Tanya Dilema

Suatu pagi, di tengah-tengah pekerjaan, tiba-tiba ponselku berbunyi. Ada pesan di Facebook Messenger dari seorang temanku.

Seperti Nemo

Ada satu film yang bagiku aneh banget, yaitu Finding Nemo. Inti ceritanya kan ada seekor ayah ikan yang mencari anaknya. Yang aneh itu ternyata ikan ini bisa ngomong. Padahal kalopun ikan bisa ngomong, kan ikan ini ada di dalam air. Coba kita aja yang ngomong di dalam air, kedengeran nggak sama temen kita yang ada di deket kita.

Pakai Bahasa Indonesia

Dari sejak blog pertamaku aku selalu pengen mempertahankan ke-Indonesiaanku, khususnya dalam penggunaan bahasa Indonesia di setiap tulisan blogku. Bukan karena aku nggak bisa bahasa Mandarin, Jepang, Korea, atau India, bukan! Tapi sebenarnya emang nggak bisa sih, tapi bukan itu maksudnya.

Hobi

Hobiku adalah membaca. Aku mendapatkannya dari sebuah majalah anak-anak. Jadi gini awal ceritanya, waktu itu ibuku mengirimkan foto dan dataku ke sebuah rubrik koresponden di majalah anak-anak itu. Dan di bagian hobinya, ibuku menuliskan kalo hobiku adalah membaca.

Power Bank

Di jaman gadget seperti sekarang ini, keberadaan smartphone menjadi bagian kehidupan bagi beberapa orang. Tapi di balik kecanggihan dan segala kelebihannya, ada salah satu sisi di mana smartphone justru lebih boros dalam pemakaian daya baterainya.

Jumat, 31 Oktober 2014

Seperti Nemo

Ada satu film yang bagiku aneh banget, yaitu Finding Nemo. Inti ceritanya kan ada seekor ayah ikan yang mencari anaknya. Yang aneh itu ternyata ikan ini bisa ngomong. Padahal kalopun ikan bisa ngomong, kan ikan ini ada di dalam air. Coba kita aja yang ngomong di dalam air, kedengeran nggak sama temen kita yang ada di deket kita. Kalopun omongan kita jelas, bisa nggak temen kita denger omongan kita, kan kupingnya kemasukan air.

La kalo si Nemo tadi sebagai ikan sejati pengen ngobrol pasti mereka punya bahasa sendiri. Kalo dengan ngomong nggak jelas kedengeran, bisa pake bahasa isyarat. Tapi masalahnya, sirip mereka kan pendek, lalu gimana bikin bahasa isyarat yang berbeda untuk setiap kata yang ada di dunia ini kalo gerakan mereka sangat terbatas? Ini pasti banyak kata yang sama buat sebuah gerakan. Lagian spesies ikan itu juga banyak, tapi kalo saling ngobrol mereka bisa saling ngerti satu sama lain spesies. Ini pasti karena nenek moyang ikan itu adalah seorang motivator ulung, di mana dia memotivasi semua ikan untuk menggunakan satu bahasa persatuan yang sama biar sama-sama dimengerti biarpun ada ikan paus ngomong sama ikan teri.

Kita bisa bilang ‘Ah, itu kan cuma film!’. Tapi pernah nyadar nggak, sekhayal-khayalnya film, kita bisa ngebahas film tersebut dengan serius sama teman-teman kita. Padahal dalam lubuk hati yang paling dalam kita tau bahwa itu film, ceritanya karangan, dan adegannya buatan, banyak efek-efek di dalamnya. Tapi karena cerita film, kita bisa marahan sama temen kita. Adegannya bisa mempengaruhi kehidupan kita sehari-hari. Film pertama kali yang aku tonton di bioskop adalah Tutur Tinular, sekitar tahun 1989. Setelah nonton itu aku jadi bercita-cita menjadi Arya Kamandanu, sampai akhirnya aku nonton Power Rangers.

Ada lagi misalnya gini, kita tau bahwa dalam film horor hantu-hantunya itu buatan, ada yang memerankan. Kita bisa bilang bahwa film horor itu sebenarnya nggak horor, malah film horor sekarang itu adalah film semi porno yang disamarkan. Tapi kalo liat film horor kita bisa ngeri juga, abis nonton kita nggak bisa tidur, nggak berani jalan di jalanan sepi gelap sendiri, dan lain sebagainya. Padahal pola pikir kita di depan tadi kan ini hantu jadi-jadian, bahkan sebelum nonton filmnya kita udah ngeliat trailer di balik layar film itu. Tapi masih aja ada rasa ngerinya.

