bahwa hidup mandiri nggak cuma soal bisa ngurus diri sendiri, tapi juga soal belajar kompak sama pasangan. Kami jadi harus lebih cepat dan tepat dalam mengambil keputusan. Tekanan hidup yang muncul juga harus dihadapi bersama. Urusan finansial kami tangani lebih mandiri, dan suka dukanya harus kami jalani berdua.


Kami punya banyak harapan dan rencana ke depan, termasuk memperbaiki rumah agar lebih nyaman dan representatif. Tentu saja, kami juga berharap rumah ini bisa jadi tempat yang ramai dengan kehadiran anak-anak kami nanti. Tapi di atas itu semua, kami bersyukur atas semua keberuntungan dan kemudahan yang kami dapatkan di balik setiap ujian yang ada.


Semoga ke depannya, rumah ini bisa jadi saksi perjalanan kami. Dari rumah kosong, jadi rumah penuh cerita. Begitu deh cerita pindahan kami. Kalau kalian punya cerita pindahan lucu atau tips hidup mandiri, boleh banget share di kolom komentar! 

Daftar Blog Saya