Waktu itu di tahun 2022. Saya lagi ngecek data seorang karyawan di tempat kerja untuk keperluan biasa. Awalnya santai aja, tapi tiba-tiba mata saya terpaku di satu data. Karyawan ini lahir tahun 2000. Seketika saya semacam flashback ke kejadian beberapa tahun lalu. Waktu itu, tempat kerja kami pernah kecolongan; entah gimana, tanpa sadar mempekerjakan seseorang yang masih umur 16 tahun. Padahal, setahu saya, itu melanggar aturan ketenagakerjaan. Kami waktu itu langsung ribet menyelesaikan masalah ini. Trauma banget, sih. Jadi, pas saya lihat data ini, saya sempat panik kecil. "Jangan-jangan kejadian lagi?"
Kejadian kecolongan itu nggak cuma bikin kami panik, tapi juga memengaruhi reputasi tempat kerja. Kami jadi harus menghadapi pertanyaan dari pihak internal dan eksternal tentang bagaimana bisa hal itu terjadi. Selain itu, ada penyesuaian proses rekrutmen yang harus dilakukan supaya nggak ada kejadian serupa. Rasanya kayak dapat tamparan keras untuk lebih serius soal perlindungan hak pekerja, terutama yang usianya masih muda.
Tapi tunggu. Ini kan tahun 2022. Kalau lahir tahun 2000, sekarang sudah 22 tahun. Aman, dong. Saya baru sadar, waktu ternyata sudah jalan sejauh ini. Padahal dulu, saya yang umur 19 tahun masuk kerja di sini, merasa jadi yang paling muda. Sekarang? Generasi baru terus datang, dan mereka makin muda aja.
Dulu, waktu saya ngecek data karyawan yang lahir tahun 90-an (1994, 1995, 1996) saya masih mikir, "Ini anak-anak muda banget." Eh, sekarang ketemu yang lahir tahun 2000, saya jadi mikir, "Apa saya yang nggak nyadar waktu berlalu, atau memang saya aja yang nggak mau nyadar?" Kadang, generasi baru ini bikin kita merasa tua, tapi di sisi lain juga bikin bangga. Kita melihat mereka berkembang, dan itu rasanya luar biasa.
Ngomong-ngomong soal trauma, trauma kecolongan tadi bikin saya lebih hati-hati. Waktu mikir ada karyawan di bawah umur, saya langsung ingat aturan ketenagakerjaan di Indonesia. Ternyata, ada batas usia minimal buat kerja. Berdasarkan Undang-Undang Ketenagakerjaan Nomor 13 Tahun 2003, usia minimal untuk kerja itu 18 tahun. Tapi ada pengecualian: anak usia 13–15 tahun boleh kerja, tapi cuma pekerjaan ringan, maksimal 3 jam sehari, dan nggak boleh ganggu sekolah atau kesehatan mereka. Kalau usia 15–17 tahun, boleh kerja juga, asal nggak di tempat berbahaya atau berisiko tinggi. Kalau kamu penasaran lebih dalam soal aturan ketenagakerjaan di Indonesia, coba cek langsung Undang-Undang Ketenagakerjaan Nomor 13 Tahun 2003 di sini.
Selain itu, Indonesia juga punya komitmen internasional dengan mengikuti Konvensi ILO tentang usia kerja yang bisa kamu baca di sini. Jadi, pas tempat kerja saya dulu mempekerjakan seseorang yang masih 16 tahun, sebenarnya itu nggak sepenuhnya melanggar aturan, asalkan pekerjaannya aman. Tapi tetap aja, rasanya nggak nyaman.
Ngomong-ngomong soal generasi muda di dunia kerja, menurut laporan dari International Labour Organization (ILO), generasi muda (usia 15 - 24 tahun) menyumbang sekitar 15% dari total angkatan kerja global pada tahun 2022. Di Indonesia sendiri, berdasarkan data BPS, generasi muda usia 20 - 24 tahun mendominasi sektor perdagangan dan jasa. Kehadiran mereka nggak cuma bikin suasana kantor lebih dinamis, tapi juga membawa perubahan besar, terutama dalam hal inovasi dan cara kerja. Contohnya, mereka cenderung lebih adaptif terhadap teknologi, sesuatu yang mungkin butuh waktu lebih lama buat generasi sebelumnya.
Tapi tetap saja trauma itu bikin saya lebih waspada. Setelah itu, setiap kali lihat data karyawan, saya lebih hati-hati memastikan nggak ada lagi kejadian serupa. Dunia kerja, buat saya, bukan cuma soal produktivitas atau target. Tapi juga soal tanggung jawab — khususnya buat melindungi pekerja muda. Kadang, kita lupa, mereka itu bukan cuma angka di database. Mereka punya cerita dan harapan. Jangan sampai, gara-gara lalai, kita malah jadi bagian dari cerita yang salah buat mereka.
Ini kayak musik yang saya masih dengerin sampai sekarang. Lagu-lagu tahun 90-an — bahkan 80-an dan 70-an — rasanya masih relevan dan enak banget. Tapi saya nggak tahu, generasi 2000-an mikirnya gimana? Apa mereka juga bisa nikmatin, atau mereka ngerasa itu kuno, kayak saya dulu dengerin musik tahun 60-an?
Sama kayak generasi baru di tempat kerja, mungkin ini soal gimana kita menerima bahwa dunia terus bergerak maju. Kita nggak lagi jadi yang 'paling muda' di ruangan. Tapi, di tengah itu, kita tetap bisa bangga sama apa yang generasi kita bawa.
Di sisi lain, saya penasaran juga, gimana pandangan generasi muda yang lahir tahun 2000an ini? Apa mereka merasa pekerjaan pertama mereka memberi pengalaman yang cukup untuk membentuk mereka? Atau mungkin mereka lebih memilih pekerjaan yang lebih fleksibel dan berbasis teknologi dibandingkan generasi saya yang dulu harus mulai dari posisi paling dasar?
Dari pengalaman saya tadi, saya jadi mikir soal peran generasi muda di dunia kerja secara lebih luas. Contohnya, ada perusahaan teknologi yang justru mengincar talenta muda karena mereka lebih cepat beradaptasi dengan perubahan teknologi dan cara kerja modern. Tapi, ada juga tantangan besar di sini: gimana caranya perusahaan bisa memberikan lingkungan kerja yang aman, sesuai aturan, sambil tetap memanfaatkan potensi generasi muda. Kejadian di tempat kerja saya dulu mungkin terlihat sederhana, tapi sebenarnya itu jadi pengingat penting tentang tanggung jawab perusahaan untuk menjaga kesejahteraan pekerjanya, terutama mereka yang masih muda.
Pengalaman ini juga bikin saya sadar, waktu nggak akan berhenti, bahkan kalau kita mau dia berhenti sekalipun. Yang bisa kita lakukan adalah menerima perubahan, sambil tetap bangga sama apa yang kita bawa dari generasi kita sendiri. Siapa tahu, generasi muda ini suatu hari nanti bakal cerita ke anak-anak mereka tentang 'senior keren' yang pernah mereka temui di tempat kerja. Saya sih, berharap itu tentang saya!
Nah, gimana pengalaman kamu dengan generasi yang berbeda di tempat kerja? Apa kamu pernah merasa 'kaget generasi' seperti saya? Atau justru kamu salah satu generasi 2000an yang pernah kerja bareng senior kayak saya? Ceritain di kolom komentar, ya!