Efek-efek spesial di film Hollywood juga keren-keren! Pas nonton kita seolah-olah ngerasa itu beneran terjadi. Film ‘2012’ misalnya, rasanya beneran dunia akan dapat bencana besar, padahal kita tau itu cuma film. Kalo nonton film India rasanya kita ikut terbuai dalam lagu dan tarinya, padahal sebelumnya kita bilang kalo film Bollywood itu lebay. Itu berarti bahwa dari sebuah film kita seolah diajak masuk ke dalam alur cerita film itu dan merasakan bahwa segala hal yang ada di dalam film tadi nyata.

Seperti film Finding Nemo tadi, kalo kita yang nonton mungkin kita lagi-lagi bilang ‘Ah, itu kan cuma film!’. Tapi kalo anak kecil abis nontonnya, dia pasti pengen beli ikan kaya Nemo terus berharap dia bisa ngomong atau bisa meloloskan diri dari akuariumnya. Kita lagi-lagi bisa bilang ‘Ah, itu kan cuma anak kecil!’. Tapi kalo ternyata kita masih ngeri abis nonton film horor, siapa sekarang yang jadi anak kecil?

Kamis, 30 Oktober 2014

Pakai Bahasa Indonesia

Dari sejak blog pertamaku aku selalu pengen mempertahankan ke-Indonesiaanku, khususnya dalam penggunaan bahasa Indonesia di setiap tulisan blogku. Bukan karena aku nggak bisa bahasa Mandarin, Jepang, Korea, atau India, bukan! Tapi sebenarnya emang nggak bisa sih, tapi bukan itu maksudnya. Tapi intinya gini, gimanapun kita ini (terutama aku) adalah orang Indonesia, yang mengaku punya bahasa sendiri, dan pernah ada yang bersumpah pula kalo bahasa ini harus dijunjung tinggi. Kalo kita punya bahasa sendiri, ngapain ngikutin bahasanya orang lain?

Bukan berarti aku anti dengan bahasa asing ya, buktinya dulu nilai ujian bahasa Inggrisku bagus (menurutku sih). Nilai bahasa Fisikaku aja yang nggak bagus-bagus amat. Tapi pada dasarnya, kalo bukan orangnya sendiri siapa yang mau pake dan melestarikan bahasa Indonesia ini? Maka aku sering heran sama orang-orang yang ngakunya cinta Indonesia tapi mengungkapkannya pake bahasa asing. Cinta Indonesia, tapi kenapa nggak cinta sama bahasanya?

Aslinya yang namanya kata-kata, di dalam bahasa Indonesia juga udah bisa mewakili semua perasaan yang tertulis dalam bahasa Inggris. Kalaupun ada kata serapan, itu udah di-Indonesiakan sama ahli-ahli bahasa di kalangan atas sana. Jadi nggak ada alasan buat bilang bahwa bahasa Indonesia itu kuno dibandingkan bahasa Afrika kuno, misalkan. Meskipun masih aja kata-kata serapan itu terasa nggak pantes kalo dipakai dalam kehidupan sehari-hari. Sampai saat ini aku masih bingung dengan apa yang dimaksud oleh kata-kata daring, luring, atau yang kata lebih umum lagi semisal tetikus, ataupun unduh, unggah, dan sebagainya. Entah apa nggak ada kata lain yang bisa mewakili itu, tapi ya udahlah, kata-kata itu juga udah masuk dalam sistem perkomputeran berbahasa Indonesia.

Kalo ngomongin transliterasi bahasa Indonesia dari bahasa Inggris, kita bisa sedikit berterima kasih sama Google Translate. Sedikit aja, karena banyak kata yang ternyata nggak ditemukan di situ. Belum lagi alih bahasanya yang sangat harfiah banget. Dengan ini, harusnya kita bisa protes ke Google Translate soal ketidakakuratan alih bahasa ini. Tapi khawatirnya, kalo kita protesnya pake bahasa Indonesia, mereka baca protes kita pake transletan dari Google Translate itu tadi. Kan jadinya kandungan protes kita nggak nyampe ke mereka lagi.

Kembali ke tulisan blog berbahasa Indonesia nih, karena mempertahankan ke-Indonesiaan tadi maka sebisa mungkin aku menguasai kata-kata serapan dan alih bahasa yang tepat untuk istilah-istilah berbahasa asing untuk dituliskan ke dalam blog. Jadi nggak lagi aku pake istilah seperti ‘download’ untuk dimasukkan ke dalam tulisan, tapi karena aku juga kurang sreg dengan kata ‘unduh’, maka aku pake aja kata donlot yang udah terkenal dalam percakapan sehari-hari. Kurang tepat sih, tapi karena aku pengen mempertahankan ke-Indonesiaan tadi namun aku juga pengen biar yang baca blog ini ngerti (itupun kalo ada yang baca), makanya pake istilah yang santai aja, namanya juga blog ini santai.

Akhir kata, pakailah bahasa Indonesia untuk hal-hal di dalam Indonesia ini. Bukan berarti aku nggak berambisi biar blogku ini dibaca oleh orang-orang di Antartika sana, tapi lebih kepada kalo mereka yang di Antartika itu baca blog ini dan mereka nggak ngerti bahasanya, mereka bisa pake Google Translate dan mereka akan semakin tersesat! Bukan itu sih, maksudnya agar orang-orang di luar negeri sana yang mau baca blog ini, makanya belajar dong bahasa Indonesia. Udah gitu aja…

Rabu, 29 Oktober 2014

Hobi

Hobiku adalah membaca. Aku mendapatkannya dari sebuah majalah anak-anak. Jadi gini awal ceritanya, waktu itu ibuku mengirimkan foto dan dataku ke sebuah rubrik koresponden di majalah anak-anak itu. Dan di bagian hobinya, ibuku menuliskan kalo hobiku adalah membaca. Dan sejak saat itu, aku memproklamirkan diri bahwa hobiku adalah membaca.

Hobi adalah sebuah kegemaran atau kesenangan terhadap sesuatu perilaku tertentu. Dan yang patut diperhatikan adalah hobi itu berada di luar lingkaran kegiatan dan kebutuhan sehari-hari. Jadi yang namanya makan, tidur, minum, bernapas, mandi, dan lain-lainnya bukan termasuk hobi. Nggak kebayang kalo ada seseorang yang bilang bahwa hobinya makan, kalo suatu saat dia nggak lagi bilang bahwa hobinya makan terus ternyata dia berhenti makan.

Karena hobi itu menjadi spesifik kepada hal-hal tertentu, hobi ini bisa jadi penghasilan. Yang hobinya main sepakbola misalnya, dia bisa berkembang menjadi pemain sepakbola profesional. Atau yang hobinya bikin kerajinan, dia bisa menjual hasil-hasil kerajinannya. Tapi yang hobinya nyolong sebaiknya jangan dikembangkan, itu bisa jadi kriminal!

Kalo sekarang, seiring berjalannya waktu, hobiku jadi tambah banyak, nggak cuma membaca saja, sampai-sampai saking banyaknya aku nggak punya cukup waktu buat ngelakuin semua hobiku. Aku jadi lebih mengelompokkan hobi-hobi ini menjadi minat. Jadi kalo ada sebuah pendaftaran blog di internet, terus aku diharuskan mengisi bahwa blog itu tentang apa, itu bisa aku isikan sesuai dengan apa yang menjadi minatku.

Kalo minat ini berbeda dengan bakat. Misalkan aku berminat menjadi penyanyi, tapi ternyata kalo aku ngorok aja fals, berarti aku nggak bakat jadi penyanyi. Tapi tetap aja sama, minat bisa berubah dan bakat bisa diasah. Jadi kalo aku berminat menjadi penyanyi, aku bisa berlatih dan ikut kursus menjahit agar bisa menjadi koki ternama.

Selasa, 28 Oktober 2014

Power Bank

Di jaman gadget seperti sekarang ini, keberadaan smartphone menjadi bagian kehidupan bagi beberapa orang. Tapi di balik kecanggihan dan segala kelebihannya, ada salah satu sisi di mana smartphone justru lebih boros dalam pemakaian daya baterainya. Kesannya jadi smartphone tidak bisa dibawa ke mana-mana karena butuh pengisian baterai ekstra. Kan nggak bisa kita mampir ke masjid atau mushola cuma buat nyolokin charger buat ngisi ulang daya. Apalagi kalo tar main colok sembarangan, terus ternyata colokannya kena infeksi virus atau kuman, bisa kena penyakit. #eh

Makanya ada teknologi pendukung bernama power bank. Nggak tau juga siapa yang pertama kali ngasih nama power bank itu, soalnya biasanya di badan alat ini juga nggak ada keterangan bahwa alat itu bernama power bank. Tapi yang pasti power bank ini sangat berguna dan membantu bagi kelangsungan hidup smartphone, apalagi kalo power banknya berarus besar dan tahan lama.

Tapi nggak selamanya power bank menjadi berguna saat kita dalam perjalanan. Malah bisa jadi bawa power bank di perjalanan itu menjadi blunder, terutama kalo kita dalam perjalanan bersama rombongan yang ternyata hanya kita yang bawa power bank. Misalkan gini, kita ada dalam rombongan perjalanan bersama 8 orang, 6 orang di antaranya punya smartphone yang butuh belas kasihan daya berlebih, dan hanya kita yang punya power bank, dan untungnya lagi power bank itu kita bawa.

Ini sama aja kaya kita mau berlibur di gurun berpadang pasir yang luas bersama 5 orang, yang konyolnya hanya kita seorang yang bawa minum, dan untungnya lagi botol yang kita bawa berkapasitas 1 liter. Tambahan kasusnya, kita ini yang fisik dan staminanya paling kuat di antara 5 orang yang lain. Ini bisa jadi ajang perebutan air minum kalo kita terusin liburan itu, kalo belum nyampe jalan 5 kilometer satu per satu teman kita mulai kehausan dan tidak ada cara lain selain minum dari botol minum 1 liter punya kita itu. Dan 5 kilometer berikutnya, saat kita butuh minum, kita nggak punya air sama sekali.

Ini juga terjadi sama kasus power bank buat berenam tadi, kalo nggak segera nemu colokan buat ngisi daya tambahan smartphonenya. Ini power bank pasti menjadi harta karun yang diperebutkan oleh 5 orang, belum termasuk kita yang jadi pemilik resminya. Jika salah satu teman udah kehilangan daya buat SMSan aja, terus dia butuh daya tambahan dan kita belum nemuin colokan terdekat, pasti power bank ini jadi sasaran targetnya dan kita menyerahkannya tanpa sadar. Padahal kemaren semalaman power bank itu udah diisi penuh buat mendukung smartphone kita sendiri.

Dan kalo ternyata kebetulan (nggak kebetulan juga sih), teman kita ini punya 2 smartphone dan kita nggak segera ngambil itu power bank karena kebutuhan kita sendiri, dia pasti nyolokin power bank itu ke smartphone satunya. Belum lagi teman-teman yang lain, yang ternyata juga berharap belas kasihan daya baterai. Sehingga pada saat power bank itu balik ke kita, karena kita yang terakhir membutuhkan soalnya tadi malam selain ngisi penuh power bank smartphone kita juga kita isi penuh baterainya, kita nggak punya daya apa-apa lagi buat diisi ke smartphone kesayangan. Dan parahnya, kita masih belum nemuin colokan terdekat buat ngisi daya lagi.

Sebenarnya ini bukan masalah pelit atau nggak solider sih, cuma aja ini berhubungan dengan kebutuhan kita juga. Bukan masalah kalo kita ini orangnya terlalu dermawan, membagikan harta benda kita ke teman-teman kita, tapi alangkah baik dan bijak, serta etisnya, kalo apa yang dipinjam teman-teman kita juga masih disisakan buat kita juga, dalam kasus di atas botol air minum 1 liter dan power bank. Kalo bilang butuh, semua juga butuh. Kalo nggak butuh, ngapain perlu barang itu dibawa. Jadi sebaiknya kalo pake kebutuhan-kebutuhan itu juga secukupnya aja, sekiranya cukup sampe tempat pemberhentian berikutnya. Jangan sampe timbul perpecahan dalam rombongan perjalanan karena saling mengklaim kebutuhan masing-masing.

Daftar Blog Saya